MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Jum’at (02/05/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Gabah Kering Panen, Kok Basah?” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Gabah Kering Panen (GKP) adalah gabah yang telah dipanen dan dikeringkan hingga kadar airnya mencapai tingkat tertentu, sehingga siap untuk disimpan atau diolah lebih lanjut. GKP memiliki beberapa karakteristik kadar air yang relatif rendah (maksimal 25 %); gabah yang kering dan keras ĵuga siap untuk disimpan atau diolah menjadi beras

Pengeringan gabah setelah panen sangat penting untuk mengurangi risiko kerusakan akibat kelembaban; meningkatkan kualitas gabah dan mempermudah proses penyimpanan dan pengolahan. Dalam kehidupan petani, proses pengeringan gabah , umumnya dilakukan dengan mengandalkan kehadiran sinar matahari.
Masalah muncul ketika musim panen bertepatan dengan tibanya musim hujan. Dengan keterbatasan alat pengering gabah yang dimiliki petani, praktis petani akan menghasilkan “gabah basah”. Dari pengamatan di lapangan gabah basah adalah gabah yang baru dipanen dan masih memiliki kadar air yang tinggi, biasanya di atas 30-35 %.
Gabah basah memerlukan proses pengeringan, baik dengan alat pengering atau sinar matahari, untuk mengurangi kadar airnya sehingga dapat disimpan atau diolah lebih lanjut. Gabah basah memiliki beberapa karakteristik kadar air yang tinggi; tekstur yang lunak dan lembek dan risiko kerusakan lebih tinggi akibat kelembaban
Pengeringan gabah basah sangat penting untuk mengurangi risiko kerusakan dan pertumbuhan jamur; meningkatkan kualitas gabah dan mempermudah proses penyimpanan dan pengolahan selanjutnya. Pengalaman menunjukan, gabah basah bisa menjadi soal serius dalam proses penyimpanan di gudang-gudang Perum Bulog.
Pemahaman atas makna gabah kering panen dan gabah basah ini menjadi sangat penting, setelah adanya laporan yang menyebut penyerapan gabah oleh Perum Bulog dalam musim panen awal tahun ini, lebih banyak gabah apa adanya ketimbang gabah yang memenuhi standar kualitas prima. Lalu wajar jika ada yang mempertanyakan gabah kering panen, kok masih basah ?
Suka ataupun tidak, suara di masyarakat yang menyatakan gabah kering panen kok basah, sebetulnya merupakan pernyataan satir yang diaspirasikan berbagai kalangan. Pertanyaan selanjutnya, mengapa Perum Bulog tidak selektif lagi dalam nelakukan penyerapan gabah kering panen dari petani ? Hal inilah yang butuh jalan keluar terbaiknya.
Kata kunci terserapnya gabah berkualitas, ditentukan oleh dua faktor yang utama, yakni kadar air dan kadar hampa yang dikandungnya. Sebelum diberlakukannya aturan baru (Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No. 14/2025), Perum Bulog akan menyerap gabah petani dengan persyaratan kadar air maksimal 25 % dan kadar hanpa maksimal 10 % untuk mendapatkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah.
Jika kadar air dan kadar hampa tetap tinggi, Perum Bulog akan berpatokan pada tabel Rafaksi. Itu sebabnya, agar petani memperoleh harga yang tinggi, maka petani berkewajiban untuk mengeringkan gabah yang dipanennya terlebih dahulu, sebelum dijual ke Perum Bulog. Tugas Pemerintah adalah memfasilitasi petani dengan alat pengering gabah berteknologi sederhana yang dapat digubakan oleh para petani di lapangan.
Diterbitkannya aturan dan kebijakan, yang membebaskan petani untuk menjual gabah hasil panennya, tanpa persyaratan kadar air dan kadar hampa, dinilai sebagai “biang kerok”, mengapa Perum Bulog sampai harus menyerap gabah apa adanya. Masalahnya menjadi semakin rumit, tatkala Pemerintah mewajibkan Perum Bulog untuk menyerap gabah ‘any quality’ atau sering disebut juga sebagai gabah apa adanya dari petani.
Problem seperti ini, sebetulnya dapat dihindari kalau sejak jauh-jauh hari sebelumnya, kebijakan dan aturan baru ini telah disosialisasikan secara masif kepada para petani. Disinilah Perum Bulog penting bersinergi dan berkolaborasi dengan tenaga Penyuluh Pertanian lapangan untuk menyiapkan materi penyuluhan yang sebaiknya diberikan kepada para petani.
Sayang, langkah ini tidak ditempuh. Akibatnya, menjadi sangar masuk akal, bila petani mengambil langkah yang pragmatis dalam menjual gabah hasil panennya kepada Perum Bulog. Persepsi sebagian besar petani yang mengisyaratkan buat apa capek-capek mengeringkan gabah, kalau dengan kualitas gabah apa adanya pun, Perum Bulog akan nembelinya sesuai dengan HPP yang ditetapkan yakni Rp. 6500,-
Dengan penuh keriangan, petani pun berbondong-bondong menjual gabah hasil panennya kepada Perum Bulog tanpa mengindahkan lagi masalah kadar air dan kadar hampa. Sebab, aturan baru yang diterbitkan Pemerintah diatas mencabut persyaratan kadar air dan kadar hanoa dalam ketentuan penyerapan gabah oleh Perum Bulog.
Dalam pengertian lain, berapa pun kadar air dan kadar hampa yang melekat dalam gabah petani, Perum Bulog sebagai operator pangan telah diwajibkan untuk menyerap dan membeli gahah sebesar Rp. 6500,-. Konsekwensinya, tidak bisa dihindari, bilapl pada akhirnya Perum Bulog akan memperoleh gabah dengan kualitas sembarangan alias apa adanya.
Itu sebabnya, nenjadi sangat bisa dimengerti, bila kemudian banyak pihak yang mempersoalkan, kok bisa, gabah kering panen digudang Perum Bulog diisi oleh gabah yang basah? Bukankah akan lebih cocok kalau istilahnya disebut “gabah basah panen”. Bagaimana?
***
Judul: Gabah Kering Panen, Kok Basah?
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi