Teologi Sains

oleh: Prof. Yudi Latif

MajmusSunda News, Minggu (15/06/2025) Artikel berjudul “Teologi Sains” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Saudaraku, mengapa perkembangan sains dan teknologi di dunia Islam, khususnya di Indonesia, cenderung terbelakang? Salah satu alasannya terkait persoalan teologis

Prof. Yudi Latif
Prof. Yudi Latif, penulis – (Sumber: Instagram)

Orang Islam di Indonesia saat ini cenderung tidak taat asas dengan ajaran agamanya sendiri. Semua santri hapal bahwa ayat Tuhan itu bukan hanya yang tertera dalam kitab aksara (ayat naqliyyah), tapi juga dalam “kitab” semesta tanpa aksara (kauniyyah).

Bahwa alam semesta ini diciptakan oleh suatu super intelligent mind; dan bahwa otak manusia–sebagai bagian dari alam semesta–mestinya juga memantulkan reason dan intelek penciptanya.

Dengan kata lain, wahyu Tuhan mestinya tidak hanya terkandung dalam kitab aksara, tapi juga dalam akal manusia dgn kemampuannya memahami hukum alam secara rasional.

Artinya, memahami kitab suci dan memahami kitab semesta itu mestinya “sejajar” (simultan dan komplementer), sebagai cara memahami/menyingkap (rahasia, ilmu) Tuhan. Hal itu pernah menjadi sikap keagamaan dan pendekatan keilmuan yang dipraktekkan oleh para pemikir Islam di masa kejayaannya, seperti Ibn Rushd, Ibn Sina, Al-Farabi, dan lain-lain.

Ayat kitab suci dan ayat hukum alam bukan untuk diperhadapkan. Jika alam semesta merupakan emanasi (pancaran) atau “tajalli” (penyingkapan) dari yang esensi (Ilahi), maka mempelajari hukum alam lewat sains merupakan jalan keilahian. Dengan menempatkannya secara tepat, sains dapat membantu menerobos kungkungan agama yang sering cepat-cepat menyimpulkan “titik” , untuk sesuatu yang masih “koma”. Dengan kata lain, sains bisa menjadi sarana liberasi dan transendensi dari pemberhalaan dogmatisme agama.

Di Barat, cara memahami eksistensi Tuhan melalui “ayat-ayat” semesta itu dikenal dgn istilah “natural theology”. Suatu teologi yang mencoba memahami (eksistensi/ilmu) Tuhan tidak melalui ayat-ayat tertulis dalam kitab suci, melainkan melalui pemahaman terhadap hukum-hukum alam. Para saintis perintis di Barat umumnya berlatar ahli natural theology ini, termasuk Isaac Newton, Johannes Kepler hingga Adam Smith.

Alhasil, ahli sains dan ahli quran-hadits itu mestinya harus dilihat sama ulamanya; sama salehnya; sama-sama patut “dicium” tangannya.

***

Judul: Kurikulum Cinta
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.

Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.

Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.

Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *