Legenda dan Realita: Kisah Gula dari Maharashtra dan Jawa

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Petani tebu
Ilustrasi: Petani tebu sedang panen di kebunnya - (Sumber: Arie/MMS)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Senin (17/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Legenda dan Realita: Kisah Gula dari Maharashtra dan Jawa” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Artikel kali ini melanjutkan cerita dari artikel sebelumnya yaitu mengambil kisah koperasi gula di Maharasthra untuk dilihat sebagai referensi bagi pengembangan industri pergulaan di Jawa.

Di sebuah masa silam, Maharashtra dikenal sebagai tanah legenda, tempat di mana kisah epik Mahabharata dan perang Baratayudha berkecamuk. Konon, di sinilah para ksatria memperjuangkan keadilan dan kebenaran, meninggalkan warisan tentang pentingnya persatuan dan kepemimpinan yang visioner. Kini, warisan itu hidup dalam bentuk koperasi gula, di mana petani bersatu melawan ketidakadilan ekonomi, menciptakan kemakmuran bersama.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S. – (Sumber: MajmusSUnda.id)

Sementara itu, di Jawa, tanah subur yang pernah menjadi pusat Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di era kolonial Belanda, kisahnya berbeda. Tanam Paksa, sistem yang memeras keringat dan darah petani untuk mengisi kas kerajaan Belanda, meninggalkan luka yang dalam. Meski Belanda menjadi kaya raya, petani Jawa terjebak dalam kemiskinan dan ketergantungan. Kini, warisan itu masih terasa dalam industri gula Jawa, di mana petani kecil berjuang sendirian melawan tantangan zaman.

Dua dunia, dua legenda, dan dua realita yang berbeda. Mari kita telusuri kisah industri gula di Maharashtra dan Jawa, dari perspektif koperasi, petani, produktivitas, hingga warisan kolonial.

Koperasi Gula: Persatuan vs. Keterpisahan

Di Maharashtra, koperasi gula adalah buah dari semangat persatuan yang diwariskan oleh legenda Baratayudha. Rajesh, seorang petani tebu di distrik Kolhapur, adalah anggota koperasi gula yang telah turun-temurun mengandalkan sistem ini. Koperasi tidak hanya membeli tebu dengan harga yang adil, tetapi juga membagikan keuntungan kepada anggotanya.

“Kami seperti satu keluarga,” kata Rajesh, “Bersama, kami kuat.”

Koperasi gula di Maharashtra didirikan oleh para pemimpin visioner seperti Vithalrao Vikhe Patil, yang percaya bahwa kekuatan kolektif adalah kunci kemakmuran. Koperasi ini memiliki pabrik-pabrik besar dengan kapasitas hingga 15.000 Ton Cane per Day (TCD), melayani puluhan ribu hektar lahan tebu.

Sementara itu, di Jawa, Sutrisno, seorang petani tebu di Jawa Timur, harus berurusan dengan pabrik gula milik BUMN atau swasta. Koperasi gula di Jawa, jika ada, lebih berperan sebagai penyedia input pertanian daripada pengelola pabrik.

“Kami merasa sendirian,” keluh Sutrisno, “Tidak ada yang membela kami ketika harga tebu jatuh.”

Petani: Pemilik Kecil vs. Penggarap Kecil

Rajesh memiliki lahan seluas 2 hektar, cukup untuk menghidupi keluarganya. Ia merasa aman karena koperasi menjamin harga tebu dan memberikan dividen. Di Maharashtra, rata-rata petani memiliki lahan 1-2 hektar, dan koperasi memastikan mereka tidak sendirian menghadapi tantangan.

Sutrisno, di sisi lain, hanya memiliki 0,5 hektar lahan. Ia sering merasa kesulitan memenuhi kebutuhan hidup dari hasil tebu yang dijual ke pabrik. Di Jawa, rata-rata kepemilikan lahan petani tebu hanya 0,5-1 hektar, membuat mereka rentan terhadap fluktuasi harga dan musim yang tidak menentu.

Produktivitas dan Efisiensi: Teknologi vs. Tradisi

Produktivitas tebu di Maharashtra mencapai 70-100 ton per hektar, berkat dukungan teknologi dan riset dari lembaga seperti Vasantdada Sugar Institute (VSI). Koperasi gula di Maharashtra juga memanfaatkan produk sampingan seperti bagas (ampas tebu) dan totes (molases) untuk menghasilkan listrik dan etanol, meningkatkan efisiensi dan pendapatan.

Di Jawa, produktivitas tebu hanya 70-90 ton per hektar. Meskipun ada dukungan dari Pusat Penelitian Gula Indonesia (P3GI), adopsi teknologi masih terbatas. Pemanfaatan produk sampingan juga belum optimal, meskipun potensinya besar.

Pendapatan dan Kesenjangan: Kemakmuran Bersama vs. Ketimpangan

Rajesh dan keluarganya hidup dengan pendapatan sekitar Rp 30-40 juta per tahun, berkat sistem koperasi yang membagi keuntungan secara adil. Meskipun ada kesenjangan antara petani tebu dan pekerja di sektor industri, koperasi gula telah membantu mengurangi ketimpangan di pedesaan.

Sutrisno, dengan pendapatan sekitar Rp 20-30 juta per tahun, merasa tertinggal. Ia melihat anak-anaknya lebih memilih bekerja di kota daripada meneruskan tradisi bertani. Kesenjangan antara petani tebu dan pekerja di sektor lain di Jawa semakin melebar, terutama di daerah perkotaan.

Keberlanjutan: Lingkungan dan Ekonomi

Di Maharashtra, koperasi gula telah memulai inisiatif keberlanjutan dengan memanfaatkan bagas untuk energi terbarukan dan tetes untuk produksi etanol. Ini tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menciptakan sumber pendapatan baru.

Di Jawa, upaya serupa masih dalam tahap awal. Tantangan seperti keterbatasan lahan dan persaingan dengan tanaman lain membuat petani tebu sulit fokus pada praktik berkelanjutan.

Leadership: Visioner vs. Birokratis

Koperasi gula di Maharashtra dibangun oleh para pemimpin visioner yang percaya pada kekuatan kolektif. Mereka tidak hanya membangun pabrik tetapi juga menciptakan sistem yang memberdayakan petani.

Di Jawa, kepemimpinan dalam industri gula lebih bersifat birokratis, dengan BUMN dan swasta mendominasi. Meskipun ada upaya untuk memberdayakan petani, kurangnya koperasi yang kuat membuat perubahan sulit terjadi.

Warisan Kolonial: Inggris vs. Belanda

Maharashtra, di bawah pemerintahan Inggris, mengembangkan sistem perkebunan tebu yang kemudian diadaptasi menjadi koperasi setelah kemerdekaan. Warisan Inggris meninggalkan infrastruktur dan sistem manajemen yang kuat.

Jawa, di bawah Belanda, mengenal sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang mengeksploitasi petani. Warisan ini masih terasa dalam struktur lahan yang terfragmentasi dan ketergantungan pada pabrik gula milik negara.

Yokohama Koperasi: Mimpi yang Belum Terwujud

Di Maharashtra, koperasi gula seperti Yokohama telah menjadi model keberhasilan, dengan jaringan yang luas dan sistem yang efisien. Di Jawa, konsep serupa masih dalam tahap awal, dengan koperasi lebih berperan sebagai penyedia input daripada pengelola pabrik.

Penutup: Dua Dunia, Satu Tantangan

Rajesh dan Sutrisno mungkin hidup di dunia yang berbeda, tetapi mereka menghadapi tantangan yang sama: bagaimana bertahan di tengah perubahan iklim, fluktuasi harga, dan tekanan ekonomi. Di Maharashtra, koperasi gula telah menjadi jawaban. Di Jawa, jawabannya masih dicari.

Kisah mereka mengingatkan kita bahwa industri gula bukan hanya tentang tebu dan gula, tetapi juga tentang manusia, kepemimpinan, dan keberlanjutan. Dan di mana pun kita berada, kekuatan kolektif mungkin adalah kunci menuju masa depan yang lebih baik.

Imagination is more important than knowledge” – Albert Einstein

“Masalah kita bukanlah kurangnya sumber daya, tapi kurangnya imajinasi.” – Arundhati Roy

***

Sumber: Conversation with DeepSeek

Judul: Legenda dan Realita: Kisah Gula dari Maharashtra dan Jawa
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *