Epilog: Koperasi di Bawah Bayang-Bayang Sangkar Usang

Bangsa Eropa
Ilustrasi: Bangsawan Eropa di Indonesia Era kolonial - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (02/04/2025) – Puisi berjudul “Epilog: Koperasi di Bawah Bayang-Bayang Sangkar Usang” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Di pelataran koperasi imaji, seratus cerita terkulai— 
sebagian adalah luka lama: VOC menebar garam di tanah subur, 
mengubah padi menjadi angka-angka yang dibawa ke negeri seberang, 
sementara getah karet dan rempah menggumpal jadi rantai. 
Di sini, waktu bukanlah garis lurus, melainkan lingkaran 
yang mengulang bisik kapal-kapal pecah, muatan eksploitasi. 

Tapi lihat: di antara debu gudang kolonial yang reyot, 
koperasi menumbuhkan akar yang lain— 
CHS di Amerika menggemakan biji gandum sebagai kekayaan bersama, 
Jepang memungut puing Perang Dunia, 
dibentuk MacArthur jadi JA-Zenchu yang bertahan di tengah salju. 
CDU di Kalimantan Barat merajut sungai dan hutan 
menjadi simpanan yang tak bisa diukur dolar. 

Namun di sini, di tanah yang pernah berteriak merdeka, 
Pasal 33 digantungkan sebagai pusaka yang terkelupas catnya. 
Para pahlawan yang merumuskannya—Hatta, Soepomo, Mohamad Yamin dan para Pendiri Republik lainnya— 
dikubur dalam arsip yang dikunci oleh angin pragmatis. 
“Ekonomi kerakyatan” kini jadi mantra usang, 
diinjak-injak roda pasar yang menggilas desa. 

Di sudut pasar, di gubuk yang atapnya bocor, 
rakyat jelata masih menunggu cinta kasih koperasi: 
simpanan yang tak digerogoti lintah darat, 
pupuk yang tak beracun, harga yang tak dipermainkan tengkulak. 
Mereka berbisik, “Di mana dulu kau bersemi, 
sebelum asap pabrik menutupi matahari?”

Koperasi imajinasi ini adalah perlawanan: 
setiap cerita adalah palu godam 
untuk memecah sangkar warisan Penjajah. 
Seratus kisah adalah seratus tangan 
yang merajut kembali tenun Pasal 33— 
pusaka yang tak boleh mati di lemari hukum. 

Di langit, para leluhur koperasi mengawasi: 
suara Hatta berpadu dengan semangat Raiffeisen, 
Jenderal MacArthur dan petani Kalimantan 
menyusun peta ekonomi dari air mata yang dikristal. 
Mereka berteriak, “Jangan biarkan angka-angka kolonial 
mencuri lagi panenmu yang ke seribu!” 

Epilog ini adalah api kecil yang tersisa, 
dinyalakan untuk membakar ketidakpedulian. 
Koperasi bukan sekadar mimpi, apalagi hanya sebuah nama—ia adalah pangkalan 
di mana rakyat jelata belajar menulis harga diri 
dengan tinta yang tak bisa dibeli asing. 
Seratus cerita? Itu baru awal. 
Nantikan saatnya kita genggam semua lumbung yang dirampas,  
kembalikan ke pelukan Pasal 33— 
pusaka yang tak perlu berdarah lagi.

***

Judul: Epilog: Koperasi di Bawah Bayang-Bayang Sangkar Usang
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *