MajmusSunda News, Kolom OPINI, Minggu (23/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Harmonisasi Kebijakan Penyerapan & Penyimpanan Gabah” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Selaku warga bangsa, kita berhak untuk melakukan protes keras, jika ada Pemerintah yang ingin menjadikan kaum tani sebagai “korban pembangunan”. Hal ini penting dicermati, karena di Tanah Merdeka ini, petani memiliki hak untuk hidup sejahtera dan bahagia. Tugas dan kewajiban Pemerintahlah untuk segera mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan mereka.
Itu sebabnya, jika kita ingin mewujudkan cita-cita diatas, maka tanggungjawab untuk menjadikan petani sebagai “penikmat pembangunan”, menjadi tujuan penting yang harus dirumuskan dalam desain pembangunan bangsa dan negara ke depan. Pemerintah dengan seabreg kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, perlu berpikir keras guna melahirkan terobosan cerdasnya.

Dalam kaitannya dengan kebijakan penyerapan gabah petani saat ini, di lapangan sendiri, banyak pihak yang mempertanyakannya. Apakah langkah Pemerintah menyerap gabah kering panen (GKP) petani yang membebaskan petani untuk menjual gabahnya dari persyaratan kadar air dan kadar hampa tertentu, merupakan kebijakan yang cukup tepat dan tidak mengandung resiko?
Seorang sahabat yang dikenal sebagai pakar perberasan, sempat berbisik, “baru saja ditemukan ada beras berkutu di gudang Bulog, sudah membuat dunia perberasan di dalam negeri menjadi heboh”. Bayangkan kalau nanti terjadi turun mutu beras, karena keteledoran kebijakan dalam melakukan penyerapan gabah petani, akankah melahirkan kehebohan yang lebih hebat lagi ?
Sebelum lahir kebijakan penyerapan gabah tanpa syarat kadar air dan kadar hampa, Pemerintah telah memutuskan, agar para petani dapat menjual gabah kering panen sesuai dengan harga pembelian Pemerintah yang ditetapkan, maka kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %. Kini, persyaratan itu dicabut dan petani dibebaskan untuk menjual gabahnya, berapa pun kadar air dan kadar hampanya.
Menariknya, kalau petani diberi kebebasan untuk menjual gabah hasil panennya, tanpa syarat kadar air dan kadar hampa, namun Pemerintah malah mewajibkan kepada Perum Bulog, Pengusaha Penggilingan Padi/Beras dan Offtaker gabah lain, untuk dapat membeli gabah kering panen petani, minimal pada harga Rp. 6500,- per kg per kilogram.
Di sisi lain, target Pemerintah yang menugaskan Perum Bulog menyerap gabah petani sebesar-besarnya, dengan target 3 juta ton setara beras, jelas bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Masalah muncul, bukan hanya waktu penyerapan, tapi bagaimana pula dengan proses penyimpanannya ? Apakah Perum Bulog sudah siap dengan sarana pergudangan yang dibutuhksn ?
Inilah salah satu pertimbangan, mengapa perlu ada keharmonisan/singkronisasi kebijakan pengadaan/penyerapan gabah/beras dengan kebijakan penyimpanan gabah/beras itu sendiri. Pertanyaannya, jumlah gabah 3 juta ton setara beras ini mau disimpan dimana ? Bukankah sekarang Pemerintah mengaku sudah memiliki cadangan beras hampir 2 juta ton ?
Penyerapan dan penyimpanan gabah/beras dalam Tata Kelola Perberasan Nasional, betul-betul perlu diskenariokan secara utuh, holistik dan komprehensif. Bila kita gunakan pendekatan matematik, maka rumusannya menjadi SUKSES PENYERAPSN = SUKSES PENYIMPANAN. Apalah artinya penyerapan sukses jika penyimpanan nya gagal ?
Sekali lagi perlu diingatkan kepada otoritas pergabahan dan perberasan nasional, apakah sudah memiliki Grand Desain Penyerapan dan Penyimpanan Gabah/Beras untuk Tahun 2025 ? Kalau sudah ada dimana kita akan dapat membacanya. Lalu, bagaimana kesiapan Pemerintah jika panen raya padi ini berlangsung bersamaan dengan musim penghujan ?
Apakah Pemerintah telah menyiapkan solusi agar sindrom gabah basah tidak menjadi soal dalam proses penyimpanannya nanti ? Jangan-jangan hal ini belum dirumuskan, padahal dalam proses penyimpanan gabah/beras di lapangan, tidak bisa lagi cuma digarap secara parsoal. Tapi, sudah waktunya ditempuh pendekatan yang sifatnya sistemik.
Dihadapkan pada suasana demikian, tidak bisa tidak, Pemerintah perlu mengaca diri dan sesegera mungkin melakukan koreksi kebijakan ysng sudah dilahirkannya. Setidaknya, ada hal mendasar yang butuh pengkajian lebih seksama. Apakah sudah tepat Pemerintah “membebaskan” petani untuk menjual gabah kering panennya dari persyaratan kadar air dan jadar hampa tertentu ?
Dengan kondisi kehidupan petani sekarang, persyaratan agar petani dapat menyiapkan gabah kering panen yang bakal dijualnya, memiliki kadar air dan kadar hampa tertentu, sepertinya masih perlu diterapkan. Sebab, petani sendiri tampak masih kesusahan untuk memenuhi syarat kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %, supaya harga jual gabahnya dapat mencapai HPP yang ditetapkan.
Sekarang para petani padi tampak sedang siap-siap menyambut tibanya panen raya. Perum Bulog dan Offtzker gabah lainnya pun tak mau ketinggalan. Semua terfokus pada pelaksanaan panen raya. Persoalan kritisnya adalah apakah saat ini Pemerintah juga berpikir soal penyimpanannya, lalu bagaimana persiapan gudang-gudang penyimpanan? Mari kita tunggu jawabannya.
***
Judul: Harmonisasi Kebijakan Penyerapan & Penyimpanan Gabah
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi