MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (12/10/2024) – Artikel dalam kolom OPINI berjudul “Meluruskan Beragam Hoax tentang Vaksin” ini ditulis oleh: Dicky Budiman, Dokter (Unpad), Epidemiolog (Griffith Univ), Environmental Health (Griffith Univ), PhD Peneliti Global Health Security (Pandemic, Leadership, Risk Comm) Center for Environment and Population Health Griffith University – Australia, dan Anggota Forum Dewan Pakar Riset, Ketenagakerjaan, UMKM dan Pemberdayaan Masyarakat, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Hoax dalam Sejarah Sunda dan Makna Kebijaksanaan Lokal
Sejak dahulu, masyarakat Sunda dan Jawa Barat telah memiliki pemahaman tentang informasi yang dapat dipercaya dan yang perlu diwaspadai. Dalam bahasa Sunda, kita mengenal paribasa atau peribahasa seperti “Lamun ngadéngé ku cepil, lamun nempo ku panon” (jika mendengar gunakan telinga, jika melihat gunakan mata) yang mengajarkan agar kita selalu mengecek dan menyelidiki informasi dengan saksama sebelum percaya.
Pada masa lalu, informasi yang tidak benar atau kabar burung sering tersebar melalui cerita rakyat atau dongeng yang dibawa oleh “jurig barakatak” (penyebar kabar tanpa dasar). Orang tua kita di tanah Sunda selalu mewanti-wanti agar kita bijak dalam menyikapi “kabar burung” dan membedakan antara cerita yang memiliki nilai moral dan hanya sekadar desas-desus.

Pada masa lampau, penyebaran informasi juga sering kali terbatas pada mulut ke mulut. Mitos dan cerita yang dipercaya sering menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, sama seperti era digital sekarang, informasi yang salah atau “bohong-bohongan” juga mudah menyebar dan mempengaruhi keputusan masyarakat.
Prinsip “ulah ngadu bago sora” (jangan mudah mempercayai berita yang hanya terdengar tanpa pembuktian) sudah tertanam dalam budaya Sunda untuk mendorong kita bersikap kritis dalam menerima informasi. Sayangnya, seiring perkembangan teknologi, hoax atau kabar bohong semakin mudah menyebar melalui media sosial, membuat masyarakat rentan terpapar informasi keliru, termasuk terkait vaksinasi.
Apa itu Infodemik dan Dampaknya?
Sejak merebaknya pandemi COVID-19, dunia tidak hanya berhadapan dengan krisis kesehatan, tetapi juga dengan infodemik – istilah yang menggambarkan banjir informasi, baik yang akurat maupun yang menyesatkan, terkait suatu kejadian atau isu, dalam hal ini COVID-19 dan vaksinasi.
Istilah “infodemik” diciptakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menggambarkan penyebaran informasi yang berlebihan yang dapat menghambat respons kesehatan publik. Infodemik mempersulit masyarakat dalam membedakan fakta dari hoax yang akhirnya dapat memengaruhi keputusan mereka terkait vaksinasi dan kesehatan.
Hoax atau berita bohong bukan fenomena baru. Sejak vaksinasi pertama kali dikembangkan pada abad ke-18 oleh Edward Jenner, sudah ada mitos dan kesalahpahaman yang berkembang. Sayangnya, pada era digital ini, penyebaran hoax tentang vaksin menjadi lebih masif dan cepat, terutama melalui media sosial. Berbagai teori konspirasi tentang vaksin bermunculan. Bahkan, banyak di antaranya yang cukup meyakinkan bagi masyarakat yang belum sepenuhnya memahami teknologi dan ilmu di balik vaksin.
Pada artikel ini, saya akan meluruskan berbagai hoax yang berkembang, terutama yang muncul di masa pandemi COVID-19. Dengan pemahaman yang lebih baik, kita diharapkan bisa menilai informasi secara kritis dan membuat keputusan yang lebih bijak terkait kesehatan
Sejarah Hoax dan Teori Konspirasi Tentang Vaksin
Sejak vaksin ditemukan, berbagai kelompok selalu meragukan efektivitas atau keamanan vaksin. Pada awal abad ke-19, vaksin cacar pertama kali diperkenalkan dan saat itu muncul ketakutan bahwa mereka yang divaksinasi akan berubah menjadi “sapi” karena bahan vaksin diambil dari sapi yang terkena cacar sapi. Mitos ini terus berkembang hingga saat ini dengan hoax baru yang muncul seiring dengan perkembangan teknologi vaksin.
Era COVID-19 dan Kembali Munculnya Hoax Seputar Vaksin
Selama pandemi COVID-19, kekhawatiran masyarakat tentang vaksin semakin besar karena kecepatan pengembangannya yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teknologi vaksin mRNA, seperti Pfizer-BioNTech dan Moderna yang baru diperkenalkan kepada masyarakat luas juga memicu kebingungan dan kekhawatiran. Situasi ini akhirnya menciptakan ladang subur bagi beragam hoax yang menyebar cepat di media sosial.
Menjawab Hoax dan Teori Konspirasi tentang Vaksin COVID-19
Berikut adalah beberapa hoax yang paling sering muncul selama pandemi COVID-19 dan penjelasan mengapa hal tersebut tidak benar secara ilmiah.
Hoax: Vaksin COVID-19 adalah Terapi Gen
Penjelasan: Vaksin mRNA COVID-19 seperti Pfizer-BioNTech dan Moderna menggunakan teknologi yang melibatkan mRNA untuk membawa instruksi kepada sel-sel tubuh agar memproduksi protein spike yang kemudian akan dikenali oleh sistem imun. Namun, mRNA ini tidak memasuki inti sel atau berinteraksi dengan DNA kita. Teknologi ini berbeda dengan terapi gen yang melibatkan perubahan langsung pada DNA seseorang. Jadi, vaksin COVID-19 bukanlah terapi gen dan tidak memodifikasi DNA seseorang.
Hoax: Vaksin COVID-19 Bukanlah Vaksin
Penjelasan: Vaksin didefinisikan sebagai zat yang membantu tubuh menghasilkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Vaksin mRNA bekerja dengan mengajarkan sistem imun kita untuk mengenali virus dan memicu respons imun tanpa melibatkan virus itu sendiri. Meski pendekatannya berbeda dari vaksin konvensional, vaksin mRNA tetap memenuhi definisi vaksin karena kemampuannya merangsang kekebalan terhadap SARS-CoV-2.
Hoax: Vaksin COVID-19 Dapat Membunuh Manusia
Penjelasan: Salah satu hoax yang sering beredar adalah klaim bahwa vaksin COVID-19 telah menyebabkan kematian massal. Namun, penelitian dan data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 secara keseluruhan aman dan efektif dalam melindungi dari penyakit berat dan kematian akibat COVID-19. Efek samping yang serius memang ada, tetapi kasusnya sangat jarang. WHO, CDC, dan berbagai otoritas kesehatan lainnya terus memonitor keamanan vaksin. Hingga saat ini, manfaat vaksin COVID-19 jauh lebih besar dibandingkan risikonya.
Hoax: Vaksin Mengandung Mikrochip untuk Mengontrol Manusia
Penjelasan: Klaim bahwa vaksin COVID-19 mengandung mikrochip adalah teori konspirasi yang tidak memiliki dasar ilmiah. Vaksin COVID-19 hanya mengandung bahan-bahan yang diperlukan untuk menghasilkan respons imun. Tidak ada komponen elektronik atau teknologi pelacakan di dalamnya. Hoax ini sering dikaitkan dengan tokoh-tokoh tertentu dan teori konspirasi yang lebih besar tentang kontrol global. Namun, ini adalah klaim yang tidak berdasar.
Hoax: Vaksin Menyebabkan Mandul atau Menurunkan Kesuburan
Penjelasan: Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim bahwa vaksin COVID-19 dapat mempengaruhi kesuburan pria atau wanita. Banyak organisasi kesehatan, termasuk American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan WHO, telah menyatakan bahwa vaksin COVID-19 aman bagi mereka yang berencana untuk hamil atau sedang hamil. Hoax ini biasanya memanfaatkan ketakutan alami masyarakat tentang kesuburan untuk menyebarkan ketidakpercayaan terhadap vaksin.
Hoax: Vaksin COVID-19 Mengandung Zat Berbahaya
Penjelasan: Semua vaksin, termasuk vaksin COVID-19, harus melalui berbagai tahapan uji klinis untuk memastikan keamanan dan kemurniannya. Klaim bahwa vaksin COVID-19 mengandung zat berbahaya seperti logam berat, formaldehida, atau bahan beracun lainnya tidak didukung oleh bukti ilmiah. Vaksin COVID-19 telah melalui pengawasan ketat oleh badan kesehatan global dan lokal.
Mengapa Kita Mudah Percaya Hoax?
Ada beberapa alasan mengapa hoax dan teori konspirasi tentang vaksin begitu mudah dipercayai oleh banyak orang, antara lain:
Ketakutan dan Ketidakpastian: Pandemi ini menciptakan ketakutan dan ketidakpastian di seluruh dunia. Saat orang merasa takut, mereka cenderung mencari penjelasan yang dapat memberi mereka rasa kontrol, meskipun penjelasan itu salah atau tidak berdasar.
Ketidaktahuan tentang Ilmu Vaksin: Banyak orang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang bagaimana vaksin bekerja, sehingga mudah terjebak dalam informasi yang salah.
Pengaruh Sosial Media: Pada era digital ini, informasi menyebar dengan sangat cepat melalui media sosial. Sayangnya, platform ini sering digunakan untuk menyebarkan hoax dan teori konspirasi.
Efek Echo Chamber: Media sosial sering menampilkan informasi yang sejalan dengan pandangan kita, sehingga orang yang sudah percaya teori konspirasi lebih mudah menemukan kelompok yang mendukung keyakinan tersebut.
Pentingnya Literasi dan Strategi Komunikasi Risiko
Untuk mengatasi infodemik dan mencegah penyebaran hoax, literasi kesehatan dan strategi komunikasi risiko yang efektif dari pihak berwenang sangat penting. Hal ini harus menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan berbasis bukti ilmiah, seperti halnya artikel ini. Pemerintah, profesional kesehatan, dan media harus bekerja sama untuk menyediakan informasi yang akurat dan terpercaya.
Infodemik yang mengiringi pandemi COVID-19 merupakan tantangan serius yang perlu diatasi untuk memastikan kesehatan masyarakat yang optimal. Hoax dan teori konspirasi tentang vaksin bisa membahayakan jika terus dibiarkan tanpa diluruskan.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang sains di balik vaksin dan pentingnya kejelasan informasi, kita dapat mendorong keputusan kesehatan yang lebih bijak dan melindungi masyarakat dari ancaman yang sebenarnya.
Vaksinasi adalah salah satu cara terbaik untuk melindungi diri dan orang lain dari penyakit menular. Informasi yang akurat adalah perlindungan utama kita dari infodemik. Mari kita menjadi bagian dari solusi dengan menyebarkan informasi yang benar dan terpercaya.
Bijak Menghadapi Hoax dengan Nilai Sunda
Menghadapi hoax dan teori konspirasi yang semakin marak, nilai-nilai kebijaksanaan lokal Sunda tetap relevan. Dalam peribahasa Sunda, kita mengenal pepatah “Lamun ngomong kudu jujur, lamun ngadéngé kudu pinter” (jika berbicara harus jujur, jika mendengar harus pintar) yang mengingatkan kita untuk selektif dalam menerima informasi dan selalu mencari kebenaran.
Di tengah arus informasi yang membanjiri kita, tetap kritis, bijak, dan memegang prinsip lokal seperti ini adalah bentuk perlindungan bagi masyarakat. Dengan kesadaran akan dampak hoax serta pemahaman yang benar tentang vaksin, kita bisa melindungi diri dari kebingungan dan keputusan yang salah.
Masyarakat Jawa Barat, yang dikenal memiliki budaya gotong royong dan saling membantu, juga diharapkan menjadi pelopor dalam penyebaran informasi yang benar tentang kesehatan. Mari kita terapkan kebijaksanaan lokal dalam menyaring informasi, karena “ulah kabita ku bual, kudu boga kayakinan jeung kanyataan” (jangan tergoda oleh janji palsu, harus punya keyakinan yang berlandaskan kenyataan).
Memahami dasar ilmiah vaksin dan mengedukasi masyarakat adalah bentuk kepedulian dan tanggung jawab sosial yang akan memperkuat kita semua dalam menghadapi pandemi dan menjaga kesehatan bersama.
***
Sekilas tentang penulis
Dicky Budiman adalah seorang dokter – Ahli Epidemiologi dan Ahli Kesehatan Lingkungan,
PhD Researcher Global Health Security, Leadership dan Risk Communication. Ia juga bekerja sebagai Penasehat Pemulihan Pandemi Menparekraf Republik Indonesia, Panel Ahli Pemulihan Pandemi WHO, dan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Periode 2022-2025.
Pria kelahiran Bandung, 9 September 1971 ini bernah menempuh pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) di Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Kemudian menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Moh. Toha Kota Bandung dan SD Negeri 1 Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Selanjutnya Dicky bersekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Rangkabitung, Kabupaten Lebak dan Sekolah Menengah Atas (SMA) BPI 1 Bandung.

Pendidikan tinggi Dicky dimulai di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Lau ia meneruskan pendidikan pascasarjana dengan mengambil gelar Master Epidemiologi dan Kesehatan Lingkungan di Griffith University, Australia. Pendidikan S3-nya dengan gelar PhD program Global Health Security diperolehnya di Griffith University, Australia.
Pria berdarah Sunda ini memiliki 24 tahun pengalaman kerja di berbagai Lembaga Nasional dan Global, yaitu Kemenkes, Bappenas, BPJS Kesehatan, Dinkes Kabupaten Tasikmalaya, Sekretariat ASEAN, Sekretariat OKI, UNDP, APEC, UNODC, dan WHO.
Selain itu, Dicky juga terlibat dalam beragam isu kesehatan global dan nasional, antara lain SARS, HIV & AIDS, Swine Flu, Flu Burung, IHR 2005, Diplomasi Kesehatan Global, ASEAN Charter, Renstra OKI, Misi Kesehatan di wilayah konflik, pembangunan RS ABMEC Paska Bom Bali, Pembangunan RS di Gaza Palestina, Program MDGs & SDGs, penyelesaian NAMRU dan GHSA. Saat ini menjadi narasumber media dan pemerintah untuk pengendalian Pandemi COVID-19 di Kawasan ASEAN dan Asia Pasifik.
Jejak karir dimulai dari Kepala Puskesmas Cisaruni di Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat, kepala Kerja Sama Teknik dan Perjanjian Internasional, Kepala Kerja Sama Bilateral Kesehatan Kemenkes, dan National Project Officer Kantor MDGs Bappenas hingga terakhir menjadi Sekretaris Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.
***
Judul: Meluruskan Beragam Hoax tentang Vaksin
Penulis: dr. Dicky Budiman, M.Sc.PH., PhD.
Editor: Jumari Haryadi