Kiprah Bulog Mengokohkan Ketahanan Pangan

Oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Sabtu (03/05/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Kiprah Bulog Mengokohkan Ketahanan Pangan” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Menarik apa yang disampaikan Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo ketika beberapa waktu lalu menutup sambutan nya dalam acara penganugerahan inovasi benih dan bibit untuk pengembangan ketahanan pangan, kemandirian pangan dan kedaulatan pangan. Dikatakan Kang Arief : Pangan Kuat Negara Berdaulat !

Sekitar 73 tahun lalu, Proklamator Bangsa, Bung Karno telah mengingatkan, urusan pangan merupskan mati hidupnya suatu bangsa. Bung Karno tahu persis, betapa penting nya pangan dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Itu sebabnta, kita jangan pernah sekalipun bermain-main dengan urusan pangan.

Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Apa yang diingatkan Presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diatas, kini betul-betul dapat kita rasakan. Badan Pangan Dunia (FAO) berulang kali meminta kepada negara-negara anggotanya, agar berhati-hati dalam membaca perkembangan pangan di dunia, terutama seusai adanya sergapan Covid 19 yang melanda segenap warga dunia.

FAO mewanti-wanti agar segenap warga bangsa sedunia, tidak dilanda krisis pangan. FAO ingin agar setiap anggotanya mampu menyiapkan diri dengan sebaik-baiknya, andaikan krisis pangan mulai menyergap. Adanya iklim ekstrim dan ledakan jumlah penduduk serta munculnya bencana kemanusiaan yang tidak terduga, menjadi penyebab utama terjadinya krisis pangan.

Atas hal demikian, Indonesia sebagai negara yang jumlah penduduknya menempati peringkat ke 4 terpadat penduduk nya, tentu tidak boleh lengah terhadap himbauan FAO diatas. Kewaspadaan tetap harus dilakukan. Kita jangan sampai kendor dalam menggenjot produksi. Apalagi bila kita bertekad untuk menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045 mendatang.

Hal lain yang tak kalah penting untuk ditempuh adalah mengokohkan ketersediaan pangan, yang salah satu strategi nya dengan memperkuat Cadangan Pangan Nasional. Jangan sampai cadangan pangan menipis pada angka yang cukup merisaukan. Cadangan Pangan harus kuat dan kokoh agar ketersediaan pangan terjaga.

Pengalaman menipisnya cadangan beras Pemerintah dua tahun lalu, ada baiknya dijadikan proses pembelajaran dalam melahirkan Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah. Menipisnya cadangan beras Pemerintah, menunjukkan pengelolaan cadangan beras ini, terkesan tidak profesional. Perum Bulog selaku operator pangan, seperti yang tidak mampu memperkuat cadangan pangan.

Catatan kritisnya adalah ada apa sebetulnya dengan Perum Bulog, sehingga operator pangan ini tidak mampu mewujudkan cadangan beras Pemerintah ? Apa yang menjadi titik lemah Perum Bulog dalam menjalankan tugas dan fungsinya itu ? Apakah Perum Bulog tidak mampu bersaing dengan para pedagang dan pengusaha beras dalam menyerap hasil panen petani ?

Seabreg pertanyaan lain bisa saja kita sampaikan. Hanya betapa sedihnya jika ketidak-mampuan Perum Bulog dalam mengokohkan cadangan beras Pemerintah, lebih disebabkan oleh tidak fokusnya dalam menggerakkan roda organisasi. Satu penyebabnya, bisa jadi karena manajenen Perum Bulog terbebani utang ke Bank Himbara dengan angka cukup besar.

Mewujudkan pangan kuat agar negara berdaulat, rupanya tidak seindah kata yang tertulis di atas kertas. Soal cadangan beras Pemerintah saja, kita telah dihadapkan pada segudang masalah yang menyelimutinya. Belum lagi soal yang berkaitan dengan mulai menurunnya produksi karena berbagai faktor. Lalu, soal daya beli petani yang merosot karena belum pulihnya ekonomi nasional pasca Covid 19.

Semua ini tampak dan mengedepan dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu untuk berbenah dengan serius. Pembenahan yang ditempuh, jangan lagi bersifat parsial, namun kita dituntut untuk dapat menyelesaikannya secara sistemik. Kita percaya, Kantor Menko bidang Pangsn dan Badan Pangan Nasional akan mampu mencarikan solusi cerdasnya. Tentu dengan membangun sinergitas dan kolaborasi diantara segenap para pemangku kepentingan menuju kedaulatan pangan yang kokoh fan kuat.

TANTANGAN MENDATANG

Di sisi lain, jika kita cermati pengertian Kedaulatan Pangan versi Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dijelaskan Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Diselisik lebih dalam, ada beberapa hal penting terkait dengan pengertian Kedaulatan Pangan diatas. Pertama, tentu saja berkaitan dengan “hak negara dan bangsa untuk menentukan kebijakan pangan secara mandiri”. Kedua, ada nya jaminan hak atas pangan bagi rakyat. Ketiga, memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan berbasis potensi sumber daya lokal.

Tiga poin inilah yang akan menentukan mampu atau tidaknya sebuah bangsa dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan. Ke tiga poin diatas merupakan satu kesatuan pola pikir, yang memiliki keterkaitan antara satu dengan lain nya. Itu sebab nya, jika bangsa kita ingin meraih Kedaulatan Pangan, tentu terlebih dahulu perlu memantapkan Swasembada, Ketahanan dan Kemandirian Pangan lebih dahulu.

Jujur harus diakui, hingga kini bangsa ini belum mampu mewujudkan swasembada pangan. Yang baru kita raih adalah swasembada beras. Itu pun sifatnya on trend. Belum permanen. Artinya, jika produksi sedang berlimpah, maka kita berhak memproklamirkan diri swasembada, namun jika produksi beras turun cukup signifikan maka solusi yang diambil adalah impor beras.

Entah kapan swasembada pangan dapat kita wujudkan. Sampai sekarang pun, kita masih mengimpor jagung, kedele, bawang putih, daging sapu, gula, dan bahan pangan lain. Rasanya masih panjang waktunya, jika kita ingin mengaku telah swasembada pangan. Dan tolong dicatat, pangan bukan hanya beras. Namun jika kita baca pengertian pangan menurut UU No. 18/2012, tampak jelas apa yang disebut pangan.

Dalam UU tersebut didefinisikan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya.

Lalu, bagaimana kondisi ketahanan pangan bangsa dan negara ? Ini juga masih merisaukan. Bukan saja ketersediaan pangan mengalami penurunan cukup terukur, tapi dilihat dari harga yang tercipta di pasar pun mengalami kenaikan yang sifatnya “ugal-ugalan”. Di lain pihak, Pemerintah pun seperti yang tak berdaya untuk mengatasinya.

Hal ini pantas dicermati, karena menurut UU Pangan sendiri, ketahanan pangan dimaknai sebagai kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara
sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi,
merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif,
dan produktif secara berkelanjutan.

Selanjutnya bagaimana kondisi kemandirian pangan ? UU Pangan memberi pengertian tentang kemandirian pangan. Ditegaskan Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai
di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya
alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat.

Mencermati pengertian kemandirian pangan diatas, jelas terungkap yang namanya kemandirian pangan bangsa kita, masih sebatas cita-cita. Kemandirian pangan lebih nyaman didengar ketimbang dibuktikan dalam kehidupan nyata di lapangan. Kemandirian pangan lebih keren terdengar bila dijadikan pemanis pidato para pejabat.

Jika swasembada pangan, ketahanan pangan dan kemandirian pangan masih belum mampu diwujudkan, mana mungkin bangsa ini dapat meraih kedaulatan pangan. Itu sebabnya, seiring dengan semangat menggapai kedaulatan pangan, maka secara serempak kita perlu meraih swasembada pangan, ketahanan pangan dan kemandirian pangan itu sendiri.

Menjawab tantangan demikian, Badan Pangan Nasional dimintakan tampil sebagai “prime mover” dalam pelaksanaannya. Hal ini wajar, karena sesuai dengan tujuan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 66/2021, lembaga Pemerintah yang memiliki tugas fungsi mengatur urusan pangan adalah Badan Pangan Nasional. Hal ini tampak jelas dari 11 fungsi yang diembannya.

Guna mewujudkan kedaulatan pangan, Badan Pangan Nasional dituntut untuk memiliki Grand Desain Pencapaian Kedaulatan Pangan lengkap dengan Roadmap pencapaiannya. Dengan lebih mengedepankan sisi teknokratik dan partisipatif, Badan Pangan Nasional dimintakan mampu menyusun desain perencanaan yang berkualitas.

Tak kalah penting untuk dilakukan, Grand Desain ini pun dapat merumuskan formula dengan titik tekan pada persamaan SUKSES PERENCANAAN = SUKSES PELAKSANAAN. Ini berarti, mereka yang diberi amanah untuk menyusun nya, mestilah orang-orang yang memiliki komitmen kuat untuk meraih kedaulatan pangan, disamping juga mempunyai tingkat kepakaran yang mumpuni.

KEBERADAAN BULOG

Sejak Presiden Prabowo bicara perlunya transformasi kelembagaan Perum Bulog dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi Lembaga Otonom Pemerintah, perbincangan soal Bulog tampak marak di berbagai pertemuan. Di bawah dirijen Menko bidang Pangan, Kabinet Merah Putih pun tampak ikut sibuk membahasnya. Bulog masa depan, jelas harus berbeda dengan Bulog masa kini.

Status Bulog sebagai BUMN sepertinya sulit untuk menampilkan kinerjanya secara maksimal. Perum Bulog susah unruk melaksanakan fungai bisnisnya secara optimal. Selain keterbatasan sumber daya manysia pendukungnya, ternyata Perum Bulog pun lebih disibukan oleh penugasan-oenugasan Pemerintah sebagai operator pangan.

Langkah Pemerintah untuk “membebaskan” Perum Bulog dari status BUMN, diharapkan mampu menjadikan Bulog untuk lebih fokus dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan. Dengan status nyq sebagai lembaga otonom Pemerintah, Bulog tentu akan lebih jelas menapakan kaki selaku “alat negara”.

Bulog sebagai lembaga otonom Pemerintah, sebetulnya bukan hal baru dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Selama 36 tahun Bulog berpengalaman sebagai Lemvaga Pemerintah Non Departemen. Itu sebabnya, tatkala ada keinginan untuk mengembalikan statusnya seperti Bulog masa lalu, sejatinya bangsa ini berkehendak untuk bernostalgia.

Tinggal sekarang bagaimana merajut pengalaman masa lalu itu dengan suasana kekinian. Inilah yang kini tengah digodok oleh para perancang dan perumus regulasi yang bakal melahirkan Bulog Baru. Masalahnya kapan regulasi ini akan segera dituntaskan, sehingga dalam waktu yang segera, Bulog akan langsung berkiprah sesuai tugas dan fungsinya.

Akhirnya penting disampaikan, bagi bangsa kita, kedaulatan pangan adalah harga mati yang dalam tempo sesingkat-singkatnya, harus bisa diwujudkan. Oleh karena itu, bila sampai sekarang kita belum mampu menggapainya, maka menjadi pertanyaan besar, mengapa kita belum dapat mewujudkannya. Kita butuh jawabannya, sekaligus mencarikan jalan keluar, agar nyawa kehidupan tetap tersambung.

***

Judul: Kiprah Bulog Mengokohkan Ketahanan Pangan
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *