MajmusSunda News, Kamis (01/05/2025) – Artikel berjudul “Hakikat Kerja: Renungan Hari Buruh” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saudaraku,
di negeri yang tanahnya tak pelit memberi dan lautnya tak henti menghidupi, kerja seharusnya menjadi jalan manusia menegakkan martabatnya. Tapi hari ini, kita menyaksikan ironi yang getir: kerja, yang mestinya membebaskan, justru kerap membelenggu. Peluh mengalir tanpa imbal yang layak. Tenaga terkuras tanpa jaminan masa depan.

Kerja bukan sekadar alat menggenggam sesuap nasi. Ia adalah jalan manusia menyambut panggilan jiwa. Dalam kerja, manusia menyatakan keberadaannya—bahwa ia hadir bukan hanya untuk hidup, tapi untuk memberi, mencipta, dan menyalakan makna dalam semesta yang terus bergerak. Tanpa kerja, manusia kehilangan pijakan untuk menjadi dirinya yang utuh.
Manusia sejati bekerja dengan tiga kekuatan: dengan tubuh yang menuntut kesehatan, perlindungan, dan upah yang adil; dengan akal yang haus pendidikan, ruang cipta, dan daya hidup yang membebaskan; dan dengan hati yang menyalakan api keadaban, keberpihakan, dan kasih yang tak berpamrih.
Namun di tanah air kita hari ini, terlalu banyak yang bekerja dengan tubuh tapi tak punya jaminan atas keselamatannya. Terlalu banyak yang bekerja dengan akal tapi terkurung dalam sistem yang menghambat kreativitas dan meritokrasi. Dan lebih menyedihkan, mereka yang mestinya bekerja dengan hati—menyalakan obor keadilan, mengayomi rakyat—malah memadamkan nurani. Yang semestinya melayani, justru mengkhianati. Yang seharusnya melindungi, malah menyakiti. Tangan kekuasaan yang seharusnya menyejahterakan rakyat berubah menjadi alat perampasan dan pelemahan.
Hari Buruh bukanlah upacara tanpa gema. Ia adalah seruan nurani. Ia mengetuk kesadaran kita, bahwa tak ada peradaban yang tumbuh dari keringat yang diabaikan. Bahwa kemajuan sejati bukan dinilai dari pencakar langit yang menjulang, tapi dari seberapa layaknya manusia hidup setelah bekerja.
Inilah momen mengaca diri: sudahkah kerja diberi ruang yang adil? Sudahkah hukum berpihak pada yang rentan? Sudahkah martabat manusia dijaga dalam setiap peluh yang tercurah? Sebab, kemuliaan suatu bangsa tidak diukur dari kekuatan elitenya, melainkan dari penghormatan yang diberikan kepada para pekerjanya.
***
Judul: Kurikulum Cinta
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi
Sekilas tentang penulis
Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.
Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.
Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.
Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.
Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.