MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Jum’at (25/04/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Karisma Hortikultura Jawa Barat” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Pamor hortikultura (buah-buahan, sayuran, tanaman obat-obatan dan tanaman hias) kembali dipersoalkan. Jawa Barat, sebagai Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, memang dikenal sebagai salah satu sentra produksi pangan nasional, dimana sekitar 18 % produksi padi nasional dihasilkan oleh para petani Jawa Barat. Selain itu, Tatar Sunda ini pun diketahui pula sebagai sentra produksi berbagai macam komoditas hortikultura, seperti sayuran dari Lembang atau Cipanas, Cianjur. Kentang dari Ciwidey atau Pangalengan. Nenas dari Subang. Mangga dari Indramayu. Umbi dari Cilembu. Talas dari Bogor dan lain sebagainya lagi.

Mengacu pada potensi yang seperti inilah, maka sudah saatnya pengembangan hortikultura di Jawa Barat, perlu digarap secara lebih serius lagi. Dibandingkan dengan komoditas padi, perhatian Pemerintah untuk mengembangkan hortikultura atau pun palawija, memang terkesan belum maksimal. Pemerintah rupanya masih tetap menjadikan padi sebagai komoditas utama dalam format dan kebijakan pembangunan pertanian yang dilakoninya. Alasannya logis, karena padi tetap dianggap sebagai komoditas politis dan strategis. Sedangkan hortikultura atau pun palawija, umumnya diposisikan masih sebatas komoditas biasa.
Akibatnya wajar bila pengembangan hortikultura terkesan “setengah hati” dan masih menyisakan berbagai masalah yang menghadangnya. Apalagi jika kita berkeinginan juga untuk meningkatkan harkat dan martabat petani hortikultura ke suasana yang lebih baik lagi. Padahal kita juga maklum bahwa dengan meningkatnya produksi secara kuantitas, namun tidak diimbangi oleh adanya system pemasaran yang wajar, pasti tidak akan meningkatkan pendapatan petani produsen. Bahkan sering terjadi, di balik naiknya produksi, ternyata pendapatan petani produsen malah menjadi turun. Mengapa ? Salah satu jawaban nya adalah karena langkanya informasi pasar yang diberikan bagi petani.
Harus diakui bahwa system informasi pasar yang sekarang ini dilakukan, khususnya untuk komoditas hortikultura, pada umumnya masih sangat sederhana, sehingga para petani produsen dan pedagang sukar memperoleh informasi pasar yang cepat dan tepat. Mereka sendiri sangat membutuhkan informasi tersebut. Misalnya saja tentang perkembangan harga dan parameter pasar lainnya, untuk memungkinkan mereka dapat mengambil suatu keputusan yang rasional terhadap produksi dan pemasaran. Hal ini penting dicatat, karena kalau saja informasi pasar ini telah mereka kenali, maka paling tidak akan ada tiga keuntungan yang dapat mereka peroleh yaitu :
Pertama, memungkinkan para petani produsen dan pedagang dengan mudah mengetahui situasi pasar, seperti jenis dan komoditas yang diperlukan konsumen, mutu yang diminta di pasaran, tingkat harga yang terjadi dipasaran, dan lain-lain; kedua, memungkinkan mereka mengambil keputusan yang sesuai dengan situasi pasar dan ketiga, memungkinkan para petani produsen dan pedagang mendapatkan tingkat harga yang wajar.
Untuk meningkatkan produktivitas dan mengefesienkan pemasaran suatu komoditas pertanian, ternyata pada prakteknya tidak segampang yang dibayangkan. Sebab, membahas persoalan ini pada hakekatnya merupakan sama saja dengan membahas unsur-unsur serta hubungan antar unsur yang satu dengan yang lainnya, yang melibatkan produsen, konsumen, pengumpul, pedagang, sarana dan prasarana, harga, permintaan dan penawaran, kelembagaan dan lain sebagainya.
Kalau kita perinci, maka inti masalah pengembangan hortikultura umumnya dapat digolongkan ke dalam tiga katagori utama yaitu aspek produksi, aspek pemasaran dan aspek sarana/prasarana. Dari sisi produksi, hal-hal yang cukup penting untuk diperhatikan adalah bagaimana caranya agar para petani produsen hortikultura mau mencoba merubah pola tanamannya dengan menggunakan tanaman unggul.
Konsekwensinya, perlu disediakan bibit unggul yang gampang diperoleh petani, sehingga kalau selama ini telah dikembangkan dan disediakan dengan mudah bibit unggul untuk tanaman padi, maka hal yang serupa pun perlu dikembangkan untuk tanaman hortikultura.
Sehubungan dengan persoalan ini, disadari pula bahwa merubah suatu pola tanam adalah usaha yang tidak mudah dilakukan. Kalau pola tanam ini perlu dirubah, maka cara bercocok-tanam nya pun perlu disesuaikan dengan hasil perubahan itu sendiri. Dan itu menyeret kita kearah pemikiran, bagaimana caranya agar para petani produsen hortikultura ini mampu menyesuaikan diri dengan pola baru beserta perangkat dan akibat yang bakal ditimbulkannya. Mungkin saja kita akan berhasil merubah suatu pola tanam, namun belum tentu kita akan berhasil merubah dalam hal adaptasi dan aplikasi system serta diversifikasi yang lainnya.
Untuk itulah, jika kita ingin merubah pola tanam dan pola bercocok-tanam, khususnya untuk komoditas hortikultura ini, harus diikuti dengan perubahan pola sikap masyarakatnya, pola musim tanamnya, pola panen, pola pengolahan dan pengawetan lahan serta tanaman dan lain sebagainya lagi. Disinilah diperlukan hadirnya unsur pendidikan dan penyuluhan bagi petani, disamping hal-hal yang menyangkut penanganan paska panen. Lewat kegiatan penyuluhan yang diberikan secara intensif kepada petani, tentunya kita berharap agar mereka itu dapat mengerti atas upaya yang ditempuh ini.
Selanjut nya, yang menyangkut penanganan paska panen, pada dasarnya lebih diarahkan agar para petani mampu mengelola hasil panennya secara lebih baik lagi. Dari aspek pemasaran dan sarana/prasarana, ternyata banyak juga hal yang patut dicermati. Sedikitnya aka nada lima masalah yang patut direnungkan, yaitu
Pertama menyangkut aspek mutu. Untuk meningkatkan mutu produksi, sebenarnya dapat ditempuh dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengadakan sortasi dan grading yang selektif. Sedangkan untuk menjaga kerusakan dalam prosesing, rupanya sangat diperlukan adanya “collecting house” yang memenuhi persyaratan teknis dengan areal pertanian dalam jumlah yang dibutuhkan.
Kedua, yang menyangkut packaging. Artinya, untuk menghindari dan memperkecil jumlah kerusakan yang secara tidak langsung akan memberikan tingkat harga yang lebih baik, tentunya mutlak diperlukan rasionalisasi keranjang menurut volume dan pola yang telah ditentukan. Baik dalam hal bentuk, lebar atau pun tingginya. Hal semacam ini perlu dikembangkan, karena berdasarkan pengamatan yang menyeluruh, ternyata setelah adanya packaging yang lebih baik, tingkat kerusakan komoditas hortikultura dapat ditekan dari 30 % menjadi 15 %.
Ketiga adalah aspek standarisasi. Dengan adanya penyesuaian mutu produksi yang dibutuhkan konsumen, ukuran berat dan packaging yang tepat menurut kebutuhan pasar, tentunya akan lebih memudahkan pemasaran hasil produksi dalam persaingannya dengan negara-negara penghasil lainnya. Untuk itu sangatlah perlu dilakukan standarisasi terhadap barang yang disesuaikan dengan selera dan keinginan konsumen.
Keempat adalah soal transportasi. Diakui bahwa saat ini sudah banyak cara dan metode yang digunakan bagi kelancaran bidang pemasaran tersebut. Erat kaitannya dengan itu, khususnya di dalam pengembangan ekspor komoditas hortikultura ini, paling tidak ada dua hal pokok yang perlu dikenali, yaitu pertama tentang perlunya penyempurnaan cara tradisional dalam pengapalan, seperti pentingnya exhauster guna mengatur pergantian udara selama perjalanan, dan kedua adalah dengan penggunaan container sehingga pengangkutan dapat lebih terjamin lagi mutunya.
Dan kelima, masalah pasar itu sendiri. Dalam kaitan ini tentunya kita sepakat bahwa untuk lebih menjamin harga produksi petani di pasaran dalam negeri, perlu diadakan pasar induk hortikultura untuk tempat pelelangan.
Di tempat inilah para petani produsen dapat membawa langsung produksinya untuk dilelang atau melalui Koperasi, sehingga pada akhirnya para petani akan mampu menjual hasil produksinya dengan tingkat harga yang wajar. Dengan demikian, disparitas pasar yang selalu terjadi antara daerah produksi dengan pasar dapat dihindarkan, yang selama ini seolah-olah selalu dijadikan obyek spekulan para tengkulak.
Mudah-mudahan dengan dilakukan penataan system produksi dan system pemasaran yang lebih utuh, maka kharisma hortikultura sebagai potensi riil Jawa Barat dalam mengembangkan pembangunan pertanian tanaman pangan, diluar padi, akan benar-benar dapat diwujudkan. Dan ujung-ujungnya pasti akan menjadi kebanggaan khusus kita bersama.
***
Judul: Karisma Hortikultura Jawa Barat
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi