MajmusSunda News, Senin (02/12/2024) – Artikel berjudul “Melawan Ketimpangan” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, salah satu kegentingan yang mengancam keutuhan bangsa ini adalah meluasnya kesenjangan sosial.
Apakah hal itu merupakan takdir alamiah yang harus kita terima begitu saja, atau bisa diubah lewat penataan ulang sistem kelembagaan dan mobilisasi politik? Untuk memperoleh insight bisa dibaca buku terbaru Thomas Piketty, “Nature, Culture, and Inequality” (2024).
Dalam pandangan Piketty, ketimpangan (inequality) tidaklah bersifat alami atau tak terelakkan. Kita harus menyangkal keyakinan determinisme yang beranggapan bahwa faktor-faktor alami (natural factors) atau bahkan budaya tertentu akan membuat beberapa masyarakat selamanya egaliter sementara yang lain selamanya tidak egaliter.

Berbagai bentuk ketimpangan tidak dapat dikaitkan dengan faktor-faktor alami, seperti perbedaan bakat pribadi, kemampuan bawaan, atau temperamen alami. Akan sangat mengejutkan jika bakat-bakat ini didistribusikan secara begitu tidak merata antar negara. Bahkan, intra negara.
Ketimpangan tersebut juga tidak dapat dikaitkan dengan sumber daya alam negara tersebut—ada minyak di Timur Tengah dan ada minyak di Norwegia. Namun, distribusi pendapatan mereka sepenuhnya berbeda.
Semua bukti menunjukkan bahwa perbedaan ini disebabkan oleh institusi sosial-politik yang dipilih oleh masyarakat bersangkutan yang pada gilirannya merupakan hasil dari sejarah sosial, budaya, politik, dan ideologi yang berbeda.
Ketimpangan adalah hasil dari kebijakan dan keputusan kolektif yang diambil oleh masyarakat di berbagai periode sejarah.
Buku ini mengkaji bagaimana budaya dan institusi serta konteks historis membentuk pola ketimpangan, termasuk faktor-faktor seperti pendidikan, sistem warisan, dan politik.
Di luar isu ketimpangan yang lazim diperbincangkan, Piketty menggarisbawahi bagaimana ketimpangan gender menjadi masalah yang signifikan dalam distribusi kekayaan dan peluang. Ia juga mengeksplorasi hubungan antara emisi karbon dan ketimpangan.
Piketty berargumen bahwa para penghasil emisi tertinggi yang biasanya merupakan individu atau negara kaya, harus memikul beban yang lebih besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Untuk memberi insight bahwa ketimpangan bukanlah sesuatu yang alami dan bisa diatasi, Piketty menggunakan contoh sejarah reformasi egalitarian di Swedia.
Pada saat ini Swedia merupakan salah satu negara paling egaliter di dunia. Beberapa orang mengaitkan egalitarianisme Swedia dengan karakteristik yang sudah mendarah daging dengan budaya yang memiliki “selera alami” (natural taste) terhadap kesetaraan, padahal, Swedia dahulunya merupakan salah satu negara dengan stratifikasi sosial paling tinggi di Eropa dengan organisasi politik ketimpangan yang sangat canggih.

Hingga awal abad ke-20, hak pilih di Swedia masih ditentukan oleh tingkat penguasaan harta (property). Hanya 20% orang terkaya yang punya hak pilih dan besaran nilai (jumlah) suara setiap orang pun ditentukan oleh tingkat kekayaannya.
Situasi demikian berubah cepat pada sepertiga kedua abad ke-20, menyusul upaya sosial dan politik secara terpadu, setelah Partai Sosial Demokrat berkuasa pada awal 1930-an. Partai ini yang kemudian memerintah secara terus-menerus selama setengah abad berikutnya, mengarahkan kapasitas pemerintahan Swedia pada program politik yang sepenuhnya berbeda dari sebelumnya.
Belajar dari kasus Swedia, Piketty mengajukan beberapa formula bagaimana suatu negara bisa mengatasi ketimpangan menuju keadaan yang lebih setara
Pertama, perlu menciptakan kerangka insitusi sosial-politik yang lebih inklusif dan untuk itu, inisiatif seringkali tidak datang secara sukarela dari dalam lingkungan kekuasaan dan kemapanan. Jadi perlu tekanan dari luar melalui mobilisasi politik gerakan sosial dan tekanan serikat-serikat kerja.
Kedua, penerapan pajak progresif dan kebijakan redistribusi untuk menciptakan masyarakat yang lebih setara. Akan tetapi, penerapan rezim negara kesejahteraan ini tak cukup sekadar menghimpun dan mendistribusikan sumberdaya, melainkan perlu diinvestasikan secara tepat bagi penguatan basis kesetaraan. Dalam hal ini, investasi terbaik dalam memperkuat basis kesetaraan adalah investasi dalam pendidikan inklusif, ditambah jaminan kesehatan infrastruktur publik.
Ketiga, perubahan haluan kebijakan tak cukup berhenti sebatas perubahan norma (dalam konstitusi dan peraturan perundangan), tetapi harus didukung oleh kemampuan mengembangkan berbagai perangkat (tools) pengalokasian sumberdaya dengan analisis strategis yang disertai pedoman direktif dan program yang terukur.
Buku tipis karya terbaru Piketty ini menjadi ajakan untuk berpikir ulang tentang struktur masyarakat global dan bagaimana ketimpangan dapat dikurangi melalui tindakan kolektif dan kebijakan yang adil.
***
Judul: Melawan Ketimpangan
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***