MajmusSunda News, Kolom OPINI, Sabtu (29/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Transformasi Ekonomi Berbasis Koperasi: Strategi Indonesia Menuju Dekolonisasi, Pertumbuhan Inklusif, dan Transisi Hijau” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Setelah kita berimajinasi Jenderal Douglas MacArthur menjadi Presiden Indonesia pada tulisan sebelumnya yang berjudul “Andaikan Indonesia 2045 di Bawah Kepemimpinan Jenderal MacArthur: Visi Transformasi Ekonomi dan Sosial”, pada tulisan ini kita menggunakan teori Long Wave Kondratieff ke VI (2030-2070) yang berbasis teknologi hijau, demokrasi ekonomi, dan kearifan lokal sebagai motor ekonomi pada era ini. Seperti apa cerita selanjutnya, silakan baca artikel di bawah ini. Semoga bermanfaat. Salam koperasi.

I. Ringkasan Eksekutif
Indonesia menghadapi tiga krisis struktural:
(1) deindustrialisasi (kontribusi manufaktur turun dari 28% PDB/2001 ke 16%/2023),
(2) guremisasi lahan pertanian (meningkatnya persentase petani dengan luas lahan usahatani kurang dari 0.5 hektar) dan
(3) ketimpangan berat (Gini Index 0,38).
Pemerintah melihat solusi melalui pengembangan 80.000 Koperasi Desa Merah Putih. Dengan melihat keberhasilan Credit Union (CU) Keling Kumang di Kalimantan Barat (aset Rp 7,8 triliun, NPL 1,2%, 600.000 anggota), misalnya, maka pengembangan koperasi selain memiliki landasan teoritis yang kuat juga didukung oleh pengalaman empiris di negara maju ataupun di negara berkembang, termasuk kasus-kasus Credit Union di Kalimantan Barat.
Analisis berbasis Gelombang Panjang Kondratieff memproyeksikan bahwa koperasi merupakan instrumen strategis dalam transisi ke Gelombang Ekonomi Kondratieff Ke-6 (2030–2070) yang berbasis teknologi hijau, demokrasi ekonomi, dan kearifan lokal (Lihat Gambar berikut):
Dokumen ini merekomendasikan kerangka kebijakan integratif untuk mengoptimalkan koperasi sebagai pilar transformasi ekonomi nasional, sekaligus membandingkan prospek Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam.
II. Konteks dan Permasalahan
A. Krisis Struktural dalam Negeri
Deindustrialisasi:
Penyebab: Struktur ekonomi yang berkembang tidak dibangun untuk berkembangnya proses kreatif dan kekuatan pasar yang bisa dan kuat melahirkan dan mengembangkan proses industrialisasi. Salah satu akibatnya adalah rendahnya penggunaan Iptek sebagai akibat dari lemah dan tidak dipandangnya R&D sebagai suatu investasi. Industri yang berkembang pun akhirnya adalah industri yang bahan bakunya bersumber dari impor misalnya, 70% industri tekstil bergantung kapas impor. Selain itu, iklim investasi di Indonesia kurang kondusif sehingga terjadi migrasi industri ke Vietnam, misalnya.
Dampak: Defisit neraca perdagangan manufaktur (-$12,3 miliar/2023).
Guremisasi Lahan:
Fragmentasi lahan pertanian (rata-rata 0,3 ha/KK) memicu penurunan produktivitas (40% lebih rendah di lahan <0,5 ha) dan alih fungsi 1,2 juta ha sawah (2013–2023).
Ketimpangan Ekonomi:
75% pasar dikuasai 5 konglomerat, sementara 0,2% UMEN hanya menyumbang 4,1% PDB.
B. Kegagalan Model Ekonomi Konvensional
Kapitalisme Konglomerasi: Memperparah kesenjangan dan ketergantungan impor.
Ekstraktivisme Kolonial: Ekspor bahan mentah (minyak sawit, batu bara) dengan nilai tambah rendah by designed.
III. Analisis Berbasis Teori Kondratieff: Posisi Indonesia dalam Siklus Gelombang Ekonomi
A. Fase Gelombang Ke-5 (1990–2030): Krisis Akhir
Ciri: Dominasi teknologi digital, pertumbuhan berbasis konsumsi, dan kesenjangan ekstrem.
Dampak di Indonesia: Urbanisasi masif (56% penduduk di kota), defisit manufaktur kronis.
B. Transisi ke Gelombang Ke-6 (2030–2070): Peluang Koperasi
Ciri Gelombang Ke-6: Ekonomi hijau, desentralisasi produksi, dan kolaborasi komunitas.
Peran Koperasi:
Integrasi Teknologi-Komunitas: AI/blockchain untuk rantai pasok pertanian.
Ekonomi Sirkular: Pengelolaan limbah dan energi terbarukan berbasis desa.
Redistribusi Aset: Kepemilikan kolektif lahan, energi, dan data.
IV. Strategi Kebijakan: 80.000 Koperasi Desa Merah Putih
A. Empat Pilar Utama
Reformasi Regulasi:
UU Koperasi Desa Berkelanjutan: Legitimasi Hak Pengelolaan Lahan Komunal (HPL) sebagai agunan.
Insentif fiskal (pajak 0% untuk koperasi hijau, subsidi bunga 3%).
Teknologi untuk Demokrasi Ekonomi: Koperasi Chain (blockchain transparan) dan SI-Koperasi (dashboard terintegrasi).
Adaptasi Kearifan Lokal: Model “jaminan sosial” ala CU Kalimantan dan kurikulum berbasis budaya.
Penguatan SDM: 500 Akademi Koperasi Desa dan sertifikasi profesional anti-korupsi.
B. Roadmap Implementasi 2025–2045
Fase Target Indikator Kunci
Stabilisasi (2025–2030) 20.000 koperasi di Kalimantan, Bali, NTT.
– Alih fungsi lahan turun ke 50.000 ha/tahun.
– 10% desa miliki koperasi energi terbarukan.
Konsolidasi (2030–2040)
50.000 koperasi terintegrasi global.
– Ekspor koperasi $15 miliar/tahun.
– Kontribusi PDB 15%.
Ekspansi (2040–2045)
80.000 koperasi sebagai tulang punggung ekonomi desa.
– 40% energi nasional dari koperasi.
– Gini Index 0,30.
V. Dampak Ekonomi Makro dan Perbandingan Regional
A. Proyeksi Makroekonomi Indonesia
Indikator 2023 2040
Ekspor Barang (Mil.) $292,4 $550–600
Cur. Acc. Balance +1,2% PDB +3,5–4% PDB
Utang LN/Gov. 29,7% PDB 20–22% PDB
Capi. Account +$18 miliar +$30–40 miliar
B. Perbandingan dengan Malaysia dan Vietnam
Indikator
Indonesia (2040) Malaysia (2040) Vietnam (2040)
Ekspor barang
$ 550-600 miliar
$450-500 miliar
$800-900 miliar
Current Account
+3.5 – 4% dari PDB
1.5 – 2 % PDB
4-5% PDB
Capital Account
$ 30-40 miliar
$ 15 -;20 miliar
$ 50-60 miliar
Utang LN Pemerintah
20-22 % PDB
60-65 % PDB
30 -35 % PDB
Analisis Komparatif:
Vietnam: Dominasi manufaktur high-tech, surplus current account tertinggi.
Malaysia: Stagnasi di sektor tradisional, utang tinggi.
Indonesia: Posisi unik di ekonomi hijau dan redistribusi berbasis koperasi.
VI. Positioning Strategis Indonesia di ASEAN
A. Keunggulan Komparatif
vs Vietnam:
Indonesia unggul di produk olahan pertanian premium (kopi, kakao) dan energi terbarukan.
Vietnam lebih kompetitif di manufaktur berbiaya rendah.
vs Malaysia:
Indonesia membangun ekonomi hijau resistan krisis, sementara Malaysia terjebak komoditas volatil.
B. Tantangan Bersaing
Vietnam:
Upah buruh rendah ($250/bulan) dan insentif FDI agresif.
Solusi: Koperasi fokus pada sertifikasi hijau (organik, fair trade).
Malaysia:
Infrastruktur digital lebih maju (kecepatan internet 2x Indonesia).
Solusi: Percepat KoperasiChain untuk efisiensi rantai pasok.
VII. Manajemen Risiko dengan Pembelajaran Regional
A. Risiko Elite Capture
Pelajaran dari Malaysia: Oligarki sawit menghambat inovasi.
Mitigasi: Batasi kepemilikan saham individu di koperasi maksimal 5%.
B. Risiko Ketergantungan Teknologi
Pelajaran dari Vietnam: 80% teknologi manufaktur berasal dari FDI → rentan gejolak.
Mitigasi: Alokasikan 10% keuntungan koperasi untuk R&D mandiri.
C. Risiko Perdagangan Internasional
Pelajaran dari Malaysia: Sengketa WTO atas subsidi sawit.
Mitigasi: Patuhi standar keberlanjutan global (ISPO, RSPO).
VIII. Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Kesimpulan
Transformasi berbasis koperasi berpotensi menjadikan Indonesia:
Pemimpin Ekonomi Hijau ASEAN, dengan ekspor produk olahan dan energi terbarukan.
Model Demokrasi Ekonomi, berbeda dari kapitalisme negara Vietnam atau oligarki Malaysia.
B. Rekomendasi Strategis
Dewan Koperasi ASEAN: Harmonisasi standar produk hijau regional.
Aliansi Desa Digital: Kemitraan Indonesia-Malaysia-Vietnam untuk platform e-commerce bersama.
Dana Mitigasi Risiko Regional: Alokasi 5% APBN untuk proteksi koperasi dari fluktuasi global.
Penutup
Dengan kebijakan ini, Indonesia tidak hanya keluar dari jebakan pendapatan menengah, tetapi juga menjadi mercusuar transformasi ekonomi berkeadilan di Asia Tenggara — menyeimbangkan pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan.
“Masalah kita bukanlah kurangnya sumber daya, tapi kurangnya imajinasi” – Arundhati Roy
“Imagination is more important than knowledge” – Albert Einstein
***
Sumber: Conversation with DeepSeek
Judul: Transformasi Ekonomi Berbasis Koperasi: Strategi Indonesia Menuju Dekolonisasi, Pertumbuhan Inklusif, dan Transisi Hijau
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
