MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Rabu (16/04/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Produksi Beras Meningkat, Mungkinkah Petani Sejahtera?” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Pemerintahan Presiden Prabowo beserta Kabinet Merah Putih menjamin produksi beras dalam panen raya kali ini akan meningkat dengan angka cukup signifikan. Peningkatan produksi beras ini, sesuai dengan apa yang diprediksi Badan Pusat Statistik. Bahkan Kepala Badan Pangan Nasional menghitung bangsa kita akan memiliki surplus beras sekitar 5 juta ton.

Namun begitu, sekalipun produksi beras menunjukkan peningkatan, ternyata ada juga sebagian warga bangsa yang mempersoalkan, apakah kenaikan produksi beras ini bakal diikuti dengan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan para petani nya ? Atau tidak, mengingat para perencana pembangunan pertanian hanya fokus pada upaya peningkatan produksi saja ?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab. Sebab, sebagaimana yang kita kenali, tujuan akhir pembangunan pertanian sendiri, bukan hanya menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swaembada, tapi yang lebih penting lagi adalah sampai sejauh mana produksi beras yang melonjak itu dapat membuat petani padinya hidup lebih sejahtera dan bahagia.
Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal dan cukup logis, jika paradigma baru pembangunan pertanian di Tanah Merdeka ini, bukan hanya berupaya menggenjot produksi menuju swasembada, tapi mestinya disertai dengan jaminan, produksi yang melonjak itu, akan dibarengi pula dengan semakin membaiknya tinglat kesejahteraan petani padinya.
Salah satu faktor penting yang membuat petani sejahtera, setelah produksi dapat ditingkatkan cukup signifikan adalah adanya kebijakan harga jual gabah di tingkat petani, yang betul-betul mendukung ke arah tercapainya kesejahteraan petani. Tanpa adanya harga gabah yang memberi untung bagi petani, jangan harap petani padi bakal hidup makmur dan sejahtera.
Pertanyaannya adalah mengapa harga gabah yang membutuhkan titik tekan dan bukannya harga beras ? Jawabannya tegas, karena sebagian besar para petani padi di negeri ini, akan mengakhiri usahatani padinya dalam bentuk gabah. Sedangkan beras, sudah bukan lagi urusan petani. Petani padi berlahan sempit umumnya tidak memiliki kemampuan untuk mengolah gabah menjadi beras.
Langkah Pemerintahan Presiden Prabowo dan jajaran Kabinet Merah Putih, yang menetapkan kebijakan ‘satu harga’ gabah kering panen, yakni sebesar Rp. 6500,- dengan kualitas gabah ‘any quality’, sepertinya diarahkan agar pendapatan petani menjadi semakin membaik, dibandingkan dengan penetapan harga gabah yang menggunakan persyaratan kadar air dan kadar hampa tertentu.
Dicabutnya persyaratan harga pembelian gabah sebesar Rp. 6500,- dengan syarat kadar air maksimum 25 % dan kadar hampa malsimum 10 %, seperti yang tersurat dalam Keputusan Badan Pangan Nasional No.14/2025, sebetulnya merupakan terobosan cerdas Pemerintah dalam melakukan pembelaan dan perl8ndungan petani, yang selama ini sering dijadikan permainan oknum-oknum tertentu.
Setiap panen raya berlangsung, para oknum ini selalu menekan harga gabah di petani, sehingga petani selalu mengeluhkan tentang anjloknya harga gabah di petani. Dengan adanya kebijakan satu harga gabah dan mewajibkan Perum Bulog berserta Offtaker gabah lain untuk membeli gabah petani sekurang-kurangnya seharga Rp. 6500 -, diharapkan tidak akan ada lagi para oknum yang bermain-main dengan harga gabah ini.
Dengan kebijakan harga yang demikian, kita percaya Pemerintah akan ‘all out’ untuk mengawal kebijakan yang dilahirkannya. Pemerintah sendiri, tampak tidak main-main. Buktinya, sudah ada dua Pimpinan Perum Bulog di daerah yang dicopot dari jabatannya karena terekam tidak pro aktif dalam mendukung kebijakan penyerapan gabah di daerahnya.
Begitupun dengan penyegaran Direksi dan Dewan Pengawas Perum Bulog. Direktur Utama dan beberapa Direktur yang diganti termasuk Ketua Dewan Pengawasnya, menunjukan kesungguhan Pemerintah guna membangun kinerja pimpinan Perum Bulog yang lebih baik. Termasuk di dalamnya Pembentukan Direktur Pengadaan Perum Bulog itu sendori.
Buktinya, sampai dengan akhir Maret 2025, Perum Bulog telah mampu menyerap gabah petani sebesar 725 ribu ton gabah. Ini jelas merupakan peningkatan penyerapan yang cukup tinggi. Bahkan jika dibandingkan dengan penyerapan gabah tahun sebelumnya, telah terjadi peningkatan serapan sebesar 2000 %. Revitalisasi kelembagaan Perum Bulog, terlihat mampu melahirkan perbaikan dalam hal penyerapan gabah petani.
Persoalannya adalah apakah dengan diraihnya sukses penyerapan gabah petani akan diikuti pula oleh semakin membaiknya tingkat kesejahteraan para petani padi ? Inilah salah satu “pe-er” bagi Pemerintah, khususnya Perum Bulog untuk melakukan kajian terhadap pendapatan petani. Yang diharapkan adalah ‘sukses penyerapan’ = ‘sukses peningkatan kesejahteraan’ petaninya.
Akhirnya perlu untuk dicermati, lonjakan produksi gabah yang mampu diserap Perum Bulog dan Offtaker lain secara signifikan, harusnya mampu meningkatkan kesejahteraan petaninya. Kalau ujungnya petani tetap hidup melarat dan tetap terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tsk berujung pangkal, berarti ada yang salah dalam tata kelola yang digarapnya.
***
Judul: Produksi Beras Meningkat, Mungkinkah Petani Sejahtera?
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi