MajmusSunda News, Sabtu (12/02/2025) – Artikel ini ditulis oleh Asep GP berdasarkan hasil wawancara dengan Dr. Hemasari Dharmabumi, S.H., M.H. Seorang pakar Tenaga Kerja, Tim Ahli Jabar Juara Disnakertrans Provinsi Jawa Barat.
Tanah Sunda sudah terkenal sejak dulu, negeri subur makmur gemah ripah loh jinawi. Tapi seiring waktu semua itu sebentar lagi akan jadi kenangan. Lihatlah, sekarang lahan pertanian di tatar Sunda sudah semakin berkurang akibat alih fungsi lahan serampangan, lahan sawah dan ladang kini jadi pabrik, kantor, perumahan, dsb, selain itu orang Sunda juga akan menghadapi ‘Bonus Demograpi’ , jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dibanding usia non produktif, memang kondisi seperti ini akan menaikan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan, tapi kalau tidak dikelola dengan benar, membludaknya penduduk usia kerja yang tidak punya keahlian dan keterampilan akan meningkatkan angka pengangguran.
Sekarang terbukti pengangguran terbanyak di Indonesia adalah orang Sunda / Jawa Barat. Beberapa waktu yang lalu tercatat ada 2 juta pengangguran di Jawa Barat. Sedangkan lowongan kerja hanya bisa menerima seribu orang di seluruh Indonesia. Jawa Barat juga banyak menghasilkan lulusan SMK, ada lebih dari 3000 orang dalam setahunnya.

Hal ini tentu jadi persoalan yang serius bagi orang Sunda. Lalu bagaimana solusinya.
“ Orang Sunda sekarang mah harus melanglang buana, berani ngumbara (merantau) ke mancanagara. Kalau di zaman sekarang orang Sunda tidak ada yang mau mencari kerja dan pengalaman di tempat lainnya, orang Sunda tidak akan maju-maju. Tanah Sunda sekarang sudah menyempit, penduduknya sudah padat, penuh oleh perumahan. Memang orang Sunda terkenal tidak jago merantau, tidak mau jauh dari sarakan (tempat kelahirannya) yang subur mamur indah asri, tapi sekarang Sumber Daya Alam( SDA) urang Sunda sudah menipis, terbatas, Ya tidak ada jalan lain, harus mengelola sumber daya manusianya (SDM), jalan keluarnya sekarang orang Sunda harus berani melanglangbuana”, demikian kata Hemasari Dharmabumi (52) , Pakar Ketenagakerjaan Spesialis Migrasi & Diaspora ketika ditemui wartawan di rumahnya, dikawasan Perumahan Ligar Elok , Cimenyan – Bandung.
Hemasari memang punya program dengan disnaker provinsi Jawa Barat untuk memberangkatkan pemuda/pemudi Sunda ke 3 negara tujuan, Jepang, Korea Selatan, dan Jerman.
Sebab di 3 negara itu aging population ( proporsi penduduk lansianya tinggi ), tingkat pertumbuhan penduduknya minus satu . Jarang ada pemudanya, jadi butuh tenaga-tenaga kerja muda. Ketiga Negara itu juga secara sosial termasuk aman, beda dengan timur tengah.
Program ini kata Hema, untuk mengatasi agar para orang tua mereka tidak jadi TKW. Jangan sampai Negara kita direndahkan, dianggap pengekspor babu. Jadi yang dikirim ke sana para pemuda/ pemudi yang sudah punya keterampilan dan keahlian (skill), alhasil mereka juga bisa betah bekerja di sana dengan mendapat bayaran yang pantas, hingga bisa menanabung buat modal usaha ketika pulang kampung.
Hema ketika di Pemprov, di zaman kepemimpinan Gubernur Ridwan Kamil, membangun aplikasi ‘Si Juara’. Hingga saat ini pun Si Juara masih jadi semacam Job Fair Online. Jadi sekarang kalau mau mencari lowongan kerja tak perlu jauh-jauh, tinggal buka hape . Tapi Hema wanti-wanti harus berhati-hati, harus mancari laman resmi dari pemerintah atau lembaga yang sudah dipercaya untuk menghindari penipuan.
Di sini anak-anak lulusan SMK (Sarjana dan lulusan SMA juga bisa daftar, asal punya keterampilan), bisa melihat pesyaratan dan mendaftar, nanti kalau ada panggilan akan diwawancara pihak persahaan Jepang, Korea Selatan atau Jerman, tergantung ke negara mana mereka daftar. Syarat lainnya selain punya keterampilan dan keahlian, mereka dituntut juga untuk memiliki kemampuan bahasa Negara tujuan, untuk memudahkan komunikasi di sana.
Gajinya juga besar, di Jepang gajinya 28 juta/ bulan, bersihnya 15-20 juta. Oleh karena itu tidak heran, anak-anak muda yang bekerja di Jepang mampu mengirim uang ke ibunya 15-10 juta/ bulan. Terlebih di Korea Selatan dan Jerman gajinya lebih besar lagi, sekitar 30 jutaan/ bulan.
“Makanya sengaja pemuda/pemudi Sunda teh didorong ke 3 negara tersebut, karena gajinya hampir sama antara 24-35 juta /bulan. Apalagi kalau di Jerman, bisa sambil sekolah karena gratis, begutu juga di Jepang. Jadi sesuai dengan harapan yang punya program , para pemuda/pemudi yang ngumbara di sana bisa bekerja sambil meneruskan sekolahnya. Jauh sekali kalau dibandingkan kerja di industri di kita, selain gajinya kecil, di ritel isalnya hanya 2.5 juta/bulan, belum kalau ada yang ngutil karyawannya harus mengganti dengan uang sendiri, “Memang di Bandung juga banyak lahan pekerjaan tapi kualitas kesejahteraannya kecil sekali , ya paling jadi sales, OB (office boy), dsb,” demikian kata Hema.
“ Kalau generasi muda Sunda bekerjanya di industri seperti itu, tentu kehidupannya akan repot, degradasi terus. Sibuk di sana sembari hidup susah. Sudah gitu mereka nikah muda. Jadi siklusnya tidak hilang. Sedangkan yang menghilangkan siklus kemiskinan adalah pendidikan. Itu skill , keterampilan adalah pendidikan, jadi ketika mereka sudah terdidik punya keterampilan bisa bekerja dimana saja, “ kata Hema serius.
Kalau generasi muda Sunda berani ngumbara untuk bekerja ke tempat jauh kata Hema, akan kaya dengan pengalaman, bisa menimba ilmu pengetahuan dari kehidupan bangsa lain yang lebih maju. Apalagi kalau kesananya sambil membawa ciri khas budaya Sunda yang someah (ramah) dan handap asor, membuang sifat belikan/pundungan, cageur, bageur, bener, pinter. Tentu bangsa lain juga akan mengenal budaya Sunda yang luhung itu.
“ Jadi menurut saya, orang Sunda mempelajari budayanya pada saat dia mempelajari budaya orang lain. Saya mempelajari budaya Sunda ketika di Jepang dan Australia . Setelah saya banding-bandingkan ternyata refleksi budaya, seperti semangat bushido, konsep-konsef dasar berperilaku , etos kerja, di Sunda juga ada, harus hideng, ajeg punya tangtungan, harus adab menghargai guru , pemerintah ( yang adil bijaksana), orang yang lebih tua dan kepada kedua orangtua (guru ratu wong atua karo) atau someah hade ka semah, lamun hayang ngakeul kudu ngakal, dsb. Begitu juga petuah-petuah karuhun untuk menjaga alam, lingkungan hidup di Sunda sangat ditekankan demi keselamatan manusia dari murkanya alam. Tapi itu sekarang tidak ada yang mempelajari. Filsafat Sunda sudah tidak dipakai dan tidak diberlakukan lagi, jangankan itu bahasa Sunda aja sudah tercerabut dari kehidupan sehari-hari anak-anak sekarang. Harusnya semua itu mereka pelajari, bukan hanya bahasa tapi falsafahnya juga. Kenapa perempuan Sunda duduknya harus emok tidak nyangegang (mengangkang), itu semua pasti ada artinya. Kapamalian / tabu itu ada maksud ilmiahnya, adab kesopanan itu harusnya dipelajari sejak pendidikan dasar. Karena kalau adab hilang, ya seperti sekarang anak-anak muda jadi tidak beradab, “ tandasnya.
Oleh Karena itu Hema mengajak agar orang Sunda punya pemikiran cerdas untuk memajukan bangsanya. Kita jangan takut kehilangan sarakan, dan orang Sunda melanglangbuana itu bukan untuk menghilang, selesai kerja kita akan kembali ke tanah Sunda dan harus membangun sarakan Sunda, kecuali jadi diaspora, jadi warga di negara lain, selamanya tinggal di negeri orang.
Kalau ada nonoman (pemuda) Sunda belajar pertanian di Jepang misalnya, akan bertambah pengetahuannya, bisa mencontoh etos kerja di Jepang yang terkenal pekerja keras, rajin dan disiplin. Demikian juga teknologi pertanian di Jepang bisa diterapkan di kita. Dan ketetika mereka kembali ke lemah cai (tanah air), mereka membawa duit yang banyak untuk modal usaha. Hal ini tidak akan akan jadi kenyataan kalau kita tetap tinggal disini terus sambil bermuram durja.
“Makanya ketika Kang Emil (Ridwan Kamil, Gubernur Jabar saat itu) berencana menyuruh petani milenialnya magang di petani-petani Jawa Barat, saya tidak seutuju. Karena petani Jabar itu bukan kelompok patani yang berhasil, hasilnya hanya untuk konsumsi sendiri. Petani-petani di kita memang umumnya lebih ke pertanain sub sistem, pertanian tanpa teknologi tinggi, tanpa jaringan pemasaran. Oleh karenanya lebih baik ke Jepang saja. Di sana mereka bisa mencontoh etos kerjanya, bisa belajar ilmu teknologi pertaniannya , plus mendapatkan uangnya, dan punya jaringan pemasarannya. Dimana kalau pulang ke sini dan orang Jepang butuh wortel misalnya, mereka bisa jadi eksportir wortel ke Jepang,” kata Hema.
Jadi kesimpulannya orang Sunda harus ngumbara. Kalau tidak mau ke luar dari sarakan maka kita tidak opensif secara kultural dan secara ekonomi. Kata Hema ada yang perlu ditiru dari orang China yang terkenal sangat power full, karena ada yang disebut Overseas Chinese (Tionghoa Perantauan, menetap permanen di Negara lain), dan China-China yang ngumbara lah yang membuat China jadi powerfull. Coba bayangkan kalau urang China ngotok ngowo terus di negaranya yang penduduknya terpadat diu dunia dan sempit lahannya.
Yang membuat mereka Berjaya itu populasi penduduknya besar tapi mau ngumbara ka jauhna, merantau ke berbagai negara dan sebagian besar jadi diaspora. Orang cina kalau pergi ke Vietman jadi orang Vietnam. Tapi akan ada masanya semua akan tahu kalau mereka orang China dengan semua kehebatan dan jaringan-jaringan ekonominya.
“Kalau orang Sunda tidak bisa ikut konsep seperti yang dilakukan orang China tidak akan berubah. Kita akan terus kalah, ibarat maen bola yang menang itu yang opensif, yang menang itu yang menyerang ke luar, bukan yang diam di daerahnya sendiri. Kalau begitu dia akan jadi depensif, dia akan keserang dan itu terbukti, bangsa kita sekarang yang diam di sini sedang diserang secara budaya, dengan drama Korea, budaya hiphop dsb. Makanya harus banyak duta budaya yang keluar yang memperkenalkan budaya kita. Sehingga bangsa lain bisa mengenali budaya kita, “ begitu kata Alumni GSSTF Unpad.
Orang Sunda jangan ngotok ngowo terus di kandang, di negaranya sendiri seharusnya orang Sunda menguasai Jakarta, ini kok malah lebih banyak orang Jawanya. Padahal secara geografis Jakarta itu di tatar Sunda , di daerah Jawa Barat. Dahulunya juga Sunda Kalapa, wilayah kerajaan Pajajaran. Sekarang pakai Whoosh aja Bandung- Jakarta hanya 45 menit .
Jadi menurut alumni fakultas Hukum Unpad (S1), ada berbagai alasan kenapa orang Sunda harus ngumbara, dari mulai alasan demografis, ekonomis, dan budaya, “Sekarang kalau orang pada bingung dan heran kenapa orang Sunda tidak banyak berkiprah atau karirnya tidak nyongcolang dalam perpolitikan di Indonesia. Ya ngumbara ke Jakarta aja yang deket pada malas, alasannya panas, hareudang tea, dsb, Ya bagaimana mau berpolitik, mentalitas untuk fight- nya kurang dan fight yang pertama yang harus dilakukan adalah fight keluar kampungya”, tegasnya.
Kata Hema, Orang Batak yang jadi pengusaha, lawyer, politisi, itu Batak yang pindah ke Jakarta bukan yang diam di Samosir. Orang Padang yang jadi politikus, negarwan itu Padang yang pindah ke Jakarta bukan Padang Bukit Tinggi, “ Jadi kalau orang sunda pindah ka Jakarta aja gak mau ya bagaimana kita bisa berpartispasi lebih tinggi dalam perpolitikan, sumber daya perdagangan dan keuangan yang lebih besar, ari cicing wae di sarakan mah. Orang Tasik cicing wae di tasik kan kualitasnya tidak akan berubah.Kecuali dia mau pindah ke Bandung terus pindah ke Jakarta. Syarif Bastaman, paman saya, bisa jadi jugala dan cukup nyongcolang karir politiknya, karena keluar dari Salopa. Diam di Jakarta dan bisnis ke luar. Itu harusnya seperti itu orang Sunda mah, “ katanya serius.
Tapi Hema juga mengakui kalau pendapatnya, usulnya saat ini tidak populer di Tatar Sunda, tapi bakal jadi populer kalau kita sudah terdesak ekonomi. Dia juga cerita ketika SMP di kampungnya di Salopa Tasikmalaya, dari temannya sekelas yang 30 itu hanya tiga orang yang berani ngumbara ke luar negeri seperti dirinya. Hema memang pernah lama tinggal di Jepang, Australia, dan Genewa. Hema bertekad ingin jadi wanoja (perempuan) Sunda yang maju, tidak kurungbatokeun diam terus di kampungnya. Biar saja disebut Sunda mahiwal, nyeleneh, aneh juga. Dia ingin membuktikan Sunda juga berani merantau, bisa ngumbara ke tempat jauh dan mendapat mafaat, berhasil, dan sasieureun sabeunyeureun bisa memberi sumbangsih untuk kemajuan bangsa dan negara.
Demikian kata konsultan hukum trah Dalem Sawidak Sukapura, yang juga saat ini jadi Pegiat Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Disabilitas, serta pernah jadi aktivis Federasi Serikat Pekerja Internasional Sektor Pangan, menutup perbincangan di sore itu.
***
Judul: Orang Sunda kalau Mau Maju dan Sejahtera Harus Ngumbara
Jurnalis: Asep GP.
Editor: Jumari Haryadi