Risiko Bulog Berburu Gabah

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Toko beras
Ilustrasi: Suasana di toko beras - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Rabu (19/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Risiko Bulog Berburu Gabah” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Berburu gabah adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan praktek pembelian gabah langsung dari petani, dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Praktek ini seringkali dilakukan oleh pedagang, bandar atau tengkulak yang ingin memperoleh keuntungan, dengan membeli gabah  murah dan kemudian menjualnya dengan harga lebih tinggi.

Berburu gabah dapat memiliki dampak negatif bagi petani, seperti pertama harga yang tidak adil. Artinya. petani menerima harga yang lebih rendah dari harga pasar, sehingga mereka tidak dapat memperoleh pendapatan yang adil.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Kedua, ketergantungan pada tengkulak. Petani menjadi tergantung pada tengkulak untuk menjual gabah mereka, sehingga mereka tidak memiliki kontrol atas harga dan pasar.

Ketiga, kemiskinan petani. Praktek berburu gabah dapat memperburuk kemiskinan petani, karena mereka tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk melindungi petani dari praktek berburu gabah seperti membuat kebijakan harga yang adil. Dalam hal ini, Pemerintah dapat membuat kebijakan harga yang adil untuk gabah, sehingga petani dapat memperoleh pendapatan yang adil.

Kemudian, membuat sistem pemasaran yang transparan. Artinya, Pemerintah dapat membuat sistem pemasaran yang transparan, sehingga petani dapat memperoleh informasi yang akurat tentang harga dan pasar. Selanjutnya, membuat program bantuan untuk petani. Pemerintah dapat membuat program bantuan untuk petani, seperti bantuan harga, bantuan teknologi, dan bantuan lainnya, untuk membantu mereka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.

Dunia pergabahan jelas berbeda dengan dunia perberasan. Itu sebabnya, Pemerintah membedakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) diantara gabah dan beras. Sebagian besar petani, dalam melakoni panen raya, cenderung akan menjual hasil panenan nya dalam bentuk gabah kering panen. Jarang petani yang menjual hasil panen mereka dalam wujud beras.

Memasuki panen raya kali ini, Pemerintah sangat berharap untuk memperoleh gabah dan beras setinggi-tingginya. Salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengisi cadangan beras Pemerintah yang dinilai belum sesuai target. Hal ini penting ditempuh, karena selama ini terekam, cadangan beras Pemerintah masih cukup merisaukan.

Itu sebabnya, Pemerintah menetapkan harga penyesuaian untuk gabah dan beras. Untuk gabah sendiri, sebagai operator pangan, Perum Bulog diberi keleluasaan harga pembelian gabah kering panen hingga angka Rp.6500,- per kg. Sedangkan untuk harga beras ditetapkan sebesar Rp. 12000 – (Peraturan Kepala Badan Pangan Nadional No. 2/2025). Pertanyaannya adalah apakah Perum Bulog akan memperoleh gabah sesuai dengan yang ditargetkan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sebetulnya ada beberapa gambaran yang perlu mendapat pencermatan kita bersama. Pertama, apakah Perum Bulog akan mampu bersaing dengan para bandar, pengepul, tengkulak, pengusaha penggilingan, pedagang dan lain sebagainya, yang kerap kali menawarkan harga jauh lebih tinggi di atas harga yang disampaikan Perum Bulog?

Kedua, apakah para petani akan mau menjual hasil panennya kepada Perum Bulog, mengingat selama ini para petani telah memiliki hubungan emosional yang tinggi dengan para bandar, pengepul dan tengkulak ? Sedangkan dengan Perum Bulog, para petani belum memiliki hubungan emosional yang tinggi sebagaimana para petani dengan bandar, pengepul dan tengkulak?

Dihadapkan pada fenomena semacam ini, Perum Bulog sangat diharapkan mampu mengembalikan potret dirinya sebagai “sahabat sejati” petani seperti masa lalu. Persoalannya adalah apakah dalam suasana kekinian, Perum Bulog akan mampu memerankan diri kembali sebagai sahabat sejati petani tatkala Bulog masih sebagai Lembaga Pemerintahan Non Departemen/Kementerian (LPND/K)?

Jawaban ini tentu sangat kita butuhkan. Sebab, walaupun kini Bulog sudah menjadi BUMN, namun persahabatan dengan petani, tetap harus terjaga dan terpelihara dengan baik. Perum Bulog memang harus untung dalam menjalankan fungsi bisnisnya. Tapi Perum Bulog juga harus mampu menjalankan tanggungjawab sosial nya sebagai badan usaha.

Jujur harus diakui, hampir semua BUMN umumnya akan kesulitan untuk mengatur kedua fungsi ini secara bersamaan. Terlebih jika BUMN itu mesti terlibat dalam urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Perum Bulog sendiri memiliki pengalaman panjang dalam dunia perberasan. Sayang, pengalaman bisnis dalam perberasan tampak kalah pamor dengan fungsi sosialnya.

Akibatnya wajar jika Perum Bulog terlihat sulit mengembangkan bisnis perberasannya. Apalagi dengan banyaknya penugasan yang diberikan Pemerintah kepada Perum Bulog, seperti menjadi operator utama dalam program bantuan sosial beras. Belum lagi dituntut untuk dapat menyerap gabah petani guna mengokohkan cadangan beras Pemerintah yang kian menyusut karena produksi beras dalam negeri menurun dengan angka cukup signifikan.

Kembali ke Panen Raya padi yang tak lama lagi berlangsung. Pemerintah lagi-lagi meminta Perum Bulog untuk menyerap gabah petani setinggi-tinggi nya. Banyak kemudahan diberikan Pemerintah kepada Perum Bulog, khususnya yang berkaitan dengan regulasi memberi keleluasaan untuk membeli gabah petani diatas harga pembelian Pemerintah yang ditetapkan.

Masalahnya apakah Perum Bulog akan mampu membeli gabah petani sesuai dengan yang ditargetkan, jika dan hanya jika, operator pangan ini tidak menjalin persahabatan cukup erat dengan para petani ? Itu sebabnya, wajar jika Perum Bulog membuka lagi pengalaman masa lalu, ketika Bulog membangun “suasana kebatinan” yang kuat dengan organisasi petani sekelas KTNA dan HKTI.

Langkah seperti ini, tidak ada salahnya dibangun kembali dengan berbagai penyempurnaan dalam pelaksanaannya. Ikatan emosional Perum Bulog dengan petani, kelihatannya penting ditempuh agar tetap terjalin persahabatan yang kuat dan saling membutuhkan. Dengan seabrek kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, Pemerintah mestinya mampu melahirkan regulasi yang diinginkan.

Gabah petani disaat panen raya, pasti akan melimpah. Petani berharap agar gabah kepunyaannya ini dapat dibeli dengan harga yang wajar dan memberi keuntungan optimal. Perum Bulog mestinya dapat menghitung berapa pantasnya harga gabah yang menguntungkan itu, dengan mempertimbangkan naiknya harga berbagai faktor produksi, seperti benih, pupuk dan lain sebagainya.

Setahun lalu, ketika Pemerintah akan menetapkan HPP Gabah sebesar Rp. 6000,- KTNA mengusulkan agar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah direvisi jadi Rp.6500 – per kg. Begitu pun HKTI mengusulkan pada angka Rp.6757 – per kg. Usulan kedua organisasi petani diatas cukup beralasan. KTNA dan HKTI tentu mengaitkan usulan tersebut atas biaya produksi, resiko usahatani dan keuntungan bagi petani. Sayangnya, yang diminta adanya revisi HPP, yang datang malah harga fleksibilitas dengan angka yang jauh dibawah usulan KTNA dan HKTI.

Akhirnya perlu disampaikan, bila kita bicara soal gabah, maka yang paling berkepentingan adalah para petani. Gabah adalah kepunyaan sebagian besar petani. Kalau kita ingin membela petani, maka Pemerintah berkewajiban untuk melahirkan kebijakan harga yang wajar dan menguntungkan cukup optimal bagi petani. Persoalannya adalah apakah dengan dikeluarkannya keputusan menuju “satu harga” sebesar Rp. 6500,- bisa disebut keberpihakan?

***

Judul: Risiko Bulog Berburu Gabah
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *