MajmusSunda News, Rabu (08/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul ”Titik Lemah Bulog Jadi Pebisnis” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Pertanyaan mana yang lebih tepat, Bulog menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) atau menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kelihatannya masih terus berlangsung. Mereka yang kerap mempertanyakan sekalugus mendiskusikannya, umumnya orang-orang lama yang tahu persis bagaimana kiprah Bulog sebagai LPNK dan Bulog sebagai BUMN.
BULOG, pertama kali dibentuk, berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/U/KEP/5/1967 tanggal 10 Mei 1967 dengan nama Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) BULOG dengan tujuan pokok, untuk mengamankan penyediaan pangan dan stabilisasi harga, dalam rangka menegakkan eksistensi Pemerintahan baru.

Sejak dilahirkan tahun 1967, hingga kini Bulog telah berumur lebih dari 57 tahun dan turut berkiprah secara nyata dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Melalui pendekatan pengadaan dan penyaluran, Bulog menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, sehingga penyediaan pangan dan stabilitas harga tetap terjaga dan terpelihara.
Di sisi kebijakan harga, Bulog menerapkan kebijakan harga dasar (floor price) dan harga atap (ceiling price). Kebijakan harga dasar diarahkan untuk melindungi para petani, sedangkan kebijakan harga atap dimaksudkan untuk melindungi konsumen. Kebijakan ini mampu membuat petani selaku produsen dan masyarakat selaku konsumen, dapat menerimanya dengan baik.
Kebijakan harga dasar dalam penerapannya, Pemerintah berkewajiban membeli harga gabah petani pada harga dasar yang ditetapkan, jika harga yang terjadi di lapangan berada di bawah harga dasar . Sebaliknya, jika harga beras di pasar lebih tinggi dari harga atap, Pemerintah berkewajiban menjalankan operasi pasar beras, sehingga masyarakat tidak dirugikan.
Seiring dengan berubahnya status Bulog dari LPND/K menjadi BUMN, kebijakan harga dasar dan harga atap pun berubah menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras. Dalam penerapannya, HPP tidak jauh berbeda dengan Harga Dasar dan Harga Atap. Kebijakan-kebijakan tersebut, intinya ingin melindungi petani dan masyarakat secara bersamaan.
Sejak ditetapkannya Bulog menjadi BUMN sudah banyak jenis bisnis yang dijalankan. Tentu kita masih ingat ketika Perum Bulog terlibat dalam program penggemukan sapi. Saat itu, beberapa petinggi Perum Bulog terpaksa harus berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum, karena ditengarai ada perkeliruan dalam pelaksanaannya.
Ujung-ujungnya, Direktur Utama dan salah seorang Direktur Perum Bulog ketika itu, terpaksa dijebloskan ke dalam bui. Hal ini, menggambarkan betapa tidak mudahnya “banting stir” dari mental pegawai negara menjadi pengusaha/pebisnis. Itu sebabnya, kita dapat memahami mengapa bisnis yang digarap Perum Bulog, diluar tugas PSO nya, belum ada yang berhasil.
Tatkala Bulog dituntut untuk menjadi BUMN yang handal, dalam kenyataannya terbukti tidak semudah yang tertuang di atas kertas. Walaupun banyak pegawai Perum Bulog yang dilatih dan dididik agar tampil menjadi pebisnis yang profesional, kelihatannya tidak terlalu memberi harapan yang menggembirakan. Mental amtenar lebih dominan merasuk dalam nuraninya.
BUMN/BUMD dikenal memiliki dua fungsi utama yang harus diembannya. Dari data yang ada BUMN/BUMD, kecuali perbankan, umumnya banyak merugi ketimbang meraup untung. Kita sendiri tidak pernah tahu dengan pasti, mengapa BUMN merugi. Apakah karena terlalu fokus pada penugasannya sebagai PSO atau memang di negeri ini, BUMN susah untuk mendapatkan untung.
Perum Bulog sebagaI BUMN, tentu tidak lepas kaitannya dengan kedua fungsi diatas. Menarik untuk dicermati, Perum Bulog belum pernah terceritakan memiliki bisnis unggulan yang cukup membanggakan. Justru yang lebih mengedepan adalah fungsi PSOnya. Kalau pun ada bisnis yang ditempuh diluar fungsi PSO, hanyalah usaha atau bisnis yang kecil-kecil saja.
Menampilkan Perum Bulog sebagai lembaga bisnis yang kuat dan profesional, sepertinya masih mengedepan sebagai cira-cira. Boro-boro memikirkan bisnis yang besar, sekedar menjalankan PSO saja dibutuhkan kerja keras yang maksimal. Kursi panas Perum Bulog membuat siapa pun yang menjadi Dirut Perum Bulog, tidak mungkin lepas dari tudingan yang melahirkan kejahatan kerah putih.
Dibandingkan sebagai lembaga bisnis dan lembaga politis, Perum Bulog lebih mengedepan mengutamakan kepentingan politik dari pada kemampuan bisnis yang dikembangkan nya. Intervensi kekuasaan terasa lebih dominan dalam “menghidup-matikan” sebuah BUMN. Jika sudah tidak senafas dengan kepentingan kekuasaan yang tinggal diganti atau dirombak saja Dewan Pengawas dan Dewan Direksinya.
Rasanya cukup susah menjadikan Perum Bulog menjadi lembaga bisnis yang profesional selama kepentingan politik masih mengendalikan gerak langkah dan kegiatannya. Siapa pun yang ditunjuk jadi Dirut Perum Bulog, apakah seorang Jendral berlatar-belakang tentara atau polisi, kalangan akademisi, profisional, politisi dan lain srbafainya, cukup sulit membawa Perum Bulog jadi pebisnis yang perkasa selama kepentingan politik penguasa menempel di dalamnya.
Berikanlah “kebebasan” berkreasi dan berinovasi bisnis kepada Perum Bulog. Jauhkan tempelan politis kepada Perum Bulog. Insha Allah Perum Bulog akan mampu tampil sebagai lembaga bisnis yang perkasa. Bangsa ini, butuh pengelola Perum Bulog yang berkarakter dan berjati-diri. Mari kita nantikan kehadirannya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Titik Lemah Bulog Jadi Pebisnis
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi