MajmusSunda News, Minggu (2/2/2025) – Artikel berjudul “Kemanusiaan Otto” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS) serta Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Saudaraku, saya lagi mengikuti raker Aliansi Kebangsaan di Bandung. Dalam gegeran Republik tentang urusan pertanahan dan kelautan, seketika saya teringat Otto Iskandar Di Nata. Ia adalah orang pertama yang mempopulerkan pekik merdeka sebagai salam kebangsaan dan yang pertama kali mengusulkan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Lahir di Bandung 31 Maret 1897, Otto menyelesaikan studinya di Sekolah Guru Atas di Purworejo, sejak 1924 menjadi guru di HIS Negeri Pekalongan. Semasa di Pekalongan, Otto aktif di Budi Utomo, lalu menjadi anggota Dewan Kota (Gemeenteraad). Di Dewan inilah ia mulai tampil sebagai pejuang kemanusiaan. Sikap pedulinya pada nasib rakyat mendorongnya menggugat ketidakadilan yang menimpa petani, dikenal dengan “Peristiwa Bendungan Kemuning”. Para petani jadi korban konspirasi penguasa pengusaha untuk mengambil alih tanah mereka.
Dalam rasa perikemanusiaan Otto, tanah adalah sumber penghidupan petani. Kalau tanah milik petani diambil paksa pengusaha Perkebunan Tebu Wonopringgo atas restu Residen Pekalongan, bagaimana nasib petani. Yang terjadi, para petani mendapat ancaman. Bila tak menyerahkan tanahnya, mereka dianggap melawan penguasa. Beberapa petani terpaksa menyerahkan tanahnya.
Otto tak terima keadaan yang tak adil ini. Pengusaha perkebunan harus mengembalikan tanah itu pada rakyat. Namun, Residen Pekalongan yang berada di belakang pengusaha perkebunan tak setuju, bahkan mengancam Otto akan dibuang ke Boven Digul. Otto tak gentar, bahkan dengan berani membongkar kasus penyiksaan kepala polisi terhadap rakyat.
Perjuangan Otto tak sia-sia. Rakyat memperoleh kembali tanahnya. Residen Pekalongan dicopot dari jabatannya. Tapi, pada 1928, Otto dipindahkan ke Batavia, karena kekhawatiran pemerintah kolonial atas meluasnya pengaruh Otto setelah membela rakyat kecil.
Perjalanan hidup Otto membawanya menjadi guru di HIS Muhammadiyah Batavia dan bergabung dengan Paguyuban Pasundan. Peran publiknya kian penting setelah menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad), 1930-1941. Karena sikap kritisnya, Otto kemudian dijuluki ‘Si Jalak Harupat’ (burung Jalak pemberani).
***
Judul: Kemanusiaan Otto
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.
***