MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Kamis (01/05/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Stop Swasembada Beras ‘On Trend’” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
“On trend” sebenarnya berarti sedang populer atau menjadi tren saat ini. Dalam konteks bahasa gaul atau slang, “on trend” biasanya digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sedang populer atau fashionable. Dalam dunia media sosial, suasana on trend selalu terkait dengan yang sedang viral atau sedang menjadi topik pembicaraan yang populer dan banyak dibahas oleh masyarakat.

“Swasembada beras on trend” sendiri dapat diartikan sebagai swasembada beras yang tidak berkelanjutan atau hanya bersifat sementara, bukan sebagai pencapaian jangka panjang. Dalam konteks ini, “on trend” lebih merujuk pada sifat sementara atau mengikuti tren, bukan sebagai pencapaian yang stabil dan berkelanjutan.
Swasembada beras on trend bisa terjadi karena beberapa alasan, pertama, adanya kebijakan yang tidak berkelanjutan. Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten atau tidak berkelanjutan dapat menyebabkan swasembada beras hanya bersifat sementara. Kedua, karena adanya ketergantungan pada faktor eksternal. Ketergantungan pada impor atau faktor eksternal lainnya dapat membuat swasembada beras tidak stabil.
Ketiga, kurangnya investasi pada sektor pertanian dapat menyebabkan produksi beras tidak meningkat secara signifikan. Dan keempat, adanya dampak perubahan iklim. Perubahan iklim dapat mempengaruhi produksi beras dan menyebabkan swasembada beras tidak berkelanjutan. Catatan pentingnya, swasembada beras on trend dapat terjadi karena kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Bagi bangsa ini, pencapaian swasembada beras, bukanlah hal yang baru. Di era Orde Baru, tepatnya tahun 1984, untuk pertama kalinya Indonesia mendapat penghargaan dari Badan Pangan Dunia (FAO) atas prestasinya mampu mencapai swasembada beras. Lalu, pada tahun 2023, Indonesia mendapat penghargaan dari International Rice Reasearch Institute (IRRI), juga terkait dengan swasembada beras.
Oleh karena itu, jika saat ini Pemerintahan Presiden Prabowo dalam salah satu program prioritasnya ingin mencapai swasembada pangan, sebetulnya tidak ada salahnya bila Kabibet Merah Putih pun berkaca pada keberhasilan swasembada beras diatas. Banyak pihak berpendapat swasembada beras merupakan pintu masuk menuju swasembada pangan.
Melimpahnya produksi sehingga cadangan beras Pemerintah mampu menembus angka 3 juta ton ditambah dengan tidak ada lagi impor beras mulai tahun 2025, membuat banyak pihak yang berkesimpulan sebetulnya kini Indonesia sudah berswasembada beras lagi. Pertanyaan kritisnya adalah apakah sejak sekarang kita mampu mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan atau permanen ?
Jawaban inilah yang kita butuhkan. Hal ini menarik, karena swasembada beras yang diraih selama ini cenderung bersifat ‘on trend’. Artinya, tahun 1984 kita memang mampu mengukir kisah sukses swasembada, namun beberapa tahun kemudian, lagi-lagi kita mengimpor beras dengan angka cukup tinggi. Akibatnya, bangsa ini tidak bisa mengklaim berswasembada beras.
Begitu pun dengan yang terjadi tahu. 2023. Setelah diberi penghargaan oleh IRRI yang didampungi oleh FAO juga, Pemerintah mengumumkan keberhasilan menggenjot produksi sehingga mampu berswasembada beras, beberapa kemudian, terpaksa Pemerintah harus impor beras, karena produksi dalam negeri, tidak mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri.
Anomali iklim yang melahirkan El Nino membuat banyak negara tak mampu berbuat banyak guna melahirkan jalan keluar terbaiknya. Apalagi bagi bangsa kita, yang saat itu sedang bersiap-siap menyambut datangnya Pesta Demokrasi. Lagi-lagi Indonesia menghadapi ‘darurat beras’. Dengan demikisn, mau tidak mau impor beras menjadi pilihan kebijakan yang harus diambil.
Tahun 2024, produksi beras nasiobal sungguh memilukan. Bukan saja karena iklim dan cuaca yang tidak berpihak ke dunia pertanian, namun dampak terjadi nya kejahatan kerah putih di Kementerian Pertanian yang melibatkan langsung Menteri Pertanian saat itu, terasakan di tahu mb 2024. Priduksi beras secara nasional yang dihasilkan, jauh lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya.
Lebih memilukan lagi, ternyata impor beras yang kita tempuh, untuk tahun 2024, betul-betul angkanya cukup spektakuler. Versi Badan Pusat Statistik (BPS), impor beras tahun 2024 menembus angka 4 juta ton lebih. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Jokowi menyampaikan kebahaguaannya, karena Indobesia mempetoleh penghargaan atas kisah sukses meraih swasembada beras.
Pengalaman semacam ini, mestinya mengingatkan kita, bahwa tugas mewujudkan swasembada beras, tidak hanya semarak saat pencapaiannya saja, namun ysng tak kurang pentingnya adalah melestarikan apa yamg telah diraihnya itu. Swasembada beras yang diraih harus berkelanjutan, tidak bokeh lagi hanya bersifat swasembada beras on trend.
Swasembada beras on trend, sepatutnya kita stop. Kita berjuang untuk segera merubahnya menjadi swasembada beras berkelanjutan. Sebagai bangsa pejuang, kita harus bekerja keras agar kisah sukses swasemvada beras tetap menjadi ‘trade mark’ bangsa kita. Dalam bahasa lain, swasembada beras berkelanjutan adalah ‘harga mati’ yang perlu dijaga dan diamankan dengan serius
***
Judul: Stop Swasembada Beras ‘On Trend’
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi