Ucapan ‘Aing’ dan ‘Siya’, Ini Maknanya dalam Bahasa Sunda ‘Buhun’

Aing adalah kata ganti orang pertama yang berbicara atau dalam bahasa Indonesia berarti 'saya'; 'aku'. Ditimbang dari rasa bahasanya, 'aing' sepadan dengan 'déwék'. Sedangkan Siya untuk orang kedua (maneh)

Hamparan batu usianya diduga sudah ratusan tahun orang setempat menyebutnya padepokan (tempat bersuci) slah satu jejak tradisi megalitik Kerjaan Denu Resi Wanayasa (Sumber: Agung Ilham Setiadi/majmussunda.id)

MajmusSunda News, Tasikmalaya, Jawa Barat, Kamis (6/5/2025) Artikel dalam Rubrik “BUDAYA” berjudul “Ucapan ‘Aing’ dan Siya, Ini Maknanya dalam Bahasa Sunda ‘Buhun”, ditulis oleh Agung Ilham Setiadi

Bagi warga Tatar Sunda (Jawa Barat), terutama etnis Sunda yang jumlahnya mencapai sekitar 40 juta mendengar kata ‘Aing’ dan ‘Siya‘ (sia) tentu saja sudah tidak asing lagi. Terutama bagi orang yang tinggal di pedesaan

Hanya saja jika mengucapkan kata “Aing’ dan ‘Siya’ jika diucapkan sembarang kepada orang lain bisa mengundang masalah terkesan sombong (adigung).

Padahal jika ditelusuri dari mana asal Bahasa Sunda Buhun (kuno) kata itu tidaklah berkonotasi buruk atau negatif ‘Siya’. Dua kata atau ucapan ini telah menjadi sangat populer dan banyak diucapkan di berbagai tempat, selain di Jawa Barat, terutama kata Aing.

Aing adalah kata ganti orang pertama yang berbicara atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘saya’; ‘aku’. Ditimbang dari rasa bahasanya, ‘aing’ sepadan dengan ‘déwék’. Sedangkan Siya untuk orang kedua (maneh)

Namun, bagi masyarakat Sunda sendiri, kata ‘aing’ dan ‘siya’ punya rasa bahasa yang nilainya kasar. Hal ini terjadi karena seiring dengan perjalanan sejarah dan budaya. Saat pengaruh Mataram datang ke Tatar Sunda lewat kekuasaan Sultan Agung, kata Aing itu mengalami pergeseran.

Ini karena di Sunda ada undak-usuk atau tingkat tutur dalam menggunakan bahasa Sunda. Padahal sebelumnya dalam perbincangan sehari-hari sebelum pengaruh Mataram di Tatar Sunda datang, kata Aing sudah menjadi bahasa sehari-hari bahkan digunakan oleh keluarga raja

Sejumlah bukti cara berbahasa yang terdapat dalam naskah Sunda kuno. Buku ‘Tata bahasa Acuan Bahasa Sunda’ terbitan Depdikbud Ri tahun 1994 mengutip naskah Sunda kuno, Tjarita Parahyangan.

….carek Rahyang Sempakwaja:” Rababu leumpang! Ku siya bwatkeun budak eta ka rahyangtang Mandiminyak. Anteurkeun Patemuan siya sang Slahtwah. Leumpang Pwah Rababu ka Galuh. “Ali (ng) dititah ku Rahyang Sempakwaja mwatkeun budak eta, beunang sija ngeudeu-ngeudeungeudeu ai(ng) teh” (Atja, 1968: 19)

Dalam kutipan itu, terdapak kata ‘aing’ (saya) dan ungkapan untuk lawan bicaranya ‘siya’ atau ‘sia’ yang berarti kamu. Dan itu menjadi bahasa sehari-hari. Dalam kutipan itu, bahasa antara suami dan istri.

Kata Siya juga sempat digunakan oleh Sang Sanjaya Putra Raja Galuh Bratasenawa yang terusir karena perebutan Tahta di Galuh (sekarang Situs Bojong Galuh, Desa Karangkamulyan, Kecmtan Bojong, Kabupaten Ciamis oleh keluarga Sempakwaja (Kerajaan Galunggung) lebih dikenal dengan sebutan Sena atau Sana (dalam Prasasti Canggal)

Sebagai pewaris tahta Kerajaan Galuh Sanjaya yang juga cucu pendiri Kerajaan Galuh Wretikandayun (612 M) ingin membalas dendam karena Ayahnya (Sena/Sana) terusir dari Keraton Galuh dan menyelamatkan diri ke Bumi Mataram Hindu (Neneknya Parwati Suami Wretikandayun atau Ibunya Sanaha suami Sana atau Sena)

Sebelum membalas dendam ke Keraton Galuh Sanjaya datang dulu untuk meminta nasehat ke Denuh (Kerajaan Denuh) yaitu Jantaka atau Resi Wanayasa atau Ranghyang Kidul.

Resi Wanayasa atau Jantaka menyarankan Sanjaya jika ingin menyerang ke Galuh jangan dari Denuh, tapi bisa dari Tarumanagara (Raja Tarusbawa/kakek mertua Sanjaya) yang juga punya ikatan darah dengan Sanjaya

Ini dialognya, dikutip dari buku Yuganing Raja Kawasa ditulis oleh Drs Yoseph Iskandar. Sang Resi Wanayasa: Sugan Siya kanyahoan ku ti Galuh (mungkin engkau akan ketahuan oleh orang Galuh, hal.129).

Nasehat Resi Wanayasa diikuti Sanjaya dan ia sendiri bersama pasukannya berangkat dari Denuh (sekarang ada di Desa Cicombre, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya) ke Tarumanagara (sekarang Bogor)

Ucapan ‘Aing’ tercatat juga di Naskah Bujangga Manik

Naskah Sunda Kuno Bujangga Manik dalam mengisahkan perjalanannya juga menggunakan kata ‘aing’ sebagai kata ganti orang pertama tunggal yang bertindak sebagai narator dalam kitab itu.

Menurut Ajip Rosidi, sebagaimana dikutip oleh ‘Tata bahasa Acuan Bahasa Sunda’ terbitan Depdikbud Ri tahun 1994, unsur undak-usuk di dalam bahasa Sunda berdasarkan sejarah bahasa, masuk ke dalam bahasa Sunda dan menjadi unsur bahasa Sunda sejak abad ke-17.

“Tingkat tutur berkembang bersamaan dengan “macapat”, bentuk sastra Babad, hasil kerajaan Mataram pada waktu Sultan Agung memerintah.” tulis Ajip dikutip dari buku tersebut di atas .

Ada juga yang menolak undak-usuk bahasa Sunda dipakai hingga kini. Alasannya, karena hal demikian bersinggungan dengan status sosial. Namun, bahasa Sunda dengan tingkat tutur itu telah berabad-abad dipakai di Sunda, sehingga cukup susah untuk melepaskan bahasa Sunda dari hierarki undak-usuknya.

Para ahli kemudian memberikan jalan keluar, bahwa undak-usuk tetap dipakai asal penggunaannya tidak dimaksudkan untuk menghinakan mereka yang status sosialnya rendah.

Judul: Ucapan ‘Aing’ dan Siya, Ini Maknanya dalam Bahasa Sunda ‘Buhun’
Penulis: Agung Ilham Setiadi
Editor: AIS

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *