MajmusSunda News – Bandung, Kamis (16/10/2025) –Kopi selalu punya cara menyapa penikmatnya. Di Bandung, ada kisah tentang Kopi Kiayi Baladewa, roastery kecil yang tumbuh dari ketekunan seorang peracik kopi bernama Mustika Witono Putranto. Dari tempat sederhana, ia menyalakan semangat besar untuk menjaga cita rasa kopi Jawa Barat.
Kopi di Indonesia selalu menjanjikan. Sejak lama, negeri ini dikenal sebagai salah satu produsen kopi terbaik di dunia. Kopi menjadi andalan ekspor nonmigas Indonesia selain minyak sawit dan kakao. Tak hanya sebagai komoditas ekonomi, kopi juga menjanjikan kesejahteraan bagi petani dan para pengelolanya.
Di Jawa Barat, kopi sudah dikenal sejak masa kolonial Belanda. Salah satunya adalah jenis Java Preanger, sebutan historis untuk kopi arabika yang ditanam di dataran tinggi Priangan (Garut, Bandung, dan Sumedang). Bagi orang Eropa kala itu, “A Cup of Java” menjadi simbol kenikmatan — bahkan disebut salah satu kopi terbaik di dunia pada zamannya.
Selain Java Preanger, ada juga Kopi Malabar dan Kopi Gunung Puntang, dua varietas kopi khas yang menjadi bagian penting dari warisan kopi Priangan.
Dinamika Kopi Jawa Barat: Rasa, Konsistensi, dan Pasar
Sayangnya, kopi dari Jawa Barat kini menghadapi tantangan serius: kualitas rasa yang belum stabil. Menurut penggiat kopi lokal, beberapa kopi seperti Gunung Puntang yang sempat booming hingga 2004 kini mulai menurun popularitasnya. Di sisi lain, muncul kopi yang sedang naik daun seperti Kopi Kamojang (Garut), sementara Kopi Yellow Caturra dari Gunung Cikuray dikenal memiliki rasa konsisten meski sulit ditemukan karena hampir seluruh hasil panennya diekspor.
Harga kopi pun bervariasi. Kopi mentah Yellow Caturra dijual sekitar Rp200–250 ribu per kilogram, sedangkan kopi hasil roasting bisa mencapai Rp400–500 ribu per kilogram. Kini, dua nama yang cukup terkenal di Jawa Barat adalah Kopi Arabika Kamojang dan Yellow Caturra Cikuray.
Kopi memang masih menjadi komoditas ekspor unggulan, namun produksi lokal sering kali tidak mampu memenuhi permintaan pasar global. Masa panen kopi di Indonesia biasanya terjadi antara Februari hingga April. Di luar masa itu, stok kopi menipis. Menurut pelaku usaha, rata-rata gudang besar hanya menyimpan 2–3 ton kopi, sementara permintaan dari perusahaan bisa mencapai lebih dari 20 kontainer. Akibatnya, banyak eksportir harus berkeliling ke berbagai gudang untuk mengumpulkan stok sedikit demi sedikit.
Dukungan dan Tantangan di Hulu Produksi
Menurut para pelaku usaha kopi, dukungan pemerintah terhadap sektor hulu masih perlu ditingkatkan — mulai dari penyediaan lahan, pelatihan petani, hingga kemudahan izin usaha dan sertifikasi halal (PIRT). Meski program label halal gratis sudah ada, prosedurnya dinilai masih cukup sulit.

Padahal, pasar dunia siap menampung kopi Indonesia. Negara seperti India dan Turki bahkan bersedia membeli kopi “rijekan” (biji kopi pecah atau berwarna hitam) untuk dijadikan kopi bubuk. Di sisi lain, pembeli dari Eropa lebih banyak memilih kopi Gayo (Aceh), sedangkan Jepang dan Asia Timur cenderung menyukai kopi Toraja dan Kintamani (Bali).
Kopi Jawa Barat memiliki potensi besar, tetapi memerlukan pendampingan menyeluruh dari hulu ke hilir agar cita rasanya konsisten. Tanaman kopi juga sebaiknya tidak ditumpangsari dengan tanaman lain yang bisa memengaruhi cita rasa bijinya. “Kalau hasilnya tidak konsisten, ujung-ujungnya rugi,” ujar salah satu pengelola kopi.
Cerita dari Baladewa Coffee & Roastery Bandung
Sore yang dingin di Bandung menjadi hangat ketika menyeruput kopi pahit tanpa gula di Baladewa Coffee & Roastery, Jalan Baladewa Gang 6 No. 83, Kelurahan Pajajaran, Kecamatan Cicendo, Bandung. Di tempat inilah Mustika Witono Putranto (49) — akrab disapa Kang Tono — berbagi cerita tentang kopi dan perjalanannya sebagai peracik cita rasa.

Tono adalah alumni Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Bandung Raya dan aktif di berbagai organisasi sosial dan komunitas, mulai dari Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam (HIMALAYA FE UNBAR) hingga Kelompok Informasi Masyarakat Jawa Barat. Namun sejak 2019, ia memilih fokus menjadi roaster kopi di kedai miliknya.
Kopi hasil roasting-nya diberi merek dagang “Kopi Kiayi.” Menariknya, pelanggan dari luar daerah seperti Lampung dan Aceh tetap membeli kopi Lampung dan Gayo dari Bandung — karena rasa hasil roasting Tono dianggap istimewa.
Belajar Nyangray: Dari Kegagalan Jadi Keahlian
Tono mengenang awal mula belajar menyangray kopi di tahun 2019, tepat saat pandemi COVID-19 melanda. Setelah menerima mesin roasting dari kakaknya, ia berlatih otodidak di tengah situasi ketika banyak usaha tutup. Hasil awalnya jauh dari sempurna — “kopi kalah ka tutung” (terlalu gosong). Namun ia tidak menyerah. Setelah menghabiskan lebih dari 40 kilogram kopi untuk eksperimen, ia mulai menguasai teknik roasting yang menghasilkan rasa seimbang.

“Ah, sungguh pengorbanan yang berubah jadi pengetahuan dan keterampilan,” kenang Tono sambil menyeruput kopi hitamnya.
Menurutnya, minum kopi sebaiknya tanpa gula agar manfaatnya lebih terasa: menstabilkan detak jantung, melancarkan peredaran darah, dan bahkan membantu penderita diabetes. “Asal kopinya murni, jangan pakai gula, susu, atau krimer,” ujarnya.
Promosi Digital dan Cita Rasa Premium
Di era digital, Tono memasarkan produknya lewat media sosial Facebook dan Instagram. Pesanannya kini datang dari berbagai daerah, mulai dari Medan hingga Papua. “Alhamdulillah, berapa pun hasilnya, cukup untuk kebutuhan keluarga. Mengalir saja,” katanya santai.
Harga kopi di Baladewa Coffee & Roastery pun bervariasi:
-
Robusta: Rp190.000/kg
-
Arabika: Rp250.000–350.000/kg
-
Kopi Luwak: Rp600.000/kg
Kopi yang dijual di sini dijaga pada grade one, dengan pilihan seperti Fine Robusta dan Arabica Specialty yang terkenal karena rasa yang kuat dan konsisten. Bahkan kopi fermentasi seperti Arabica Gayo Wine atau Malabar Wine dijual lebih terjangkau dibanding tempat lain.
“Kalau yang wine itu rasa buahnya lebih tinggi. Ada juga yang asam segar seperti belimbing wuluh. Semua tergantung selera,” pungkas Tono sambil menyeruput kopi terakhirnya dengan senyum puas.
Kisah Kopi Kiayi Baladewa Bandung adalah cermin semangat para penggiat kopi lokal yang terus menjaga cita rasa dan nilai kearifan lokal di setiap seduhan. Dalam setiap cangkirnya, tersimpan cerita perjuangan, eksperimen, dan cinta terhadap kopi Indonesia — khususnya kopi Jawa Barat yang aromanya tak pernah lekang oleh waktu.
Judul: Kopi Kiayi Baladewa Bandung: Ngobrolin Kopi Sambil Ngopi
Jurnalis: Asep GP
Editor: Parkah












