MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (10/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Mengelola Gabah Basah” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Gabah basah adalah gabah yang memiliki kadar air yang tinggi, biasanya di atas 25%. Gabah basah ini dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti pertama proses pemanenan yang tidak tepat. Artinya, gabah yang dipanen saat masih basah atau lembab dapat menyebabkan kadar air yang tinggi.
Kedua, cuaca yang tidak mendukung. Hujan atau kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan gabah menjadi basah. Ketiga, penyimpanan yang tidak baik. Gabah yang disimpan di tempat yang lembab atau tidak memiliki ventilasi yang baik dapat menyebabkan kadar air yang tinggi.

Gabah basah dapat menyebabkan beberapa masalah, seperti tetjadinya kerusakan gabah. Maksudnya, gabah basah dapat menjadi rusak atau busuk, sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan baku beras. Lalu, terjadi pertumbuhan jamur. Gabah basah dapat menjadi tempat pertumbuhan jamur, yang dapat menyebabkan kerusakan gabah.
Terakhir, terkait dengan kualitas beras yang rendah. Gabah basah dapat menghasilkan beras yang memiliki kualitas rendah, seperti beras yang menjadi kusam atau memiliki aroma yang tidak enak. Oleh karena itu, penting untuk menjaga gabah tetap kering dan memiliki kadar air yang rendah untuk mempertahankan kualitas gabah dan beras.
Gabah basah bukanlah suatu problem baru. Sudah sejak lama petani merasakan bila panen padi berbarengan dengan musim penghujan, pasti gabah nya akan basah. Untuk mengeringkan hasil panen nya, petani sangat menggantungkan diri pada kehadiran sinar matahari guna menjemur gabah hasil panen nya. Sekali nya tidak ada matahari, maka wajar bila gabah nya basah.
Sebelum terbit Keputusan Badan Pangan Nasional No. 14/2025, di mata petani, gabah basah benar-benar menjadi masalah. Bila gabah kering panen (GKP) di petani tidak mampu mencapai kadar air maksimsl 25 % dengan kadar hampa maksimal 10 %, pasti harga jual nya tidak akan sesuai dengan standar harga yang telah ditetapkan dalam aturan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Harga gabah akan semakin turun seirama dengan semakin tinggi nya kadar air.
Secara lengkap HPP Gabah di petani dan penggilingan sesuai Perbadan No. 2/2025 yang mulai berlaku tanggal 15 Januari 2025 adalah sebagai berikut :
GKP ditingkat petani
- GKP di luar kualitas 1 di tingkat petani dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi (pemotongan/ pengurangan harga) Rp300 sehingga HPP berlaku adalah Rp6.200 per kg
- GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air maksimal 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, dikenakan rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.075 per kg.
- GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, kena rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku Rp5.750 per kg
GKP ditingkat penggilingan
- GKP di luar kualitas 1 dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 10-15%, dikenakan rafaksi Rp300, sehingga HPP-nya jadi Rp6.400 per kg
- GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, kena rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.275 per kg
- GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku adalah Rp5.950 per kg.
Dihadapkan pada kondisi yang demikian, sebetul nya negara harus hadir di tengah-tengah kehidupan petani. Pemerintah tidak boleh berdiam diri. Pemerintah segera harus turun tangan. Para pengambil kebijakan yang memiliki kewenangan untuk menangani paska panen, sudah sepatut nya berpikir keras dan mencari terobosan cerdas guna melahirkan solusi terbaik nya.
Gabah basah adalah bentuk ketidak-mampuan petani dalam meningkatkan kualitas gabah hasil panenan nya untuk memperoleh harga jual yang sesuai dengan ketentuan HPP diatas, Petani sendiri tidak ingin gabah nya basah. Petani juga benci bila gabah nya tidak mampu memenuhi kadar air 25 %. Petani tahu persis jika ingin memperoleh harga yang sesuai HPP, maka gabah nya harus kering.
Itu sebab nya sudah sejak lama petani meminta kepada Pemerintah, jika akan memberi bantuan, sebaik nya jangan traktor melulu, tapi sudah waktu nya pula diberikan peralatan paska panen seperti alat pengering. Aneh nya ternyata Pemerintah lebih senang memberi bantuan alsintan yang sifat nya untuk meningkatkan produksi, padahal yang dibutuhkan petani adalah alsintan untuk penanganan paska panen.
Jadi, bila Pemerintah ingin disebut hadir di tengah-tengah kesulitan petani sekaligus menunjukan keberpihakan nya, maka solusi cerdas nya, petani perlu dibantu dengan alat pengering gabah. Petani pasti akan berterima-kasih bila di saat panen raya sekarang Pemerintah turun ke petani sambil membawa alat pengering dan tidak lagi membagi-bagikan traktor.
Mesti nya para petani tidak perlu risau, karena dalam panen raya sekarang, Pemerintah telah memberi jaminan bakal membeli gabah hasil petani sebanyak-banyaknya. Presiden Prabowo juga telah menegaskan komitmen nya. Dari pada membeli beras dari produksi petani luar negeri, lebih baik membeli beras yang dihasilkan oleh petani dalam negeri. Hal ini sejalan dengan slogan yang dibewarakan Pemerintah selama ini, “cintai produk dalam negeri dan benci produk luar negeri”.
Itu di satu sisi. Di sisi yang lain, apakah kemauan politik (political will) Pemerintah yang akan membeli gabah petani dengan harga sesuai HPP itu akan benar-benar dilakukan Pemerintah lewat tindakan politik (political action) nya di lapangan ? Hal inilah yang perlu dijadikan bahan pencermatan bersama.
Jangan-jangan apa yang dikemukakan Presiden Prabowo tersebut hanya sekedar basa-basi untuk menyenangkan hati rakyat semata. Dalam bahasa medsos nya sama dengan hoax. Kita berharap bukan itu yang terjadi. Kuta percaya Pemerintah tidak akan menodai komitmen publik nya hanya sekedar untuk memelihara dan menjaga kepentingan kekuasaan nya.
Pertanyaan turunan nya adalah sampai sejauh mana janji nya Presiden Prabowo untuk membeli gabah petani akan dapat terwujud ? Lalu bagaimana kaitan nya dengan gabah basah yang membuat harga gabah menjadi anjlok karena tidak sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Harga sesuai HPP itu jika kadar air nya maksimal 25 %. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana harga jual gabah bila kadar air nya masih 35 % ?
Perum Bulog selaku operator yang ditugaskan Pemerintah untuk membeli gabah petani, tentu harus berpikir dua kali, kalau Bulog harus membeli gabah dalam kondisi basah. Perum Bulog, tentu memiliki perhitungan sendiri terkait dengan kebijakan pengadaan dalam negeri nya. Bulog hari ini jelas berbeda dengan Bulog pada masa Orde Baru. Sebagai BUMN Perum Bulog dituntut untuk untung. Perum Bulog tidak boleh rugi.
Persoalan kritis nya adalah bagaimana menerapkan sebuah kebijakan yang mampu memberi kepuasan yang sama, baik untuk Pemerintah mau pun petani ? Pemerintah, tentu perlu menjaga komitmen nya akan membeli gabah petani, namun petani pun jangan sampai dirugikan karena kualitas gabah nya yang buruk. Suasana ini ibarat buah simalakama. Untuk eksekusi nya pun butuh pertimbangan yang matang.
Petani tetap harus dilindungi dan dimartabatkan. Petani tidak boleh dimarginalkan. Kita berkewajiban untuk membebaskan petani dari keprihatinan. Anjlok nya harga gabah di tingkat petani yang diakibatkan oleh kualitas yang tidak memenuhi standar Harga Pembelian Pemerintah (HPP), menuntut kepada semua pihak untuk mencari solusi cerdas nya.
Salah satu nya, segera petani diberi teknologi pengering gabah. Dengan alat ini, kita berharap agar gabah basah petani dapat tertolong. Setidak nya kadar air mampu mendekati angka 25 %. Inilah pengalaman penting yang dapat dipetik, manakala panen raya berlangsung di tengah-tengah cuaca ekstrim.
BMKG sendiri sudah mengingatkan kita semua. Sejak beberapa bulan lalu, kita diminta untuk mewaspadai nya. Gabah basah, memang akan menjadi masalah serius di saat panen raya berlangsung. Masalahnya menjadi semakin rumit, ketika proses penyimpanan gabah dilakukan. Kepiawaian Bulog betul-betul sangat dimintakan.
Kini akar masalah nya sudah tergambarkan. Tuntutan petani agar Pemerintah hadir di tengah-tengah keprihatinan mereka, bukanlah hanya sebuah aspirasi. Dibalik itu, pasti ada harapan lain dari para petani. Mereka boleh jadi mendambakan ada nya kecintaan nyata Pemerintah dalam mensikapi gabah basah milik nya petani.
Mungkinkah Pemerintah akan membeli nya dengan harga HPP ? Jawabannya tegas, dengan lahirnya Keputusan Badan Pangan Nasional No. 2/2025, Pemerintah berkewajiban menyerap gabah petani, cukup dengan hanya “satu harga” gabah, yakni Rp. 6500.
***
Judul: Mengelola Gabah Basah
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi
