Tradisi Mudik Lebaran Sebuah Keniscayaan

Artikel ini ditulis oleh Chye Retty Isnendes

Pintu tol
Ilustrasi: Antrian para pemudik menjelang lebaran di jalan tol - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Rubrik OPINI, Sabtu (05/04/2025) – Artikel berjudul “Tradisi Mudik Lebaran Sebuah Keniscayaan” ini ditulis oleh Chye Retty Isnendes, penulis asal Sukabumi, Jawa Barat; Guru Besar di Universitas Pendidikan Indonesia.

***

Budaya Indonesia yang bersifat abstrak merupakan perwujudan dari fitur-fitur kecil budaya yang bersifat kongkret. Fitur-fitur itu mewujud dalam ide (abstrak), aktivitas (abstrak dan kongkret), dan artefak (kongkret).

Pengusung budaya tiada lain aparatus-aparatus budaya, baik personal maupun komunitas. Pengusung budaya ini bukan hanya aparatus yang berkepentingan terhadap salah satu unsur budaya saja, misalnya seniman, tetapi seluruh masyarakat merupakan rangkaian pengusung budaya. Hal tersebut karena sejatinya aktivitas budaya dilakukan, dilaksanakan, dan dijaga dalam kesehariannya. Dari sanalah kita mengenal tradisi, sebagai sebuah proses pewarisan unsur budaya yang terus-menerus diturunkan.

Tradisi bukan hanya sesuatu yang besar dan mewah atau kolosal, seperti upacara-upacara adat atau perayaan-perayaan pada masyarakat adat tertentu. Tradisi adalah juga melingkupi pewarisan elemen-elemen kecil kebaikan dalam budaya dan berkebudayaan. Bukankah cara menjamu tamu, memberikan air minum, menyuruh anak gadis membuat sayur asem, sayur nangka, sambal terasi, membuat uli ketan, opor ayam, cara baik memakasi busana, dll, itu adalah juga tradisi dalam berkebudayaan. Mewariskan elemen dari unsur-unsur budaya yang diturunkan pada satuan terkecil masyarakat; keluarga.

Macet di jalan raya
Ilustrasi: Suasana kendaraan padat merayap di jalan raya yang dipenuhi para pemudik menjelang lebaran – (Sumber: Arie/MMS)

Pengusung budaya di Indonesia, faktanya adalah kaum mayoritas dan minoritas. Kaum mayoritas sudah tentu menjadi aparatus terbesar dalam pewarisan budaya di Indonesia ini. Uniknya umat Islam mempunyai keluasan cara dalam budaya dan fleksibilitas dalam pelaksanaannya. Berabad-abad wujud dan unsur budaya diusungnya. Ajaran Islam menjadi landasan pijak dalam kehidupan kesehariannya.

Pada wilayah bahasa dan sastra, ilmu pengetahuan, seni, teknologi, sosial pemerintahan, kalender, bahkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan akulturasi masyarakat Nusantara dengan ajaran Islam. Siapa pengusungnya? Tentu saja secara umum diusung oleh kaum muslimin yang sampai saat ini merupakan kaum mayoritas negara ini.

Pada kesehariannya, tata cara pelaksanaan tradisi yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai baik, pada masyarakat Sunda terutama adalah sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam. Kearifan lokal karuhun Sunda  yang sangat dipercaya dalam ungkara: cageur, bageur, bener, pinter, singer, pangger, wanter, cangker, jeung teger (sembilan (9) ungkara menurut Filsuf Sunda, Hidayat Suryalaga alm.), betapa merupakan enkulturasi ajaran Islam yang sangat memperhatikan dan menjadikan penting unsur kesehatan.

Perhatikan dari sembilan ungkara tersebut, tiga (3) ungkara berhubungan langsung dengan kesehatan: cageur, singer, cangker, dan satu (1) secara tak langsung: teger). Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan urang Sunda yang mayoritas beragama Islam menghayati dan mengamalkan hadis dan sunah Nabi akan kesehatan.

Lebaran
Ilustrasi: Saling memaafkan selama lebaran – (Sumber: Arie/MMS)

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Abbas bin Abdul Mutalib meminta saran doa apa yang harus dibaca, pada keponakannya Muhammad saw yang telah menjadi rasul. Jawaban Rasulullah adalah, “Wahai pamanku, mintalah ampun dan kesehatan”. Lalu pada kesempatan lain beliau meminta lagi saran pada keponakannya tersebut. Rasulullah menjawab lagi, ‘mintalah kesehatan pada Allah di dunia dan di akhirat’.

Kemudian, apabila seorang muslim berdoa dengan doa “salamet“, pasti mengetahui keutamaan dalam doa tersebut adalah rinciannya sebagai berikut: (1) selamatkan agama (Islam), (2) waafiatan fil jasad, (3) bertambahnya ilmu, (4) berkahnya rejeki, (5) taubatan sebelum kematian, (6) rahmat dalam kematian, (7) ampunan setelah kematian, (8) dimudahkan dalam kematian, (9) selamat dari api neraka, (10) pemaafan penghitungan amal, dan seterusnya. Perhatikan nomor dua, bahwa jelas kebugaran dan kesejahteraan tubuh sangatlah dipentingkan dalam Islam.

Hal ini kemudian diejawantahkan oleh urang Sunda dengan adaptasi bahasa dengan konsep yang sama, bahwa cageur (kebugaran) sangat penting dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebugaran tubuh diteruskan dengan bageur (sejahtera tubuh dengan melakukan kebaikan-kebaikan).

***

Lalu tentang mudiknya bagaimana? Inilah salah satu tradisi yang dilakukan umat Islam, baik urang Sunda maupun Indonesia lainnya, dalam menyambut lebaran atau Idul Fitri. Aktivitas budaya ini sangat istimewa. Telah banyak yang menelitinya melalui pendekatan sosiologi, agama, dan budaya. Muslim Indonesia yang melakukan mudik, seolah tak pernah bosan dari tahun ke tahun melakukannya. Dengan berbagai kesukaran dan kerumitan yang dihadapinya justru mereka dengan gembira dan penuh asa melakukannya.

Apa yang diburunya? Bukan hanya ingin lebaran di kampung halaman, bersilaturahmi dengan kawan-kawannya, atau mengenang masa lalu yang indah. Akan tetapi lebih dari itu: mereka ingin bertemu dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Bagi yang sudah meninggal, tentu ziarah kubur adalah yang terbaik dalam pikirannya.

Aktivitas mudik, lebih dari sekadar aktivitas tapi membawa ide, nilai, dan etika tentang bagaimana berjumpa dengan orang tua (baca: beribadah pada Allah, memuliakan mereka) karena wajib hukumnya memuliakan mereka. Jika tidak dengan uang yang banyak dengan bingkisan pun tak mengapa. Ya, oleh-oleh ala kadarnya. Tidak dengan itu, ya dengan berjumpa, mencium tangan orang tua, menatap wajah mereka dan atau memeluk tubuhnya.

Selain itu, umat Islam pasti mengetahui bahwa umur, maut adalah rahasia Allah, lalu Ramadan dan Idul Fitri (Syawal) menjadi ukuran umur manusia. Bila awal bulan Hijriyah adalah Muharam atau Syuro, atau awal bulan Masehi adalah Januari maka ini tak berlaku bagi penghitungan perjumpaan dalam batas usia. Dalam rentang tahun, bulan-bulan itu (Ramadan dan Syawal) dianggap bulan mulia dan harus dimuliakan (baca juga buku Adat-adat Urang Sunda Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta, karya Filsuf Sunda, Haji Hasan Moestapa, alm.).

Cobalah perhatikan percakapan orang-orang Sunda, biasanya terdengar kalimat begini.

Hayang tepung Ema teh, teu nyaho umur mah, bisi teu manggih deui puasa atawa lebaran“.

Teu sangka umur Haji teh teu nepi ka lebaran geuning. Hanjakal harita teu nyimpang ka bumina, padahal dicalukan dihiap-hiap ku anjeunna, ngan sasalaman we di pakarangan bumina.”

Kumaha atuh bapa teh geringan wae, sigana moal nepi ka lebaran umur teh…” dan lain sebagainya.

Ini merupakan pengetahuan tradisional Sunda dalam mengukur batas usia. Bukan ukuran umur: 40, 50, 60, 70 tahun, tetapi ‘puasa kamari, puasa ayeuna, puasa nu bakal datang’ dan ‘lebaran ayeuna, lebaran kamari, lebaran nu bakal datang‘. Pada ungkara itulah pengetahuan sebuah batasan yang merupakan bagian dari unsur budaya, hidup. Maka dari itu, hukum mudik bisa saja jadi setengah kewajiban, karena ada keharusan bertemu dan memuliakan orang tua dan handai taulan dari peristiwa mudik tersebut.

Dengan demikian, ketika larangan mudik pernah diembarkan ketika satu tahun setelah musim corona (2021), secara spontanitas masyakarat, umat Islam di perantauan terutama, menanggapinya dengan agak keras berbeda dengan larangan-larangan tahun sebelumnya (2020). Karena ya itu tadi, asumsinya adalah bahwa tahun lalu tak bisa bertemu dengan orang tua, lalu tahun ini pun tak bisa bersua pula? Bukankah maut tak ada yang bisa menghentikan, sedangkan patokan waktu menghitung kehidupan adalah Ramadan dan Lebaran? Intinya mereka tahu bahwa setiap Ramadan dan Lebaran, selalu ada formasi keluarga yang berubah dan berkurang karena kematian.

Sedihnya lagi pada waktu itu, pemerintah berlaku paradoksal dan ‘tak adil’ pada umat Islam. Masuknya WNA Cina gelombang ketiga dengan mudahnya ke negara Indonesia membuat kecemburuan umat yang banyak dilarang aktivitas keagamaannya ini. Bukan ukuran ratusannya WNA itu masuk ke Indonesia tetapi aturan yang yang tidak konsisten itu seolah-olah menjadi alat permusuhan pemerintah dengan umat Islam.

Pada pandemi itu, sepertinya bukan larangan-larangan yang diinginkan umat Islam, tapi aturan protokol kesehatan saja ditetapkan. Karena kita tahu pemerintah pun sedang menyiapkan kenormalan baru di wilayah pendidikan, ekonomi, seni dan seni ekraf. Bahkan secara praktis pasar-pasar, super market, mall, dan tempat hiburan dan wisata sudah (mulai lagi) dibuka lagi waktu itu. Lalu mengapa mudik dilarang sehingga menimbulkan kebersitegangan di masyarakat?

Uniknya orang Sunda dan orang Indonesia adalah bangsa yang kreatif, maka waktu itu berbagai sindiran dan meme pun hidup merespon larangan tersebut. Lucu, konyol, dan mengenaskan. Lucu-lucu hasil karyanya, baik tulisan maupun tayangan YouTube atau pun meme-nya, konyol bila mengaitkannya dengan kebijakan pemerintah, dan mengenaskan bagi umat Islam.

Lebaran tahun 2025 ini, disebutkan tradisi mudik mengalami penurunan 24% dikarenakan ekonomi yang melemah. Dinyatakan bahwa terjadi penurunan arus mudik dari jumlah 193,6 juta orang pada tahun 2024 menjadi 146,8 juta orang (https://www.metrotvnews.com/).

Walaupun demikian, mudik adalah keniscayaan karena mayoritas sebanyak 76% tetap melakukannya. Bahkan, pemerintah pun mendukung tradisi ini, lihat jargon polisi: “mudik aman, keluarga nyaman” https://www.instagram.com/reel/DHk5RfZvyOI/?igsh=b3U3MXRtc3JkMnF5).

Beruntungnya tahun ini, karena jumlah pemudik mengalami penurunan maka lalu lintas H-7 dan H+5 pun tidak terlalu macet. Mungkin membludaknya arus balik akan terjadi pada H+7 pada puncak mudik, tetapi diperkirakan tidak akan terjadi kemacetan total, pemudik hanya perlu bersabar menghadapi kepadatan yang merayap.

Selamat kembali ke perantauan, para pemudik.

***

Judul: Tradisi Mudik Lebaran Sebuah Keniscayaan
Kontributor: Chye Retty Isnendes
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang Penulis

Chye Retty Isnendes, nama popular penulis dari Sukabumi. Berbagai penghargaan telah diterima oleh Chye berkenaan dengan karya sastra Sunda dan karya akademiknya.

Prof. Dr. NM Chye Retty Isnendes, S.Pd., M.Hum., penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

***

MajmusSunda News, Rubrik OPINI, Sabtu (05/04/2025) – Artikel berjudul “Tradisi Mudik Lebaran Sebuah Keniscayaan” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Nyi Mas Chye Retty Isnendes, S.Pd., M.Hum., asal Sukabumi, Jawa Barat yang kini mengajar sebagai Dosen Prodi S1 Bahasa Sunda UPI (1999 – sekarang), juga mengajar di Prodi S2 Bahasa dan Budaya Sunda, dan di Prodi Linguistik (S2, S3).Budaya Indonesia yang bersifat abstrak merupakan perwujudan dari fitur-fitur kecil budaya yang bersifat kongkret. Fitur-fitur itu mewujud dalam ide (abstrak), aktivitas (abstrak dan kongkret), dan artefak (kongkret). Pengusung budaya tiada lain aparatus-aparatus budaya, baik personal maupun sosial. Pengusung budaya ini bukan hanya aparatus yang berkepentingan terhadap salah satu unsur budaya saja, misalnya seniman, tetapi seluruh masyarakat merupakan rangkaian pengusung budaya. Hal tersebut karena sejatinya aktivitas budaya dilakukan, dilaksanakan, dan dijaga dalam kesehariannya. Dari sanalah kita mengenal tradisi, sebagai sebuah proses pewarisan unsur budaya yang terus-menerus diturunkan. Tradisi bukan hanya sesuatu yang besar dan mewah atau kolosal, seperti upacara-upacara adat atau perayaan-perayaan pada masarakat adat tertentu. Tradisi adalah juga melingkupi pewarisan elemen-elemen kecil kebaikan dalam budaya dan berkebudayaan. Bukankah cara menjamu tamu, memberikan air minum, menyuruh anak gadis membuat sayur asam, sayur nangka, sambal terasi, membuat uli ketan, opor ayam, cara baik memakasi busana, dll, itu adalah juga tradisi dalam berkebudayaan. Mewariskan elemen dari unsur-unsur budaya yang diturunkan pada satuan terkecil masyarakat; keluarga. Pengusung budaya di Indonesia, faktanya adalah kaum mayoritas dan minoritas. Kaum mayoritas sudah tentu menjadi aparatus terbesar dalam pewarisan budaya di Indonesia ini. Uniknya umat Islam mempunyai keluasan cara dalam budaya dan fleksibilitas dalam pelaksanaannya. Berabad-abad wujud dan unsur budaya diusungnya. Ajaran Islam menjadi landasan pijak dalam kehidupan kesehariannya. Pada wilayah bahasa dan sastra, ilmu pengetahuan, seni, teknologi, sosial pemerintahan, kalender, bahkan Pancasila sebagai dasar negara merupakan akulturasi masyarakat Nusantara dengan ajaran Islam. Siapa pengusungnya? Tentu saja secara umum diusung oleh kaum muslimin yang sampai saat ini merupakan kaum mayoritas negara ini. Pada kesehariannya, tata cara pelaksanaan tradisi yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai baik, pada masyarakat Sunda terutama adalah sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam. Kearifan lokal karuhun Sunda yang sangat dipercaya dalam ungkara: cageur, bageur, bener, pinter, singer, pangger, wanter, cangker, jeung teger (sembilan (9) ungkara menurut Filsuf Sunda, Hidayat Suryalaga alm.), betapa merupakan enkulturasi ajaran Islam yang sangat memperhatikan dan menjadikan penting unsur kesehatan. Perhatikan dari sembilan ungkara tersebut, tiga (3) ungkara berhubungan langsung dengan kesehatan: cageur, singer, cangker, dan satu (1) secara tak langsung: teger). Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan urang Sunda yang mayoritas beragama Islam menghayati dan mengamalkan hadis dan sunah Nabi akan kesehatan. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa Abbas bin Abdul Mutalib meminta saran doa apa yang harus dibaca, pada keponakannya Muhammad saw yang telah menjadi rasul. Jawaban Rasulullah adalah, "Wahai pamanku, mintalah ampun dan kesehatan". Lalu pada kesempatan lain beliau meminta lagi saran pada keponakannya tersebut. Rasulullah.menjawab lagi, ‘mintalah kesehatan pada Allah di dunia dan di akhirat,’." Kemudian, apabila seorang muslim berdoa dengan doa "salamet", pasti mengetahui keutamaan dalam doa tersebut adalah rinciannya sebagai berikut: (1) selamatkan agama (Islam), (2) waafiatan fil jasad, (3) bertambahnya ilmu, (4) berkahnya rejeki, (5) taubatan sebelum kematian, (6) rahmat dalam kematian, (7) ampunan setelah kematian, (8) dimudahkan dalam kematian, (9) selamat dari api neraka, (10) pemaafan penghitungan amal, dan seterusnya. Perhatikan nomor dua, bahwa jelas kebugaran dan kesejahteraan tubuh sangatlah dipentingkan dalam Islam. Hal ini kemudian diejawantahkan oleh urang Sunda dengan adaptasi bahasa dengan konsep yang sama, bahwa cageur (kebugaran) sangat penting dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebugaran tubuh diteruskan dengan bageur (sejahtera tubuh dengan melakukan kebaikan-kebaikan). Lalu tentang mudiknya bagaimana? Inilah salah satu tradisi yang dilakukan umat Islam, baik urang Sunda maupun Indonesia lainnya, dalam menyambut lebaran atau Idul Fitri. Aktivitas budaya ini sangat istimewa. Telah banyak yang menelitinya melalui pendekatan sosiologi, agama, dan budaya. Muslim Indonesia yang melakukan mudik, seolah tak pernah bosan dari tahun ke tahun melakukannya. Dengan berbagai kesukaran dan kerumitan yang dihadapinya justru mereka dengan gembira dan penuh asa melakukannya. Apa yang diburunya? Bukan hanya ingin lebaran di kampung halaman, bersilaturahmi dengan kawan-kawannya, atau mengenang masa lalu yang indah. Akan tetapi lebih dari itu: mereka ingin bertemu dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Bagi yang sudah meninggal, tentu ziarah kubur adalah yang terbaik dalam pikirannya. Aktivitas mudik, lebih dari sekadar aktivitas tapi membawa ide, nilai, dan etika tentang bagaimana berjumpa dengan orang tua (baca: beribadah pada Allah, memuliakan mereka) karena wajib hukumnya memuliakan mereka. Jika tidak dengan uang yang banyak dengan bingkisan pun tak mengapa. Ya, oleh-oleh ala kadarnya. Tidak dengan itu, ya dengan berjumpa, mencium tangan orang tua, menatap wajah mereka dan atau memeluk tubuhnya. Selain itu, umat Islam pasti mengetahui bahwa umur, maut adalah rahasia Allah, lalu Ramadan dan Idul Fitri (Syawal) menjadi ukuran umur manusia. Bila awal bulan Hijriyah adalah Muharam atau Syuro, atau awal bulan Masehi adalah Januari maka ini tak berlaku bagi penghitungan perjumpaan dalam batas usia. Dalam rentang tahun, bulan-bulan itu dianggap bulan mulia dan harus dimuliakan (baca juga buku Adat-adat Urang Sunda Priangan jeung Sunda Lianna ti Eta, karya Filsuf Sunda, Haji Hasan Moestapa, alm.). Cobalah perhatikan percakapan orang-orang Sunda, biasanya terdengar kalimat begini. "Hayang tepung Ema teh, teu nyaho umur mah, bisi teu manggih deui puasa atawa lebaran". "Teu sangka umur Haji teh teu nepi ka lebaran geuning. Hanjakal harita teu nyimpang ka bumina, padahal dicalukan dihiap-hiap ku anjeunna, ngan sasalaman we di pakarangan bumina." "Kumaha atuh bapa teh geringan wae, sigana moal nepi ka lebaran umur teh..." dan lain sebagainya. Ini merupakan pengetahuan tradisional Sunda dalam mengukur batas usia. Bukan ukuran umur: 40, 50, 60, 70 tahun, tetapi 'puasa kamari, puasa ayeuna, puasa nu bakal datang' dan 'lebaran ayeuna, lebaran kamari, lebaran nu bakal datang'. Pada ungkara itulah pengetahuan sebuah batasan yang merupakan bagian dari unsur budaya, hidup. Maka dari itu, hukum mudik bisa saja jadi setengah kewajiban, karena ada kewajiban bertemu dan memuliakan orang tua dan handai taulan dari mudik itu. Dengan demikian ketika larangan mudik pernah diembarkan ketika satu tahun setelah musim corona (2021), secara spontanitas masyakarat, umat Islam di perantauan terutama, menanggapinya dengan agak keras berbeda dengan larangan-larangan tahun sebelumnya (2020). Karena ya itu tadi, tahun lalu tak bisa bertemu dengan orang tua, lalu tahun ini pun? Sedangkan maut siapa yang bisa menghentikan dan patokan waktu menghitung kehidupan adalah Ramadan dan Lebaran. Intinya mereka tahu bahwa Ramadan dan Lebaran, selalu ada formasi keluarga yang berubah dan berkurang karena kematian. Sedihnya lagi pada waktu itu, pemerintah berlaku paradoksal dan 'tak adil' pada umat Islam. Masuknya WNA Cina gelombang ketiga dengan mudahnya ke negara Indonesia membuat kecemburuan umat yang banyak dilarang aktivitas keagamaannya. Bukan ukuran ratusannya WNA itu masuk ke Indonesia tetapi aturannyang yang tak konsisten itu seolah-olah menjadi alat permusuhan pemerintah dengan umat Islam. Dalam masa pandemi itu, sepertinya bukan larangan-larangan yang diinginkan umat Islam, tapi aturan protokol kesehatan saja ditetapkan. Karena kita tahu pemerintah pun sedang menyiapkan kenormalan baru di wilayah pendidikan, ekonomi, seni dan seni ekraf. Bahkan secara praktis pasar-pasar, super market, mall, dan tempat hiburan dan wisata sudah (mulai lagi) dibuka. Lalu mengapa ketika itu, mudik dilarang sehingga menimbulkan kebersitegangan pada masyarakat? Uniknya orang Sunda dan orang Indonesia adalah bangsa yang kreatif maka waktu itu berbagai sindiran dan meme pun hidup merespon larangan tersebut. Lucu, konyol, dan mengenaskan. Lucu-lucu hasil karyanya, baik tulisan maupun YouTube atau pun meme-nya, konyol bila mengaitkannya dengan kebijakan pemerintah, dan mengenaskan bagi umat Islam. Lebaran tahun 2025 ini, disebutkan tradisi mudik mengalami penurunan 24% dikarenakan ekonomi yang melemah. Dinyatakan bahwa terjadi penurunan arus mudik dari jumlah 193,6 juta orang pada tahun 2024 menjadi 146,8 juta orang (https://www.metrotvnews.com/). Walaupun demikian, mudik adalah keniscayaan karena mayoritas sebanyak 76% tetap melakukannya. Bahkan, pemerintah pun mendukung tradisi ini, lihat jargon polisi: “mudik aman, keluarga nyaman” https://www.instagram.com/reel/DHk5RfZvyOI/?igsh=b3U3MXRtc3JkMnF5). Beruntungnya tahun ini, karena jumlah pemudik mengalami penurunan maka lalu lintas H-7 dan H+5 pun tidak terlalu macet. Mungkin membludaknya arus balik akan terjadi pada H+7 pada puncak mudik, tetapi diperkirakan tidak akan terjadi kemacetan total, pemudik hanya perlu bersabar menghadapi kepadatan yang merayap. Selamat kembali ke perantauan, para pemudik. *** Judul: Tradisi Mudik Lebaran Sebuah Keniscayaan Kontributor: Chye Retty Isnendes Editor: Jumari Haryadi
Advertorial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *