Batutulis: Prasasti Buatan Sri Baduga Maharaja Tahun 1433 Masehi – Bagian 2

Artikel ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana

Prasasti Batutulis
Prasasti Batutulis - (Sumber: Istimewa)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Minggu (16/02/2025) – Artikel berjudul “Batutulis: Prasasti Buatan Sri Baduga Maharaja Tahun 1433 Masehi – Bagian 2” ini ditulis oleh: Gelar Taufiq Kusumawardhana.

Ketiga soal titi mangsa. Sejauh ini tidak ada kesepakatan mengenai penafsiran terhadap angkat tahun yang pembacaan terakhir disempurnakan oleh Mang Hasan yakni Panca Pandawa Nyemban Bumi. Namun, seluruh penafsir sepakat bahwa Panca dan Pandawa bernilai angka 5 sementara Bumi bernilai angka 1 sehingga deret angkanya 5-5-[? ]-1.

Sementara itu tidak ada kesepakatan terkait dengan penafsiran terhadap simbologi linguistik Ngemban (sebelumnya dibaca Emban). Ada yang memberikannya nilai 2, 3, dan 4. Karena tidak ada patokan kita coba masukan alternatif dalam gradasi paling rendah ke gradasi paling tinggal dengan angka 1, 2, 3, 4, dan 5.

Gelar Taufiq Kusumawardhana
Gelar Taufiq Kusumawardhana – (Sumber: Koleksi pribadi)

Jika seluruh angkanya bernilai 5511 dibalik menjadi 1155 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1233 Masehi. Jika seluruh angkanya bernilai 5521 dibalik menjadi 1255 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1333 Masehi.

Jika seluruh angkanya bernilai 5531 dibalik menjadi 1355 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1433 Masehi. Jika seluruh angkanya bernilai 5541 dibalik menjadi 1455 + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1533 Masehi.

Jika seluruh angkanya bernilai 5551 dibalik menjadi 1555 Saka + 78 sebagai konversi ke Masehi maka angka akhirnya 1633 M. Adapun angka yang diterima secara umum pada saat ini adalah 1533 M pada era kekuasaan Prabu Surawisesa putra Sri Baduga Maharaja.

Sekarang, karena tidak ada kepastian soal simbologi kata Ngemban atau Emban yang ditafsir secara spekulatif maka saya mengajukan alternatif pembanding kalibrasi melalui aspek kronologi meskipun sama-sama bersifat relatif, yakni babad-babad yang diterima secara umum penalarannya.

Dalam babad-babad Sri Baduga Maharaja yang dikenal dalam tradisi sastra dengan nama Siliwangi, Jayadewata, Rajasunu, dan Pamanahrasa merupakan menanti dari pamannya sendiri di Cirebon namanya Ki Gedeng Tapa. Adapun Ki Gedeng Tapa merupakan aktor yang menerima kunjungan muhibah armada Wangsa Ming Cina yang katakanlah di bawah Laksamana Cheng Ho.

Riset yang berkaitan dengan ekspedisi Cheng Ho yang memakan waktu tujuh kali perjalanan berlangsung dari tahun 1405-1433 Masehi. Masa kelahiran Cheng Ho (Sayid Mahmud Syamsyuddin) diperkirakan pada tahun 1371 M. Generasi Cheng Ho ini secara logika akan setara dengan generasi Ki Gedeng Tapa.

Meskipun masih muda, tapi Siliwangi sudah menikah dengan Nyi Mas Subang Larang putra Ki Gedeng Tapa dan termasuk dengan Nyi Mas Sindang Kasih putra Ki Gedeng Sindang Kasih yang juga masih sepupunya (anak pamannya) sehingga jelas bahwa Siliwangi merupakan saksi muda ketika ekspedisi pelayaran Cheng Ho berlangsung. Termasuk ketika membawa mubalig-mubalig yang menumpang ke dalam kapal dari kawasan Champa dan Semenanjung Melayu seperti Syeh Quro (Karawang) yang bernama lain Sayid Hasanuddin.

Syeh Quro inilah yang menjadi Guru Agama dari Nyi Mas Subang Larang yang merupakan kolega Ki Gedeng Tapa yang sudah menjadi muslim sejak sebelum bertemu Syeh Quro sehingga titi mangsa pembuatan Prasasti Batu Tulis pada angka 1433 Masehi yang berkaitan dengan akhir pelayaran Cheng Ho sangat realistis dan masuk akal.

Inilah seharusnya titi mangsa terhadap Sri Baduga Maharaja ditempatkan dalam kronologi sejarah. Yakni abad ke-15 Masehi dan bukan pada abad ke-16 Masehi ketika sudah berlangsungnya era pelayaran Portugis.

Secara kronologi dapat dipaparkan bahwa Portugis mulai menguasai Malaka pada tahun 1511 Masehi. Pada tahun 1512 Masehi berdasarkan berita Portugis salah-satu pangeran dari Sunda melakukan lobi aliansi antara Sunda-Portugis.

Lobi aliansi dilakukan kembali pada tahun 1521 Masehi dan diakhiri dengan dilakukannya traktat perjanjian Sunda-Portugis pada tahun 1522 M. Pada sisi lain Portugis yang berkuasa di Malaka mendapat tantangan dari Demak bersama koalisinya yang meliputi Malaka, Samudra/Pasai, Palembang, Cirebon, dan termasuk Ming (Cina) pada tahun 1513 Masehi, 1521 Masehi, 1550 Masehi, dan 1574 Masehi. Samudra/Pasai kemudian jatuh kepada Portugis pada tahun 1521 Masehi. Namun demikian Sunda Kalapa berhasil diambil alih dari tangan Portugis pada tahun 1527 Masehi.

Sekarang kita uji jarak antara pelayaran Cheng Ho dari Ming/China dan Portugis. Jika dihitung dari awal pelayaran Cheng Ho tahun 1405 Masehi terhadap penaklukan Malaka oleh Portugis tahun 1511 Masehi maka jaraknya 106 tahun. Bahkan jika dihitung dari masa akhir pelayaran Cheng Ho pada tahun 1433 M terhadap penaklukan Malaka tahun 1511 Masshi itu pun masih terpaut jarak 78 tahun. Dengan demikian dapat diasumsikan bawa peristiwa tersebut merentang pada generasi yang berbeda.

Jika masa hidup Sri Baduga Maharaja dapat dikalibrasi melalui Prasasti Batu Tulis tahun 1433 Masehi. Demikian juga melalui babad dan catatan ekspedisi Cheng Ho antara 1405-1433 Masehi. Sementara dalam naskah Carita Parahiyangan dikatakan masa berkuasanya berlangsung selama 39 tahun.

Pada tahun 1433 Masehi ketika Prasasti Batu Tulis dibuat Sri Baduga Maharaja jelas sudah berkuasa sejak tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja karena tidak ada kepastian kita anggap saja pada tahun 1433 Masehi tersebut baru diangkat menjadi raja penuh dan berkuasa selama 39 tahun maka masa akhir kekuasaannya dan termasuk masa hidupnya maksimal pada tahun 1472 Masehi (seharusnya lebih awal dari angka tahun ini). Artinya masih membutuhkan waktu tempuh 40 tahun lagi hingga terjadinya lobi salah-satu pangeran Sunda pada tahun 1512 Masehi di Malaka.

Jika masa berkuasa Sri Baduga Maharaja paling terlambat pada tahun 1472 Masehi. Maka tahun itu pulalah tahun kenaikan Prabu Surawisesa sebagai raja baru Sunda di Pakuan. Menurut naskah Carita Parahiyangan masa berkuasanya berlangsung 14 tahun. Artinya akan berakhir pada tahun maksimal 1486 Masehi sehingga masih akan memakan waktu 26 tahun menuju lobi Sunda di Malaka-Portugis.

Pada tahun 1486 Masehi dengan demikian giliran Prabu Ratu Dewata naik tahta dan berakhir setelah 8 tahun masih menurut Carita Parahiyangan. Maka masa akhir kekuasaanya jatuh pada tahun 1494 Masehi. Sehingga masa berlangsungnya lobi Sunda-Portugis di Malaka masih memakan waktu 18 tahun lagi.

Di bawah era Prabu Ratu Dewata sebenarnya masih terdapat Ratu Sakti, Tohaan di Majalaya, dan Nusiya Mulya. Namun demkian terlepas dari adanya selisih waktu kecil sebagai hasil dari penarikan angka pada naskah Carita Parahiyangan dalam pembuatan kronologi yang masih belum presisi.

Pada masa Prabu Ratu Dewata itulah peristiwa yang paling realistis terjadi. Pemerintahannya berlangsung tidak stabil. Muncul bancana musuh ganal, huru-hara, peperangan, dan kematian pangeran Sunda dengan nama Tohaan Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang. Jika mencari Sanghiyang yang melakukan lobi ke Malaka-Portugis. Bukankan jauh lebih rasional jika merujuk pada Tohaan Ratu Sanghiyang dibandingkan dengan Prabu Surawisesa?

Artinya bukan pada era Sri Baduga Maharaja dan Prabu Surawisesa lobi Sunda-Portugis tahun 1512 Masehi terjadi. Apalagi lobi Sunda-Portugis tahun 1521 Masehi dan perjanjian Sunda-Portugis tahun 1522 M dilaksanakan.

Demikian juga puncak pertempuran dan pengambilalihan Sunda Kalapa pada tahun 1527 M oleh aliansi Cirebon, Banten, Demak, dan sekutu lainnya. Bahkan dalam berita-berita Portugis jelas-jelas sudah mulai merujuk pada era Adipati Unus dalam penggempuran Demak ke Malaka.

Generasi Adipati Unus, Trenggono, Maulana Hasanuddin, Fadilah Khan bisa jadi masih berada dalam koordinasi generasi sebelumnya yakni Syarif Hidayatullah dan Raden Fatah. Generasi ini akan setata dengan generasi Prabu Ratu Dewata dan mungkin generasi lapis selanjutnya yakni Tohaan Sarendet dan Tohaan Ratu Sanghiyang. Dimulai dari era Prabu Ratu Dewata hingga memuncak pada era Prabu Nusiya Mulya yang berlangsung dalam tempo suksesi yang relatif pendek itulah skema sejarah kemungkinan berlangsung dalam tensi yang lebih panas.

Memicu kelahiran kesultanan yang sebelumnya tidak secara khusus membebaskan diri dari induk kerajaan Wilwatikta dan Sunda, sekaligus memicu berakhirnya era Wilwatikta/Majapahit dan Sunda/Pajajaran itu sendiri. Jika peristiwa itu semua terjadi maka diperlukan kegiatan kalibrasi waktu secara lebih presisi.

Adapun analisa yang diberikan di atas dalam rangka memberikan gambaran sejarah secara lebih proporsional dan mudah-mudahan lebih presisi. Semoga tawaran alternatif tersebut dapat diuji secara lebih cermat dan akademis. Bersambung ke tulisan bagian-3.

***

Judul: Batutulis: Prasasti Buatan Sri Baduga Maharaja Tahun 1433 Masehi – Bagian 2
Penulis: Gelar Taufiq Kusumawardhana
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas info penulis

Gelar Taufiq Kusumawardhana adalah Anggota Dewan Pakar Sejarah dan Kebudayaan, Majelis Masyarakat Sunda (MMS), Ketua Yayasan Buana Varman Semesta, dan Kandidat Doktor pada Konsentrasi Agama dan Budaya, Program Studi Agama-Agama, Program Pascasarjana (S3), Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung). Kini ia bermukim di Perumahan Pangauban Silih Asih, Blok R, No. 37, Desa Pangauban, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *