MajmusSunda NewsΒ , Senin (10/02/2025) β Artikel dalam Kolom OPINI berjudulΒ βTekad Menyetop Impor Beras 2025″ ini ditulis oleh:Β Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPDΒ HKTI Jawa BaratΒ Β dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Impor beras adalah proses membeli atau mendatangkan beras dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini berarti, suatu negara mengimpor beras karena berbagai alasan, seperti: kekurangan produksi beras domestik; kualitas beras lokal yang tidak memadai; kebutuhan beras yang meningkat karena pertumbuhan penduduk atau permintaan pasar dan harga beras impor yang lebih murah dibandingkan dengan harga beras lokal.
Dengan mengimpor beras, suatu negara dapat memenuhi kebutuhan beras penduduknya dan menjaga ketersediaan beras di pasar. Namun, impor beras juga dapat mempengaruhi produksi beras lokal dan mengurangi pendapatan petani beras domestik. Lucunya, bagi bangsa kita, kebijakan impor beras sering disebut “dibenci namun direstui”.
Pemerintah Indonesia bertekad untuk menghentikan impor beras pada tahun 2025. Keputusan ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan petani padi di dalam negeri dan memperkuat stok beras nasional. Dengan menghentikan impor beras, pemerintah berharap dapat meningkatkan harga jual gabah petani dan mengurangi ketergantungan pada impor beras.
Selain itu, keputusan untuk menutup kran impor beras rapat-rapat tahun ini, juga didorong oleh terjadinya penurunan harga beras di pasar internasional. Menurut Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, harga beras di pasar dunia telah menurun drastis, dari USD 640 per metrik ton menjadi USD 400-an per metrik ton.
Mengiringi kebijakan stop impor beras, Pemerintah juga menekankan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menyiapkan daerahnya masing-masing untuk mendukung swasembada pangan, khususnya menjaga lahan pertanian agar tidak beralih fungsi. Penerapan UU No. 41/2009, perlu dilaksanakan dengan penuh kehormatan dan tanggung-jawab.
Kemauan Pemerintah untuk menyetop impor beras tahun 2025, sekalipun produksi beras secara nasional tengah anjlok, betul-betul merupakan kebijakan yang cukup berani. Ini menarik untuk dibahas lebih jauh, karena Badan Pusat Statistik mencatat produksi beras nasional tahun 2024 ternyata lebih rendah ketimbang produksi beras tahun 2023.
Turunnya produksi beras, otomatis akan mengurangi jumlah surplus beras yang dimiliki. Jika dalam dua tiga tahun terakhir surplus beras masih tercatat diatas 2 juta ton, kemudian menurun jadi sekitar 1 juta ton, kini jumlah surplus beras melorot tinggal sekitar 700 ribu ton saja. Suasana ini tentu saja merisaukan, sekaligus menuntut kita untuk mencarikan jalan keluarnya.
Upaya menggenjot produksi beras sendiri, sebetulnya telah dikumandangkan sejak lama. Sayang, saat itu di Kementerian Pertanian terjadi “kejahatan kerah putih” (white colour crime) yang langsung melibatkan orang nomor 1 dan nomor dua di Kementerian yang bertanggungjawab untuk meningkatkan produksi dan produktivitas beras itu sendiri.
Bisa dibayangkan, boro-boro Kementerian Pertanian akan fokus terhadap tugas dan fungsinya, para pejabatnya banyak yang “gegebegan” karena diminta KPK untuk bersaksi di muka Hakim. Hasil akhirnya jelas, produksi beras secara nasional untuk tahun 2024 anjlok cukup signifikan. Badan Pusat Statistik mencatat produksinya hanya 30,41 juta ton beras.
Catatan kritisnya adalah bagaimana dengan produksi beras nasional untuk tahun 2025 ? Untuk menjawabnya, tentu banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Kalau Pemerintah sudah meyakini untuk tahun 2025, kita tidak akan impor beras, berarti Pemerintah sudah memiliki jawaban dari mana beras yang kita butuhlan akan kita dapatkan. Kalau tidak akan impor, berarti dari hasil produksi dalam negeri dan dari cadangan beras Pemerintah.
Yang patut dijadikan bahan renungan, mungkinkah kita akan mampu meningkatkan produksi beras cukup terukur sehingga hasilnya akan lebih tinggi dibanding produkdi beras tahun lalu ? Selanjutnya, apakah cadangan beras yang dimiliki Pemerintah, betul-betul cukup kuat setelah tahun lalu, kita melakukan impor beras sekitar 4 juta ton ?
Produksi padi, umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan cuaca. Di tengah iklim ekstrim yang kita alami sekarang, menjadi sangat sulit untuk menentukan apakah produksi akan meningkat atau tidak. Iklim ekstrim sendiri, seperti sergapan El Nino misalnya, telah membuktikan ketidak-berdayaan Pemerintah untuk melahirkan solusi cerdasnya.
Lalu, bagaimana kalau kita saat panen raya mulai Maret-April nanti, para petani akan disergap oleh adanya La Nina ? Apakah para petani sudah siap dengan jalan keluarnya ? Atau belum, mengingat kekurang-seriusan kita dalam menghadapi musim panen yang akan dihadapi. Jangan-jangan, apa yang terjadi saat El Nino akan terjadi pula, bila La Nina menyergap kehidupan para petani.
Namun begitu, kita tetap harus optimis. Sebagai bangsa pejuang, kita tidak boleh cengeng atau menyerah pada keadaan yang terjadi. Petani tetap harus yakin, produksi gabahnya akan semakin meningkat. Para Penyuluh Pertanian, tentu akan semakin giat untuk membangun komunikasi yang lebih inten dengan para petani. Sebab, Penyuluh Pertanian, memang harus selalu anjangsono kepada para petani.
Tekad Pemerintah untuk menyetop impor beras tahun ini, terekam sudah sangat bulat. Kita juga berharap agar iklim dan cuaca berpihak ke sektor pertanian. Hanya, kalau pun iklim dan cuaca tidak berpihak, maka kita perlu cepat-cepat banting stir untuk memperoleh beras bagi rakyat. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Tekad Menyetop Impor Beras 2025
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi