MajmusSunda News, Rabu (08/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul ”Kesiapan Bulog Menghadapi Panen Raya” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Anjloknya harga gabah di petani saat panen berlangsung, sepertinya sudah menjadi fakta kehidupan yang sulit untuk ditolak kebenarannya. Hampir setiap musim panen, petani umumnya kecewa, karena harga gabah kering panen (GKP) selalu berada dibawah angka harapannya. Hasrat menggebu-gebu untuk merubah nasib, akhirnya sirna dengan sendirinya.
Adanya komitmen Presiden Prabowo untuk membebaskan Bulog dari status Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan merubahnya menjadi lembaga otonom Pemerintah langsung dibawah Presiden, kita berharap agar Pemerintah dapat menugaskan Bulog menjadi “offtaker” membeli gabah/beras petani dengan harga wajar dan memberi keuntungan optimal bagi petani.

Atas hal demikian, Pemerintah, mestinya mengerti benar terhadap suasana yang tengah tercipta. Pertanyaannya, mengapa Pemerintah seolah-olah melakukan pembiaran dan tidak berjuang habis-habisan untuk menjaga agar saat panen harga gabah tidak melorot? Benarkah Pemerintah hilang keperkasaannya jika sudah berhadapan dengan bandar dan tengkulak?
Harusnya tidak! Pemerintah dengan kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, sebetulnya memiliki kesempatan yang terbuka untuk melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani, melalui keberadaan Bulog, ketika musim panen tiba. Pemerintah, tentu sudah tahu persis, apa yang selama ini menjadi keluhan petani saat musim panen tiba.
Sayang dalam kenyataannya, peluang untuk membela dan melindungi petani, sepertinya belum optimal dilakukan. Pemerintah terkesan kalah gesit dengan para bandar dan tengkulak, yang begitu cepat menekan harga gabah ketika musim panen tiba. Dengan posisi tawar yang lemah, akhirnya petani tidak manpu berbuat banyak, selain hanya mengusap dada.
Hal seperti ini, tampak terekam, musim panen bukan lagi pestanya para petani, namun telah bergeser menjadi hajatan bandar dan tengkulak yang membeli gabah petani dengan harga yang murah. Catatan kritisnya adalah mengapa lengkingan suara petani yang meminta Pemerintah untuk HADIR di tengah kesusahan petani, seperti yang tidak direspon dengan baik?
Dihadapkan pada kondisi seperti ini, kita berharap Bulog akan benar-benar hirau dan peduli atas perbaikan nasib dan kehidupan petani. Kita ingin agar “suara petani” ketika musim panen datang, mampu menggerakkan hati Pemerintah untuk mencarikan jalan keluar terbaiknya, sehingga petani dapat terbebas dari perilaku oknum-oknum yang ingin memarginalkannya.
Adanya pemikiran yang menyebut petani akan senang, jika harga beras mahal di pasar, tentu tidak sepenuhnya benar. Sebab, sebagian besar petani padi, akan menjual hasil panenannya dalam bentuk gabah kering panen (GKP). Petani akan senang, jika saat panen tiba harga gabah tidak melorot. Malah petani bakal sedih bila harga beras di pasar mahal.
Kalau petani hanya memiliki gabah dan tidak memiliki beras, jadi siapa sebenarnya pemilik beras itu sendiri? Jawabnya tegas, pemilik beras adalah bandar, tengkulak, pedagang, pengusaha penggilingan dan Perum Bulog. Dengan demikian, dapat disimpulkan, dengan mahalnya harga beras di pasar, yang paling diuntungkan, jelas bukan petani. Tapi, para pemilik beras.
Mahalnya harga beras, jelas sangat memberatkan petani dalam melakoni kehidupannya. Terlebih ketika musim panen datang, harga gabah di petani anjlok. Betapa tidak? Sebab, suasana nya betul-betul merugikan petani. Bisa dibayangkan, petani menjual gabah yang dipanennya dengan harga murah dan petani harus membeli beras dengan harga mahal.
Adanya Progam Bantuan Beras Langsung sebesar 10 kg per bulan bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat selama ini, setidaknya mampu meredam kesusahan petani dalam memenuhi kebutuhan pangan pokoknya. Masalahnya, apa yang bakal terjadi jika program semacam ini dihentikan Pemerintah, karena sesuatu alasan?
Inilah resiko petani sebagai “net consuner”. Di satu sisi, mereka memproduksi gabah dan di sisi lain, mereka juga harus membeli beras. Problemnya menjadi semakin rumit, manakala terekam data, dalam 10 tahun belakangan ini (2013-2023), jumlah petani gurem (petani yang memiliki lahan pertanian rata-rata 0,3 hektar) mengalami peningkatan cukup signifikan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem tercatat sebanyak 16,89 juta. Dengan kata lain, mengalami kenaikan sebesar 18,49% dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang jumlahnya hanya sebanyak 14,25 juta. Atau bisa jika dikatakan jumlah rumah tangga petani gurem, meningkat sebesar 2,64 juta rumah tangga.
Tidak lama lagi para petani akan memanen hasil usahatani padi musum tanam Ap-Sep 2024, yang waktunya mundur beberapa bulan. Kita berharap agar Pemerintah, khususnya Bulog manpu menyiapkan diri agar pada waktunya nanti harga gabah di petani tidak anjlok. Pemerintah bersama stakeholders perberasan dituntut untuk dapat melakukan pengawalan atas tibanya musim panen kali ini.
Akhirnya penting disampailan, panen raya padi sekarang merupakan kesempatan terbaik bagi Pemerintahan Prabowo/Gibran dalam menjalankan tugas Pemerintahannya. Para petani, kini menunggu bukti apakah Pemerintah cq Bulog betul-betul ingin memperlihatkan keberpihakannya kepada petani atau tidak. Salah satu buktinya adalah apakah Pemerintah dan Bulog mampu menyetop agar harga gabah tidak anjlok.
Mari kita cermati bersama. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Kesiapan Bulog Menghadapi Panen Raya
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi