MajmusSunda News, Kamis (02/01/2025) – Artikel berjudul “Prestasi Tidur” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku, baru saja terbangun, tamu tahun baru sudah menjemput mengetuk pintu.
“Sudah siap?”, tanyanya.
“Ya, jawabku”.
“Bekal apa yang kau siapkan sepanjang tahun untuk mengarungi dunia baru?
“Tidur panjang”, sahutku.
Sebenarnya hati kecilku merasa malu. Waktu yang begitu berharga cuma kurayakan dengan prestasi tidur. Namun, seketika kuingat nasihat Abu al-Lais as-Samarkandi dalam Tanbih al-Ghafilin yang senada dengan petuah Dalai Lama.
“Jadilah orang baik dan bermanfaat. Jika tak bisa, setidaknya tak berbuat jahat dan menyengsarakan orang lain.”
Sa’di Shirazi, sang sufi pengembara, berkisah ihwal seorang raja rakus yang bertanya kepada seorang arif tentang jenis ibadah yang paling baik. Sang arif menjawab, “Untuk Anda, yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat.”
Jadilah manusia produktif. Jika tak bisa, tidur lebih baik daripada terjaga hanya untuk merusak diri dan lingkungan kehidupan.
Memang mengecewakan, plan A yang telah dirancang matang tahun silam tak berjalan sesuai harapan. Namun, bukankah masih terbentang skenario lain, sepanjang sisa huruf alfabet dari B hingga Z.
Demikianlah, seorang optimis terjaga hingga tengah malam untuk menyaksikan tahun baru datang, sedang seorang pesimis terjaga untuk mengiringi tahun lama pergi.
Tak perlu terlalu kecewa dengan kehilangan. Pada dahan yang patah akan tumbuh tunas baru. Seperti kata T.S. Eliot. “Kata-kata tahun lalu milik bahasa tahun lalu sedang kata-kata tahun mendatang menunggu suara yang lain. Dan mengakhiri sesuatu juga berarti menandai suatu permulaan.”
(Belajar Merunduk, Yudi Latif)
***
Judul: Prestasi Tidur
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***