MajmusSunda News, Minggu (09/02/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Keleketek” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Dari banyak literatur diperoleh gambaran, “keleketek” adalah kegiatan yang dilakukan untuk membuat geli orang lain. Keleketek biasanya dilakukan dengan memberikan rangsangan ke daerah2 sensitif disekitar tubuh seperti ketiak/ketek, pinggang, pinggul, telapak kaki, leher & telinga.
Asal muasal kata keleketek, kemungkinan besar berawal dari kata “getek”, yang dalam bahasa Sunda artinya geli. Atau bisa juga dari kata “ketek”, karena rangsangan paling sering diberikan dengan sentuhan jari jemari genit ke daerah yang sensitif ini. Rangsangan dengan jari biasanya dilakukan dengan menggerakkan jari2 (terserah mau satu, dua, tiga, lima atau sepuluh) secara aktif dan cepat.
Dalam kehidupan di masyarakat Sunda, kata keleketek lebih dikaitkan dengan perilaku canda-ria atau ada juga yang menghubungkannya dengan sikap iseng. Keleketek dalam arti luas dilakukan seseorang hanya sekedar untuk membuat yang dikeleketek supaya terperanjat atau kaget, mengingat perlakuannya secara spontan. Dirinya, tidak menyadari ada bagian tubuhnya yang akan dikeleketek.
Keleketek tidak hanya berlangsung dalam kehidupan orang per orang. Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat pun, kata keleketek sering memberi warna dalam sebuah pengambilan keputusan politik. Contoh, kalau ada kepentingan politik tertentu, kata keleketek acap kali dijadikan faktor pelancar untuk meng-goal-kan maksud dan kepentingan seseorang.
Ketika ramai-ramainya proses pencalonan anggota legislatif, kita sering mendengar kalimat :”sok atuh pangngelejetekeu eta Juragan Ketua teh supaya nomor urut abdi janten sae”. Dalam bahasa politik praktis kata keleketek ini lebih berkonotasi kepada pengingatan atas kepentingan seseorang. Kata keleketek bisa dimaknai sebagai upaya minta dibantu.
Istilah “pangeleketekeun” sendiri, tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Hanya mereka yang memiliki hubungan khusua bisa melakukannya. Dua orang sahabat karib sejak di kampung halaman hingga menuntut ilmu di perguruan tinggi, besar peluangnya untuk menggunakan kata pangngeleketekeun. Kata ini digunakan hanya oleh orang-orang memiliki nilai sejarah kehidupan masa lalu.
Ceriranya akan menjadi lebih jelas, bila kedua orang sahabat tadi memperoleh jabatan cukup bergengsi di Pemerinrahan. Yang satu tercatat sebagai Pimpinan Partai Politik dan satunya lagi sebagai seorang pengusaha sekelas konglinerat. Jadi, sekiranya sang konglomerat ini punya kenalan yang berhasrat menjadi Wakil Rakyat, maka dirinya akan minta pengngeleketekeun sang Pumpinan Partai Politik tersebut.
Terlepas dari berhasil atau tidaknya, kenalan konglomerat itu menjadi Wakil Rakyat, namun keberadaan kata pengngeleketekeun, dianggap sebagai faktor pelancar untuk memuluskan kepentingan seseorang. Terlebih bila kedua orang sahabat sedari kecil itu, memiliki hubungan emosional dan semangat persaudaraan (brotherhood spirit) yang sangat dalam.
Pengalaman di masa lalu, bisa saja kata pangngeleketekeun atau “pangnoelkeun” ini dapat merubah urutan pencalonan seorang calon anggota legislatif di suatu daerah pemilihan, dari “nomor sepatu” laki-laki meloncat jadi “nomor kopiah”. Ya, begitulah kehebatan kata keleketek yang dimodif jadi pangngeleketekeun atau pengnoelkeun tersebut.
Kekuatan kata keleketek dan modifikasinya, memang jangan disepelekan. Kata itu, bisa merubah nasib dan kehidupan seseorang, khususnya mereka yang memiliki kepentingan politik. Seorang sahabat pernah cerita, karena ada “keleketek politik” dari seorang pejabat tinggi di negeri ini, dirinya terpental dari nomor urut bakal terpilih jadi nomor urut penggembira.
Atas pemaparan ini, keleketek memiliki makna ganda dalam kehidupan. Di satu sisi, keleketek mengandung mana canda-ria atas perilaku seseorang terhadap teman-taman terdebatnya; dan di sisi lainnya, keleketek bisa menjadi bahasa kiasan yang digunakan seseorang untuk meminta bantuan terhadap orang lain, karena adanya kepentingan tertentu.
Hanya perlu diingatkan, keleketek sendiri, kini sudah jarang dijadikan alat untuk meminta pertolongan. Dalam budaya hedonis dan gaya hidup yang semakin sofistikasi, “peluru” yang efektif untuk minta pertolongan, rupa nya faktor pelancarnya sudah tidak bisa lagi hanya dalam bentuk kata dan kalimat, namun harus jelas pula apa isinya. Bahasa Jawa Baratnya adalah “kudu aya bukurna atuh”.
Sebuah proses kehidupan bangsa yang mementingkan budaya adiluhung seperti silih asah, silih asih, silih asub dan silih wawangi, kata keleketek sebaiknya hanya digunakan untuk leb8h memperkuat semangat kekeluargaan dan kebersamaan. Jangan lagi modifikasi kata kekeletek ini, malah dijadikan alat bantu untuk memuluskan kepentingan politik seseoeang.
Namun demikian penting dicatat, sekalipun Presiden Prabowo dengan tegas akan melawan praktek korupso dan gratifikasi hingga ke akar-akarnya, tapi dalam kenyataannya, terjadi hal-hal yang bersifat anomali. Semakin gencarnya Pemerintah melawan korupsi, maka semakin marak pula praktek-praktek korupsi di berbagai birokrasi Pemerinrahan, baik di tingkat Pusat ataupun Daerah.
Itu sebabnya kita berharap agar para pemimpin bangsa yang kini tengah manggung, karena diberi kepercayaan, kehormatan dan tanggungjawab untuk mengelola bangsa dan negeri tercinta, janganlah direcoki oleh “keleketek politik”. Tetaplah jadi pejuang dan selalu berkiprah untuk kejayaan dan keberkahan bangsa. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Keleketek
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi