MajmusSunda News, Rabu (16/04/2025) – Artikel berjudul “Kurikulum Cinta” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, bayangkan sebuah ruang belajar, di mana wajah-wajah muda tak hanya menghapal rumus dan ayat, tapi merasakan denyut kasih di setiap pelajaran dan aktivitas. Guru tak sekadar pengajar, tapi pemantik api kasih di dada siswa.

Di ruang belajar, pendidikan menanam sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pengetahuan: cinta yang menghidupkan sebagai persemaian manusia seutuhnya.
Cinta bukan hanya gejolak hati, tapi tindakan yang hadir dalam kehidupan. Patut ditanamkan bahwa cinta itu aktif — hadir untuk memahami, merawat, dan menggerakkan, bukan sekadar merasa dan menerima secara pasif.
Anak-anak belajar bahwa mencinta bukan insting, tapi seni batin yang perlu diasah: dengan kepekaan, latihan, dan ketekunan. Cinta itu seni — dan setiap seni perlu dilatih.
Cinta yang mereka pelajari adalah cinta yang menumbuhkan, bukan mengerdilkan. Ia membangun keberanian, bukan ketakutan. Cinta yang terus berjuang memperbaiki diri, mencintai ilmu, etos kerja dan kehidupan berkemajuan.
Cinta yang sehat juga melindungi, bukan melukai. Ia menjauh dari kekerasan, menjauh dari manipulasi. Cinta seperti ini tak hanya peduli pada sesama manusia, tapi juga merawat bumi — karena cinta sejati adalah cinta yang ekologis.
Anak-anak dilatih untuk meraba luka yang tak terlihat, memahami batin orang lain. Karena cinta yang sejati butuh empati dan validasi — tak cukup dengan niat baik, ia butuh keluasan jiwa.
Mereka juga belajar bahwa cinta tak berjalan sendiri. Ia tumbuh dalam ruang perjumpaan: saling memberi, saling mengerti. Cinta yang sehat adalah gotong royong jiwa, bukan dominasi satu pihak.
Tatkala tiba waktunya untuk memilih jalan yang sulit demi kebaikan, anak-anak tahu: cinta sejati itu rela berkorban, bukan demi kehancuran diri, tapi demi nilai yang lebih besar — keadilan, kemanusiaan, kebenaran, dan kehidupan bermakna.
Akhirnya, mereka dituntun untuk menjaga kesucian cinta: dalam pikiran, kata, dan perbuata. Karena cinta itu kudus — jalan spiritual yang menyucikan diri, menghubungkan kita dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta.
Inilah kurikulum cinta: ruang tumbuh bagi jiwa yang ingin mencintai dengan sehat, bijak, dan memuliakan kehidupan
***
Judul: Kurikulum Cinta
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.