MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (11/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Pasal 33 UUD 1945 Menurut Perspektif Dwi Tunggal Soekarno-Hatta” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Pada artikel kali ini Izinkan saya sharing tentang dua pandangan yang berbeda dari Bapak Dwi Tunggal Proklamator dan juga Presiden dan Wakil Presiden RI pertama. Pandangan Bung Karno dan Bung Hatta dalam hal Pasal 33 memang tampak berbeda tetapi, sebagaimana disampaikan pada akhir tulisan ini, apabila pandangan Sang Dwi Tunggal disinergikan akan membangkitkan bukan hanya perekonomian nasional tetapi juga menjadi contoh keunikan dunia dengan Pancasila dan UUD ‘45 yang dimiliki Indonesia.
Latar Belakang Ideologis Soekarno
Soekarno adalah tokoh nasionalis-revolusioner dengan pandangan Marhaenisme (ideologi kerakyatan anti-kolonial dan anti-kapitalis) serta sosio-nasionalisme. Ia menggabungkan prinsip sosialisme, nasionalisme, dan spiritualitas Timur dalam membangun konsep ekonomi Indonesia. Baginya, Pasal 33 UUD 1945 adalah alat untuk mewujudkan “masyarakat adil dan makmur” sesuai sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Perspektif Soekarno tentang Pasal 33
- Pasal 33 Ayat 1: “Perekonomian Disusun sebagai Usaha Bersama Berdasar Asas Kekeluargaan”
– Soekarno menafsirkan “usaha bersama” sebagai ekonomi kolektivitas yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas individualisme.
– Ia menolak sistem kapitalis-liberal yang dianggapnya eksploitatif dan warisan kolonial.
– Asas kekeluargaan diartikan sebagai solidaritas revolusioner, di mana negara bertindak sebagai “kakak tertua” yang memastikan pemerataan ekonomi.
– Namun, Soekarno kurang menekankan koperasi (seperti Hatta) dan lebih fokus pada mobilisasi massa melalui program-program nasional.
- Pasal 33 Ayat 2: “Cabang Produksi Penting Dikuasai Negara”
– Soekarno melihat ayat ini sebagai senjata melawan imperialisme ekonomi. Dalam pidatonya, ia menegaskan:
– “Pabrik-pabrik, tambang, dan perusahaan vital harus diambil alih negara! Jangan sampai kita dijajah kembali oleh kapitalis asing!”
– Pada masa pemerintahannya (1950–1965), ia melakukan nasionalisasi besar-besaran terhadap perusahaan Belanda dan asing, seperti perkebunan, minyak, dan tambang.
– Tujuannya: memastikan keuntungan ekonomi dinikmati rakyat, bukan pihak asing atau segelintir elite.
- Pasal 33 Ayat 3: “SDA Dikuasai Negara untuk Kemakmuran Rakyat”
– Soekarno menekankan bahwa kekayaan alam Indonesia adalah “milik rakyat yang diamanatkan kepada negara”.
– Ia menggunakan ayat ini untuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Pembangunan Monas dan Gelora Bung Karno, yang dianggapnya sebagai simbol kemandirian ekonomi.
– Namun, kritikus menilai Soekarno terlalu fokus pada proyek prestisius.
Perdebatan dengan Tokoh Lain
- Vs. Hatta:
– Hatta menginginkan ekonomi berbasis koperasi dan desentralisasi, sementara Soekarno memilih sentralisasi negara dengan model “ekonomi terpimpin”.
– Soekarno skeptis terhadap mekanisme pasar, sedangkan Hatta lebih terbuka pada investasi asing yang terkontrol.
- Vs. Sjahrir:
– Sjahrir (sosialis-demokrat) mengkritik kebijakan ekonomi Soekarno yang dianggap populis dan tidak realistis.
- Vs. Soepomo:
– Soepomo (arsitek Negara Integralistik) sepakat dengan penguasaan negara, tetapi menekankan harmoni antara negara dan rakyat.
Implementasi Pasal 33 di Era Soekarno
- Nasionalisasi Aset Asing (1957–1959):
– Perusahaan Belanda seperti Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) dan Perusahaan Perkebunan diambil alih negara.
– Tujuan: Menghapus sisa-sisa kolonialisme dan memperkuat kedaulatan ekonomi.
- Deklarasi Ekonomi Terpimpin (1963):
– Soekarno membubarkan sistem demokrasi parlementer dan menerapkan ekonomi terpimpin yang sentralistik.
– Seluruh kebijakan ekonomi diatur negara, termasuk harga barang dan upah buruh.
- Proyek Mercusuar:
– Pembangunan infrastruktur besar seperti Monumen Nasional (Monas) dan Asian Games 1962 dianggap sebagai manifestasi Pasal 33, meski kontroversial karena biaya tinggi.
Kritik terhadap Perspektif Soekarno
- Sentralisasi Otoriter:
– Model “ekonomi terpimpin” Soekarno dianggap mematikan inisiatif rakyat dan menciptakan ekonomi biaya tinggi.
– Hiperinflasi mencapai 650% pada 1966 akibat kebijakan moneter yang tidak terkontrol.
- Politik di Atas Ekonomi:
– Soekarno sering mengorbankan stabilitas ekonomi untuk agenda politik, seperti konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora) dan proyek-proyek simbolis.
Warisan Pemikiran Soekarno
– Anti-Kolonialisme Ekonomi: Pasal 33 menjadi landasan untuk menolak dominasi asing dalam penguasaan SDA.
– Semangat Keadilan Sosial: Gagasan “Berdikari” (Berdiri di Atas Kaki Sendiri) dan pemerataan masih relevan dalam wacana ekonomi Indonesia modern.
– Kritik terhadap Kapitalisme Global: Pemikiran Soekarno menginspirasi gerakan anti-neoliberalisme di Indonesia.
Kesimpulan
Bagi Soekarno, Pasal 33 UUD 1945 adalah manifestasi perjuangan anti-kolonial dan alat untuk membangun ekonomi berdaulat yang berpihak pada rakyat kecil. Ia menekankan peran aktif negara dalam mengontrol sektor strategis, tetapi implementasinya sering diwarnai sentralisasi kekuasaan dan kebijakan populisme revolusioner. Meski kontroversial, semangatnya tentang keadilan sosial dan kedaulatan ekonomi tetap menjadi fondasi ideologis Indonesia hingga kini.
***
Perspektif Moh Hatta atas Pasal 33 UUD
Mohammad Hatta, sebagai salah satu perumus utama UUD 1945 dan Bapak Koperasi Indonesia, memandang Pasal 33 sebagai landasan sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan sosial. Pandangannya didasari oleh visi anti-kapitalisme, penolakan terhadap eksploitasi kolonial, dan keyakinan pada prinsip demokrasi ekonomi. Berikut analisis mendalam tentang pandangannya:
- Ideologi Dasar: Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi
Hatta melihat Pasal 33 sebagai manifestasi sistem ekonomi yang menghindari ekstrem kapitalisme dan komunisme. Baginya, ekonomi Indonesia harus dibangun atas dasar:
– Asas kekeluargaan: Prinsip gotong royong dan kolektivisme yang mengedepankan kepentingan bersama.
– Koperasi sebagai soko guru ekonomi: Koperasi dianggap sebagai bentuk usaha yang demokratis, partisipatif, dan sesuai dengan budaya Indonesia.
– Kontrol negara atas sektor strategis: Negara wajib menguasai cabang-cabang produksi vital untuk mencegah monopoli swasta/asing, tetapi tanpa menghapus ruang bagi usaha swasta yang sehat.
Hatta menekankan bahwa tujuan ekonomi bukan sekadar pertumbuhan, tetapi pemerataan kesejahteraan.
- Penekanan pada “Demokrasi Ekonomi”
Hatta memperkenalkan konsep demokrasi ekonomi, di mana rakyat berperan aktif dalam pengelolaan ekonomi melalui koperasi dan usaha bersama. Pasal 33 ayat 1 (“usaha bersama berdasar asas kekeluargaan”) dirancang untuk:
– Menghindari konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang (kapitalisme).
– Mencegah etatisme (dominasi negara yang terlalu kuat seperti dalam komunisme).
– Memberdayakan rakyat kecil melalui partisipasi langsung dalam koperasi dan usaha produktif.
Bagi Hatta, demokrasi politik harus sejalan dengan demokrasi ekonomi agar kemerdekaan Indonesia bermakna.
- Peran Negara vs. Swasta
Hatta mendukung kontrol negara atas sektor strategis (Pasal 33 ayat 2 dan 3), seperti energi, pertambangan, dan transportasi, untuk menjamin kepentingan publik. Namun, ia juga membuka ruang bagi:
– Swasta dalam sektor non-vital: Usaha swasta diizinkan selama tidak menguasai hajat hidup orang banyak dan di bawah pengawasan negara.
- Koperasi sebagai alternatif:
Koperasi harus menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, terutama di sektor pertanian, perdagangan, dan industri kecil.
Hatta mengkritik praktik ekonomi kolonial Belanda yang mengandalkan perusahaan swasta besar (seperti VOC) dan ingin menggantinya dengan model yang lebih inklusif.
Hatta lebih menekankan efisiensi dan kehati-hatian dalam kebijakan ekonomi.
- Kritik terhadap Implementasi Pasal 33
Hatta kecewa dengan penyimpangan makna Pasal 33 pasca-kemerdekaan, terutama pada era Orde Lama dan Orde Baru:
– Dominasi negara yang korup: BUMN dijadikan alat kekuasaan politik, bukan untuk kemakmuran rakyat.
– Koperasi yang lemah: Koperasi dijadikan alat birokrasi, bukan gerakan mandiri rakyat.
– Liberalisasi ekonomi: Kebijakan Orde Baru yang membuka investasi asing luas dianggap mengkhianati semangat Pasal 33.
Dalam pidato-pidatonya, Hatta terus mengingatkan bahwa “Pasal 33 bukan untuk oligarki, tetapi untuk rakyat kecil.”
- Warisan Pemikiran Hatta
– Gerakan Koperasi: Hatta diabadikan sebagai Bapak Koperasi Indonesia. UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian mengadopsi prinsip-prinsipnya.
– Debat Ekonomi Kontemporer:
Gagasan Hatta sering dirujuk dalam kritik terhadap privatisasi BUMN (misalnya PLN atau Pertamina) dan liberalisasi sektor strategis.
– Relevansi Global: Konsep demokrasi ekonomi Hatta sejalan dengan wacana “ekonomi sosial” di Eropa yang menekankan keseimbangan antara pasar dan keadilan.
Kesimpulan
Bagi Mohammad Hatta, Pasal 33 UUD 1945 adalah cerminan jalan tengah Indonesia antara kapitalisme dan komunisme, dengan koperasi sebagai instrumen utama untuk mewujudkan keadilan sosial. Ia menolak ekonomi yang hanya menguntungkan elite, baik elite kapitalis maupun birokrat. Meski implementasinya sering menyimpang, prinsip dasar Pasal 33—khususnya penekanan pada demokrasi ekonomi dan kedaulatan rakyat—tetap menjadi landasan moral dalam membangun sistem ekonomi Indonesia yang berkeadilan.
***
Harmonisasi antara perspektif Mohammad Hatta dan Soekarno terhadap Pasal 33 UUD 1945
Harmonisasi Dwi Tunggal Soekarno Hatta terletak pada integrasi visi Sang Proklamator tentang ekonomi berkeadilan sosial, meskipun dengan pendekatan yang berbeda.
- Inti Pemikiran Hatta dan Soekarno:
Pemikiran Hatta:
– Menekankan ekonomi kerakyatan berbasis koperasi sebagai tulang punggung demokrasi ekonomi.
– Percaya pada desentralisasi ekonomi, di mana masyarakat berpartisipasi aktif melalui koperasi untuk menghindari kapitalisme dan eksploitasi.
– Fokus pada pemberdayaan “usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” (Ayat 1 Pasal 33).
Pemikiran Soekarno:
– Menekankan peran negara yang kuat dalam menguasai sektor strategis (Ayat 2 dan 3 Pasal 33) untuk mencegah dominasi asing dan menjamin pemerataan.
– Menganut konsep “Marhaenisme” yang berorientasi pada kepentingan rakyat kecil dan kemandirian nasional.
– Lebih condong ke ekonomi terpimpin dengan intervensi negara untuk keadilan sosial.
- Harmonisasi dalam Pasal 33 UUD 1945:
– Keseimbangan Kolektivitas dan Kepemimpinan Negara:
– Koperasi (Hatta) mewakili partisipasi langsung rakyat dalam ekonomi, sesuai prinsip “usaha bersama” (Ayat 1).
– Peran Negara (Soekarno) tercermin dalam penguasaan negara atas cabang-cabang produksi strategis (Ayat 2-3), seperti energi dan infrastruktur, untuk menjamin kesejahteraan kolektif.
Tujuan Bersama: Keadilan Sosial:
– Keduanya sepakat bahwa ekonomi harus menghindari kapitalisme liberal dan sistem feodal. Hatta menggarisbawahi koperasi sebagai alat demokrasi ekonomi, sementara Soekarno menekankan nasionalisasi aset strategis untuk melindungi kedaulatan.
Sinergi dalam Implementasi:
– Negara mengatur kebijakan makro (misal: BUMN seperti Pertamina) untuk memastikan pemerataan, sementara koperasi dan UMKM menjadi basis ekonomi mikro yang inklusif.
– Contoh konkret: Program “Ekonomi Terpimpin” era Soekarno diimbangi dengan gerakan koperasi yang digalakkan Hatta.
- Titik Tegang Potensial:
– Negara vs. Partisipasi Rakyat:
Dominasi negara berisiko meminggirkan koperasi, sementara otonomi koperasi yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan negara mengarahkan ekonomi.
– Solusi Harmonisasi:
– Negara bertindak sebagai fasilitator dan regulator, bukan pemilik monopolistik, sementara koperasi diberi ruang untuk berkembang dengan dukungan kebijakan.
- Relevansi Kontemporer:
– Tantangan saat ini adalah menjaga keseimbangan agar intervensi negara tidak koruptif, sementara koperasi tidak terjebak dalam inefisiensi dan skala gurem. Kasus koperasi agribisnis CHS di US yang pendapatannya mengalahkan pendapatan PT. BRI, P.T. Mandiri, P.T. Pupuk Indonesia atau PT Perkebunan Nusantara III Holding, perlu dijadikan bahan pembelajaran. Demikian pun apabila dibandingkan dengan BCA atau Sinarmas Holding, pendapatan koperasi CHS 10- 15 kali lebih besar daripada pendapatan BCA dan Sinarmas. Jadi, koperasi kuat maka negara akan berjaya.
Kesimpulan:
Harmonisasi pandangan Hatta dan Soekarno dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah sintesis antara partisipasi rakyat melalui koperasi dan kepemimpinan negara dalam mengarahkan ekonomi untuk keadilan sosial. Keduanya saling melengkapi: koperasi sebagai alat demokrasi ekonomi, sementara negara menjamin tidak ada penindasan oleh kekuatan pasar atau asing. Prinsip ini menjadi fondasi sistem ekonomi Indonesia yang disebut “Demokrasi Ekonomi”. Koperasi Kuat Negara berjaya. NKRI menjadi Negara Koperasi Republik Indonesia.
***
Sumber: Conversation with DeepSeek
Judul: Pasal 33 UUD 1945 Menurut Perspektif Dwi Tunggal Soekarno-Hatta
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi
