Paradoks Perberasan : Produksi Meningkat, Kesejahteraan Petani Jalan Ditempat!

oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Senin (21/04/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Paradoks Perberasan : Produksi Meningkat, Kesejahteraan Petani Jalan Ditempat!” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Paradoks adalah pernyataan atau situasi yang seolah-olah bertentangan dengan logika atau intuisi, namun ternyata mengandung kebenaran. Paradoks bisa juga diartikan sebagai celah di antara kontradiksi, di mana logika dan intuisi berbenturan. Sinonim dari paradoks adalah konflik, kontradiksi, pertentangan, dan polaritas.

Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Paradoksal sendiri juga memiliki beberapa antonim yang bisa digunakan untuk merepresentasikan makna terbalik dari aslinya. Beberapa kata yang cocok digunakan untuk mewakili kata paradoksal sebagai jenis antonimnya adalah bersepakat, berdamai, bersesuaian, serasi, konsisten, berlarasan, bersahabat dan berteman.

Selanjutnya apa yang dimaksud dengan paradoks dalam dunia perberasan ? Inilah yang menarik untuk dibincangkan. Sebab, berdasar pengalaman yang ada, kita sering saksikan ada fenomena yang paradoks dalam dunia perberasan. Contoh, negara kita mampu menggenjot produksi beras sangat tinggi, sehingga mampu berswasembada.

Anehnya, kenaikan produksi beras yang demikian, tidak diikuti dengan semakin membaiknya kesejahteraan petani padinya sendiri. Petani tetap hidup sengsara dan melarat. Padahal, harapan yang ingin dicapai, dengan naiknya produksi, maka kesejahteraan petaninya otomatis akan semakin membaik. Petani pun dapat terbebas dari suasana hidup miskin.

Paradoks perberasan lain yang dapat kita cermati adalah soal surplus dan defisit kaitannya dengan impor dan ekspor. Lazimnya, bila produksi berlimpah bahkan bisa disebut surplus, mestinya yang harus kita lakukan adalah ekspor. Ironisnya, yang terjadi di negara kita tidak demikian. Sekalipun surplus, Pemerintah tetap melakukan impor. Bahkan dengan angka yang sangat fantastis.

Kalau kita boleh jujur, paradoks perberasan tidak perlu terjadi, sekiranya kita mampu menyelenggarakan Tata Kelola Perberasan yang profesional dan berkualitas. Naiknya produksi beras, tentu bakal diikuti dengan semakin membaiknya kesejahteraan petani, jika Pemerintah mampu menjamin, saat panen berlangsung, harga gabah tidak bakal anjlok.

Masalahnya, mengapa Pemerintah seperti yang membiarkan anjloknya harga gabah untuk tetap terjadi. Padahal, dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, Pemerintah sebagai regulator, mestinya dapat menjamin harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani, agar tetap memberi keuntungan yang wajar bagi petaninya.

Bagi petani padi, panen adalah saat yang menentukan bagi dirinya untuk dapat bangkit mengubah nasib. Petani selalu berharap agar hasil panennya melimpah dan harga jual gabahnya tidak anjlok. Sayang, harapan ini belum terwujud, karena setiap panen, harga gabah selalu melorot. Inilah “pe-er” yang perlu dijawab dengan cerdas dan bernas oleh Pemerintah.

Menghadapi anjloknya harga gabah yang terjadi setiap panen raya, kelihatannya sudah menjadi fakta kehidupan yang tidak mungkin bisa ditolak. Kita sendiri tidak tahu dengan pasti mengapa Pemerintah tanpak seperti yang tak berdaya mencarikan solusi terbaiknya. Anehnya lagi, kenapa hal ini harus terus berulang setiap musim panen tiba ?

Apakah Pemerintah tidak memiliki kemanpuan dan keberdayaan lagi untuk mengendalikan harga gabah supaya tidak melorot ketika musim panen datang ? Jika betul demikian, faktor-faktor apa saja yang membuat Pemerintah tidak mampu menjaga agar harga gabah tetap menguntungkan petani ? Pertanyaan ini menarik dan butuh jawaban yang komprehensif.

Susahnya Pemerintah untuk mempertahankan harga gabah supaya tidak anjlok saat panen tiba, sebetulnya sama sulitnya ketika Pemerintah berkeinginan untuk menurunkan harga beras di pasar, yang beberapa waktu lalu mengalami kenaikan harga ugal-ugalan. Walaupun Presiden Jokowi telah turun tangan, namun harga beras tetap tidak mau turun ke angka yang wajar. Harga beras tetap mahal.

Mahalnya harga beras dan anjlognya harga gabah benar-benar merupakan pukulan telak bagi petani sebagai produsen beras dan masyarakat luas selaku konsumen. Namun ceritanya akan lain, jika Pemerintah mampu menjadikan harga gabah mahal dan harga beras di pasar murah. Petani dan emak-emak, pasti akan memberi acungan jempol.

Dalam suasana harga gabah anjlog dan harga beras mahal, sebetulnya yang paling terkena dampak adalah para petani, yang sekarang ini pantas disebut selaku “net consumer”. Dengan semakin memudarnya budaya lumbung dalam kehidupan masyarakat perdesaan, otomatis petani juga menyandang atribus selaku konsumen. Petani pasti akan membeli beras untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya.

Lalu, memilukannya bagaimana ? Petani diminta jual gabah dengan harga murah, kemudian petani dipaksa beli beras dengan harga mahal. Ini sama saja dengan ungkapan “sudah jatuh, tertimpa tangga” pula. Salah satu tawaran solusi yang diusulkan adalah petani harus berubah status. Semula namanya “petani gzbah”, kini berganti menjadi “petani beras”.
Ini berarti, pada saat musim panen tiba, petani tidak lagi menjual hasil panennya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), namun harus diolah dulu menjadi beras. Jadi, yang dijual petani dalam bentuk beras. Itu sebabnya, petani seperti ini pantas disebut selaku petani beras.

***

Judul: Senyuman Kaum Tani
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *