MajmusSunda News – Arjasari, Selasa (14/10/2025) –Pangeran Kornel berdiri gagah di tengah riuh lalu lintas Cadas Pangeran, Sumedang. Patung yang menggambarkan pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels itu menyimpan detail menarik: tangan kiri yang terulur. Sebuah gestur bersalaman yang tak biasa—menghujam dalam memori kolektif warga Jawa Barat.
Gestur itu mengundang tanya: apakah ini sekadar kekeliruan artistik, atau justru pesan simbolik yang dalam? Di sinilah kisah Pangeran Kornel menjadi lebih dari sekadar sejarah — ia menjelma menjadi narasi budaya Sunda yang hidup, diwariskan dari generasi ke generasi.
Jejak Sejarah Pangeran Kornel: Antara Arsip dan Ingatan
Pangeran Kornel, atau Raden Adipati Kusumahdinata IX, adalah Bupati Sumedang yang menjabat antara tahun 1791–1828. Ia dikenal sebagai tokoh lokal yang turut serta dalam pembangunan jalan raya Anyer–Panarukan atas perintah Daendels.
Dalam arsip kolonial, pertemuan Kornel dan Daendels digambarkan sebagai bentuk kerja sama administratif. Tak ada catatan resmi yang menyebutkan salam tangan kiri. Namun dalam tradisi lisan masyarakat Sumedang, gestur itu justru menjadi pusat cerita—bukan penghinaan, melainkan simbol perlawanan halus dan martabat yang dijaga.
Folklor tentang Pangeran Kornel: Ketika Mitos Menjadi Cermin Martabat
Dalam khazanah budaya Sunda, salam tangan kiri Pangeran Kornel telah menjelma menjadi mitos etis. Ia bukan sekadar dongeng, tetapi medium nilai luhur: bahwa kehormatan bisa tetap dijaga bahkan dalam situasi ketertundukan.
Tradisi lisan menyampaikan pesan bahwa ketika tubuh dipaksa tunduk, hati tetap merdeka. Tangan kiri itu menjadi metafora: tunduk secara lahir, tapi tidak kalah secara batin.
Tangan Kiri Pangeran Kornel: Bahasa Tubuh Perlawanan
Dalam budaya Sunda, tangan kanan melambangkan kesopanan dan penghormatan. Karena itu, menggunakan tangan kiri dalam konteks resmi bukanlah tindakan tanpa makna—melainkan bentuk bahasa tubuh yang menyiratkan sikap.
Jika benar Sang Pangeran bersalaman dengan tangan kiri, maka gestur itu adalah resistensi elegan terhadap kekuasaan kolonial. Ia mematuhi protokol formal, tapi tetap menjaga jarak moral. Tangan kirinya menjadi simbol bangsa yang sopan tapi tidak tunduk; kalah tapi tidak kehilangan harga diri.

Sejarah dan Folklor: Dua Lensa, Satu Narasi
Sejarah tertulis mencatat apa yang “terjadi”.
Tradisi lisan mengingat apa yang “dirasakan”.
Keduanya tidak harus dipertentangkan, tetapi saling melengkapi.
Sejarah tanpa folklor akan kering dan elitis; folklor tanpa kajian kritis bisa kehilangan konteks.
Kisah salam tangan kiri Pangeran Kornel adalah lapisan ganda sejarah Sunda — satu di arsip Belanda, satu lagi di ingatan rakyatnya. Yang satu bicara tentang kekuasaan, yang lain tentang marwah.
Genggaman yang Tak Pernah Lepas
Lebih dari dua abad berlalu, legenda itu tetap hidup. Patung yang berdiri di Cadas Pangeran itu bukan sekadar monumen, melainkan cermin karakter orang Sunda: berani menjaga harga diri tanpa kehilangan rasa hormat.
Salam tangan kiri itu—benar atau tidak secara historis—telah menjadi simbol luhur keseimbangan antara takluk dan merdeka, antara tunduk dan bermartabat.
Dalam setiap genggaman tangan kiri itu, terselip pesan abadi:
“Saha nu éléh lain kudu leungit harga dirina.”
(Yang kalah tidak harus kehilangan kehormatannya.)
Judul: Pangeran Kornel: Salam Tangan Kiri, antara Fakta dan Folklor
Penulis: Parkah












