MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (18/02/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Harga Mati HPP Gabah Rp. 6500,-?” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Coba kita cermati pandangan Presiden Prabowo terhadap harga gabah di bawah ini : “Karena itu pemerintah RI telah menetapkan harga gabah kering giling yang dibeli dari petani sebesar Rp6.500 per kilo, saya siap keluarkan PP. Saya tidak main-main karena urusan kebangsaan. Ini masalah survival, saya tidak main-main. Saya ulangi Harga gabah harus Rp6.500 per kilo. Para menteri, ahli, dan pembantu saya harus merumuskan langkah-langkah yang harus diambil,”.
Jelas dan tegas! Itulah suara Prabowo Subianto Presiden NKRI (2024-2029), yang tak henti-hentinya memikirkan nasib dan kehidupan petani. Bagi Presiden Prabowo, penetapan HPP Gabah merupakan kebijakan sangat penting dalam mempercepat pencapaian swasembada pangan yang mensejahterakan petani beserta keluarganya.

Di sisi lain, Menko urusan Pangan Zulhas mengingatkan akan menindak tegas bagi pihak yang membeli gabah dari petani di bawah harga yang sudah ditetapkan pemerintah yakni Rp 6.500 per kg. Penggilingan padi harus membeli gabah dari petani sekurang-kurangnya Rp 6.500,” .
Zulhas minta jangan main-main dengan HPP Gabah. Sebab, kalau masih ada yang memainkan harga di petani, siap-siap dipanggil Polres. Sebab, itu sudah instruksi presiden sebesar Rp 6.500, tidak boleh ditawar-tawar, siapapun yang beli. Zulhas meminta stakeholder terkait untuk turut mengawasi proses penyerapan gabah petani selama musim panen berlangsung, sebagai “pintu masuk” menuju swasembada pangan.
Ini penting dicatat, karena swasembada pangan yang ingin diraih, bukan hanya meningkatkan produksi pangan setinggi-tingginya, namun seiring dengan produksi pangan yang melimpah itu, dibarengi pula dengan peningkatan kesejahteraan petaninya. Semangat swasembada psngsn harus selalu dilandasi untuk kemajuan pembangunan pangan dan perbaikan kemakmuran petsni.
Penetapan HPP Gabah sebesar Rp. 6500,- per kg, tentu telah didasarkan.pada analisis dan perhitungan matang dari segenap pemangku kepentingan dunia pergabahan dan perberasan. Para perumus HPP Gabah, pasti telah mengkaji dari berbagai aspek dalam penentuan HPP Gabah ini. Keluarnya harga Rp. 6500,- jelas bukan turun “ujug-ujug” dari langit.
Justru yang lebih mengedepan menjadi masalah krusial adalah bagaimana kaitannya dengan pencabutan persyaratan penyerapan gabah oleh Perum Bulog seperti yang tertuang dalam Keputusan Badan Pangan Nasional No. 14/2025 ? Hal ini penting disikapi, karena keluarnya harga Rp. 6500,- itu dikaitkan dengan kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %.
Sekarang, dengan keputusan baru ini, Perum Bulog tidak dikenakan persyaratan kadar air dan kadar hampa lagi. Berapa pun kadar air dan kadar hampa gabah yang dihasilkan petani, harus diserap Perum Bulog dengan harga Rp. 6500,-. Dengan kata lain, bisa juga dikatakan harga gabah Rp. 6500,- merupakan “harga mati” yang tidak boleh ditawar-tawar, apalagi jika ada yang mempermainkannya di lapangan.

Bagi petani yang selama ini tidak mampu memenuhi persyaratan kadar air dan kadar hampa seperti yang diatur dalan ketentuan selama ini, kebijakan pembebasan kadar air dan kadar hampa ini, tentu bakal disambut dengan gembira. Artinya, petani tidak perlu lagi bersusah-payah mengeringkan gabah hasil panennya hingga kadar airnya maksimal 25 %, dan kadar hampa maksimal 10 %.
Persoalannya tentu berbeda dengan Perum Bulog. Sebagai operator pangan yang ditugaskan Pemerintah untuk menyerap gabah setara dengan 3 juta ton beras, dengan ditetapkannya aturan baru, maka menjadi cukup kesulitan untuk memperoleh gabah berkualitas baik. Terlebih bila para petaninya bersikap hanya sekedar menjual gabah, tanpa mengindahkan kualitas.
Menghadapi suasana seperti ini, Perum Bulog tentu harus kerja keras dan kerja cerdas dalam memproses penyimpanan gabah tersebut. Masalahnya, tentu saja bakal semakin menjelimet, manakala panen berlangsung di saat hujan. Atas hal seperti ini, Perum Bulog harus siap dengan kualitas gabah basah ysng dihasilkan para petani.
Sindrom gabah basah, bukanlah hal baru dalam mengikuti perkembangan dunia pergabahan di Tanah Merdeka. Dengan keterbatasan yang dimilikinya, petani akan kesulitan mengeringkan gabah yang dipanen, di lain pihak, dengan aturan baru ini, Perum Bulog harus siap menerima “gabah basah” ( kadar air diatas 2t%) yang dihasilkan para petani.
Sekali lagi disampaikan, pengalaman menggambarkan fenomena gabah basah, sebetulnya telah berlangsung sejak lama. Gabah basah yang dicirikan dengan tingginya kadar air (jauh diatas 25 %), cenderung akan menimbulkan masalah pada saat Perum Bulog melakuksn penyimpanan. Salah-salah Perum Bulog menyimpan gabah, jangan salahkan bunda mengandung, bila kualitas beras yang dihasilkan, tidak akan seperti yang diharapkan.
Saat Program Raskin dan Rastra berjalan, sering kita dengar dari para penerima manfaat yang mengeluhkan adanya “beras batik” atau beras yang berwarna kekuning-kuningan. Salah satu penyebabnya, karena pada waktu pengadaan, Perum Bulog kurang apik menyerap gabah petani. Kita berharap, pengalaman pahit seperti ini, tidak terjadi lagi dalam proses penyerapan gabah sekarang ini.
Terus terang, sekalipun Pemerintah hanya menetapkan “satu harga” pembelisn gabah dari petani, yakni Rp. 6500,- per kg, bukan berarti para petani dapat sesuka hati dalam menghasilkan gabah kering panennya, tapi ada kewajiban Pemerintah untuk terus menyuluh petani tentang bagaimana menghasilkan gabah berkualitas. Ini yang paling penting diingatkan kepada para petani di lapangan.
Kondisi panen di musim hujan, jelas sangat memberatkan Perum Bulog dalam menyimpan gabah yang diserapnya. Sebagai operator pangan yang ditugaskan Pemerintah menyerap gabah hasil panen petani, Perum Bulog tidak mungkin akan milih-milih, mana gabah yang kualitasnya baik dan mana yang tidak. Bagaimana pun kualitasnya Perum Bulog wajib untuk menyerapnya, termasuk gabah basah.
Pengalaman Perum Bulog membeli “gabah basah”, saat panen berlangsung di musim hujan, terbukti tidak mampu menyimpannya dengan baik, sehingga beras yang dihasilkannya menjadi kurang baik. Di beberapa daerah dilaporkan adanya beras berwarna kekuning-kuningan, banyak kutu, bau apek dan hancur. Bahkan istilah “beras batik” pun muncul jadi lelucon banyak kalangan.
***
Judul: Pendayagunaan Penyuluh Pertanian
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi