Ingat Beras, Ingat Bulog

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Panen padi
Ilustrasi: Kehidupan petani di desa - (Sumber: Bing Image Creator AI)

MajmusSunda News, Minggu (08/12/2024) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Ingat Beras, Ingat Bulog” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Harian DDP HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Ingat Bulog, ingat beras. Bicara soal Bulog, umumnya berkaitan dengan masalah beras. Bulog dan beras, padanan kata yang sulit dipisahkan. Dilihat dari purwadaksinya, Perusahaan Umum Bulog (Perum Bulog) adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berdiri pada 21 Januari 2003. Pendiriannya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 2003.

Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 61 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas PP Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2003 yang merupakan Anggaran Dasar Perum Bulog tersebut kemudian diubah kembali menjadi PP Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perum Bulog.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Perjalanan Perum Bulog tidak lepas dari keberadaan lembaga sebelumnya yaitu Badan Urusan Logistik (Bulog). Sebab, Perum Bulog merupakan hasil peralihan kelembagaan atau perubahan status hukum Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) menjadi BUMN dalam bentuk Perum.

Perubahan status badan hukum Bulog juga mempengaruhi alur koordinasi vertikal semula yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia menjadi di bawah koordinasi Kementerian BUMN dan Lembaga Kementerian teknis lainnya.

Berdasarkan penjelajahan atas sejumlah literatur, jejak langkah lembaga parastatal ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tahun 1967: Bulog pertama kali dibentuk berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/U/KEP/5/1967 tanggal 10 Mei 1967 dengan nama LPND Bulog dengan tujuan pokok untuk mengamankan penyediaan pangan dan stabilisasi harga dalam rangka menegakkan eksistensi Pemerintahan baru.

Tahun 1969: Dengan keluarnya Keputusan Presiden (Keppres) No.39 tahun 1969, tugas Bulog pada 21 Januari 1969 diubah dari mengamankan penyediaan pangan dalam rangka menegakkan eksistensi Pemerintahan baru, menjadi melakukan stabilisasi harga beras nasional.

Tahun 1987: Melalui Keppres No.39 tahun 1987, tugas Bulog mengalami perubahan kembali, dikhususkan untuk mendukung pembangunan komoditas pangan nasional yang multi komoditas.

Tahun 1993: Melalui Keppres No.103 tahun 1993, perubahan berikutnya dilakukan dengan memperluas tanggung jawab Bulog mencakup koordinasi pembangunan pangan dan meningkatkan mutu gizi pangan nasional, yaitu ketika Kepala Bulog dirangkap oleh Menteri Negara Urusan Pangan.

Tahun 1995: Kembali keluar Keppres No.50 tahun 1995, untuk menyempurnakan struktur organisasi Bulog yang pada dasarnya bertujuan untuk lebih mempertajam tugas pokok, fungsi serta peran Bulog. Oleh karena itu, tanggung jawab Bulog lebih difokuskan pada peningkatan stabilisasi dan pengelolaan persediaan bahan pokok dan pangan nasional.

Petani desa
Ilustyrasi: Petani sedang beraktivitas di desa – (Sumber: Bing Image Creator AI)

Tahun 1997: Tugas Bulog berubah kembali dengan keluarnya Keppres  No.45 tahun 1997, dimana komoditas yang dikelola Bulog dikurangi dan tinggal beras dan gula saja.

Tahun 1998: Kemudian melalui Keppres No.19 tanggal 21 Januari 1998, Pemerintah mengembalikan tugas Bulog seperti Keppres No.39 tahun 1969. Selanjutnya ruang lingkup komoditas yang ditangani Bulog kembali dipersempit seiring dengan kesepakatan yang diambil oleh Pemerintah dengan pihak IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI), tugas pokok Bulog dibatasi hanya untuk menangani komoditas beras, sedangkan komoditas pangan pokok lainnya dilepaskan ke mekanisme pasar

Tahun 2000: Arah Pemerintah mendorong Bulog menuju suatu bentuk badan usaha mulai terlihat dengan terbitnya Keppres No.29 tahun 2000. Tugas pokok Bulog adalah melaksanakan tugas Pemerintah di bidang manajemen logistik melalui pengelolaan persediaan, distribusi dan pengendalian harga beras (mempertahankan Harga Pembelian Pemerintah – HPP), serta usaha jasa logistik sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Arah perubahan tersebut semakin kuat dengan keluarnya Keppres No.166 tahun 2000, yang selanjutnya diubah menjadi Keppres No.103 tahun 2000.

Tahun 2001: Sesuai Keppres No.103 tanggal 13 September 2001. Sebagai LPDN, Bulog berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Tahun 2002: Kemudian pada 7 Januari 2002, diubah kembali sesuai Keppres No.03 tahun 2002 dimana tugas pokok Bulog masih sama dengan ketentuan dalam Keppres No.29 tahun 2000, tetapi dengan nomenklatur yang berbeda dan memberi waktu masa transisi sampai dengan tahun 2003.

Tahun 2003: Pada 20 Januari 2003, LPND Bulog berubah statusnya menjadi Perum Bulog (selanjutnya disebut “Perum Bulog”) berdasarkan PP No.7 Tahun 2003 tentang Pendirian Perusahaan Umum Bulog dan PP No.61 Tahun 2003 tentang Perubahan atas PP No.7 Tahun 2003 pasal 70 dan 71.

Tahun 2013: Berdasarkan akta notaris Muchlis Patahan, SH, No.46 tanggal 31 Januari 2013 Perum Bulog mendirikan PT Jasa Prima Logistik Bulog (JPL).

Tahun 2016: Berdasarkan PP Nomor 16 tahun 2016 tentang Perum Bulog yang disahkan pada tanggal 17 Mei 2016, pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perum Bulog untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab dalam rangka ketahanan pangan nasional berupa:

  1. pengamanan harga pangan pokok beras di tingkat produsen dan konsumen;
  2. pengelolaan cadangan pangan pokok beras Pemerintah;
  3. penyediaan dan pendistribusian pangan pokok beras kepada golongan masyarakat tertentu, dan;
  4. pelaksanaan impor beras sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Kemudian untuk mendukung penugasan Perum Bulog berdasarkan PP nomor 16 tahun 2016, Pemerintah menerbitkan Perpres nomor 48 tahun 2016 pada tanggal 31 Mei 2016 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Dalam Perpres itu ditegaskan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional pemerintah menugaskan kepada Perum Bulog untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen.

Selanjutnya Berdasarkan Akta Notaris Nanang Karma, S.H.,M.Hum., No.01 tanggal 4 Oktober 2016, Perum Bulog mengakuisisi PT Gendhis Multi Manis.

Tahun 2017: Berdasarkan Akta Notaris Otty Hari Chandra Ubayani No. 41 tanggal 04 April 2017, Perum BULOG mendirikan Perseroan Terbatas PT. Mitra BUMDes Nusantara (PT MBN) yang kemudian disahkan pendirian badan hukumnya melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI nomor AHU-0018057.AH.01.01.Tahun 2017.

Selanjutnya, dilakukan penandatanganan Akta Notaris untuk pendirian Perseroan Terbatas PT. Mitra BUMdes Kabupaten, yaitu PT. Mitra BUMDes Brani Wetan pada 03 Agustus 2017; PT. Mitra BUMDes Indramayu pada 08 Agustus 2017; PT. Mitra BUMDes Pandeglang pada 20 September 2017; dan PT. Mitra BUMDes Kabupaten Sleman pada 28 Oktober 2017.

Tahun 2020: Penguatan rantai pasok sektor hulu dan hilir untuk menjangkau bisnis dan pangsa pasar pangan di bidang komersial.

Begitulah perjalanan panjang Bulog di negeri ini. Tentu banyak hal menarik dapat dicermati lebih jauh. Menampilkan diri sebagai BUMN yang handal sepertinya belum mampu diwujudkan Perum Bulog. Selama 21 tahun jadi perusahaan plat merah, Perum Bulog lebih dikenal sebagai operator pangan yang menjalankan penugasan dari pemerintah.

Perum Bulog lebih beken sebagai pelaksana impor beras yang kerap kali mengundang banyak kontroversi. Bahkan dalam kaitan ini kursi Dirut Bulog terkesan sangat panas. Lalu, orang-orang tahu Perum Bulog adalah pelaksana program bantuan beras langsung bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat yang tersebar di seluruh Nusantara.

Kini, Perum Bulog kembali jadi perbincangan para penentu kebijakan di negeri ini. Presiden Prabowo menginginkan agar Perum Bulog kembali ke masa lalu ddngan mengacu kepada situasi kekinian. Presiden ingin agar Perum Bulog, jangan lagi menjadi BUMN, tapi posisinya jadi lembaga otonom pemerintah yang langsung di bawah kendali Presiden.

Presiden berharap agar Bulog berkiprah nyata dan fokus dalam menopang percepatan tercapainya swasembada pangan, utamanya beras. Bulog penting tampil menjadi “alat negara” yang piawai dalam menciptakan stabilisasi harga dan pasokan pangan. Selain itu, Bulog pun harus semakin dekat dengan kebutuhsn petani. Persahabatan Bulog dengan petani, perlu terjaga dan terpelihara sepanjang waktu.

Adanya kebijakan yang memposisikan Bulog sebagai “offtaker“, yang membeli gabah/beras petani saat panen berlangsung, sepatutnya kita dukung dengan sepenuh hati. Bagaimana pun juga Pemerintah tetap harus melindungi petani dari perilaku pihak-pihak yang ingin meminggirkan atau memarginalkannya dari pentas pembangunan.

Bulog sebagai “alat negara”, sepatutnya berada di garda paling depan dalam membeli hasil panen petani dengan harga yang wajar dan menguntungkan bagi petani. Bahkan akan lebih keren, bila Bulog pun mampu menjadi “prime mover” bagi para bandar, tengkulak dan pengusaha beras, untuk sama-sama membeli gabah/beras petani dengan harga wajar, sehingga petani memperoleh penghasilan yang layak.

Untuk itu, agar Bulog dapat berperan sebagai offtaker yang andal dan piawai, sangat dibutuhkan persiapan yang matang. Bulog tidak boleh lagi hanya sekedar menggugurkan kewajiban dalam berkiprah. Bulog butuh inovasi dan terobosan cerdas dalam membangun persahabatan dengan petzni. Sebagai sahabat, tentu Bulog akan memberi pelayanan prima bagi kaum tani di Tanah Merdeka.

Bila Bulog ingin menampilkan diri sebagai offtaker yang dicintai petani, harga pembelian gabah/beras Bulog, tentu perlu dihitung dengan cermat dan memberi keuntungan yang pantas bagi petani. Rasa keadilan dalam menetapkan harga pembelian bagi petani, pedagang dan konsumen, sudah saatnya disesuaikan dengan suasana kekinian.

Pemerintah sendiri, sudah waktunya menghitung ulang, berapa sebetulnya harga gabah dan beras yang wajar untuk ditetapkan, sehingga keadilan pun tercermin dari harga yang dipatok. Malah akan lebih keren, jika keuntungan yang selama ini dinikmati oleh bandar, tengkulak dan pengusaha beras, diberikan sebagian bagi keuntungan para petani.

Pertanyaan kritisnya adalah adakah kerelaan dan keikhlasan dari para bandar, tengkulak, pedagang dan pengusaha beras untuk berbagi rejeki dengan para petani? Artinya, kalau selama ini keuntungan yang diterima mereka tercatat 10, mengapa tidak hanya tujuh saja yang diambil, sedangkan yang tiganya lagi diberikan kepada para petani.

Semoga dengan kembalinya Bulog ke masa dengan tetap berbasis pada suasana kekinian, akan banyak terobosan cerdas yang digulirkan. Di sisi lain, kita juga berharap agar Bulog mampu meneladani para bandar, tengkulak, pedagang dan pengusaha dalam melakukan pembelian gabah/beras petani. Catat, ingat Bulog pasti ingat beras.

***

Judul: Ingat Beras, Ingat Bulog
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *