MajmusSunda News, Jumat (28/03/2025) – Artikel berjudul “Kesucian Kolektif” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, ibarat bening embun yang terperangkap di daun lusuh, kepulangan kita ke Idul Fitri acapkali melahirkan situasi “kesucian” yang riskan.
Pribadi-pribadi boleh saja terlahir kembali bak embun suci. Namun, relung kehidupan negara tempat mereka bertahan boleh jadi ruang yang cemar.
Langit suci diuapi kekotoran bumi dari merebaknya praktik korupsi, noda integritas dan sengkarut tata kelola, hingga hedonisme, konsumerisme dan eksibisionisme di tengah lautan kemiskinan.
Walhasil, kita tak cukup menjadi suci secara pribadi, tetapi yang lebih penting bagaimana kesucian pribadi itu bisa jadi wahana penyucian kehidupan kolektif.
Di satu sisi kita harus tetap menjaga sikap hidup positif dan optimis. Psikolog David D Burn mengingatkan bahwa ketika seseorang atau suatu bangsa depresi oleh belenggu pesimisme, daya hidupnya dilumpuhkan oleh jeratan 4D—defeated (rasa pecundang), defective (rasa cacat), deserted (rasa hampa diabaikan) dan deprived (rasa tercerabut)—yang dihayati seolah sebagai kenyataan sejati.
Di sisi lain, optimisme tersebut haruslah bersifat realistis, bahwa kegembiraan tidaklah datang dengan sendirinya sebagai tiban. Usaha penyucian harus menyentuh simpul terlemah yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan sejauh tak melakukan “kebohongan”. Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Di negara ini, kebohongan koruptif telah menjelma menjadi pilar utama negara. Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik legalisme otokratis yang mengabaikan substansi demokrasi dan nalar sehat nomokrasi. ”Korupsi setiap pemerintahan,” ujar Montesquieu, ”Selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan.”
Inilah saatnya, kebaikan pribadi harus memiliki komitmen untuk menyehatkan etika sosial dan tata kelola. Idul Fitri mengajak manusia kembali ke asal fitrah kemurnian manusia sebagai makhluk pencari makna. Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang pertobatan kolektif, kita hadapi krisis kebangsaan dengan kembali ke fitrah akhlak dan cita negara.
***
Judul: Kesucian Kolektif
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***