MajmusSunda News, Kolom OPINI, Senin (17/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Dari Negeri Gula yang Terlupakan: Kisah Jawa dan Mimpi Menyamai Maharashtra” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.
Siapa yang tak kenal Pulau Jawa sebagai produsen gula utama selama ini? Tapi dari hari ke hari kondisi pergulaannya semakin merosot. Bukan tidak ada kebijakan atau road map, tetapi apabila diukur oleh kinerja yang dicapainya, mencerminkan bahwa kebijakan yang dilancarkan tidak bekerja.
Memang pernah pada suatu periode produksi gula Indonesia meningkat dari 1.49 juta ton pada 1998 menjadi hampir 2.6 juta ton pada 2008 ─ produksi gula meningkat sekitar 74.4% selama 10 tahun atau 7.4 %/tahun, tetapi kemudian produksi gula turun kembali.

Terinspirasi oleh pergulaan di Maharashtra, India, dengan produksi gula 10.5 juta ton pada 2022/2023, keberadaan 200 pabrik gulanya dengan nilai sekitar Rp 752 triliun dimiliki dan dikelola koperasi maka pada tulisan ini mencoba mengandaikan apabila PG BUMN dibeli oleh koperasi petani sehingga koperasi menjadi institusi pergulaan di Jawa yang mengintegrasikan industri pergulaan secara vertikal di Jawa. Apa hasilnya? Prediksi dari perubahan struktur ini akan membangkitkan kembali pergulaan Jawa. Salam koperasi.
Prolog: Lahan Tebu yang Merintih
Di Kediri, Pak Joko memandang pabrik gula (PG) Rajawali I yang megah, tapi usang, “Dulu, pabrik ini kebanggaan kami. Sekarang, mesinnya berderak seperti nenek tua,” keluhnya.
Namun, di benaknya terlintas pertanyaan, bagaimana jika kami, petani, yang memiliki dan mengelola pabrik ini? Mimpi itu kini bukan hal mustahil. Di Maharashtra, India, petani kecil seperti Pak Joko telah membeli dan mengelola 200 pabrik gula. Bisakah Jawa mengikuti jejak mereka?
Babak Baru: Membeli BUMN Gula, Mencetak Kedaulatan
Skema Pembelian yang Memungkinkan
Andaikan pemerintah mengumumkan rencana strategis: koperasi petani tebu diberi prioritas membeli saham BUMN Gula seperti PT RNI.
Skemanya:
Pembelian Bertahap: Koperasi membeli 51% saham BUMN dengan cicilan 10 tahun, menggunakan keuntungan operasional.
Hak Pengelolaan sebagai Jaminan: Lahan tebu petani yang dikapitalisasi jadi aset jaminan pinjaman.
Pendampingan BUMN: Selama 5 tahun, BUMN melatih petani mengelola teknologi pabrik.
Contoh untuk pengandaian/imajinasi:
PG Jati Tujuh (nilai aset Rp 1,5 triliun, termasuk lahan kl 10.000ha) dibeli Koperasi Petani Tebu Jawa I (KPTJ-I) dengan cicilan Rp 150 miliar/tahun.
Tahun pertama, KPTJ-I sukses meningkatkan rendemen dari 7% ke 9% berkat manajemen mandiri.
Manfaat Langsung
Petani:
Dividen Rp 10–15 juta/tahun per kepala keluarga.
Kontrol penuh atas harga tebu dan kebijakan pabrik.
BUMN:
Terima suntikan modal Rp 1,5 triliun dari penjualan saham.
Fokus ke riset varietas tebu unggul.
Pemerintah:
Penghematan subsidi Rp 2 triliun/tahun.
Peningkatan PAD dari pajak koperasi.
Tantangan yang Harus Dijawab
Resistensi Karyawan BUMN: Pekerja khawatir di-PHK. Solusi: Alihkan ke kontrak dengan koperasi + pelatihan ulang.
Studi Kasus: Kisah Sukses Maharashtra
Tahun 1995, Koperasi Sahyadri di Maharashtra membeli pabrik gula milik negara yang bangkrut. Awalnya, mereka hanya punya Rp 200 miliar (10% nilai pabrik). Tapi dengan:
Pinjaman bunga rendah dari bank pemerintah.
Manajemen profesional yang direkrut dari pasar.
Integrasi vertikal (gula + etanol + listrik).
Dalam 5 tahun, Sahyadri menjadi produsen gula terbesar ke-3 di India. Kini, 5.000 petani anggotanya menikmati dividen Rp 25 juta/tahun.
Proyeksi di Jawa: Jika 10 Pabrik BUMN Dibeli Koperasi
Parameter
Nilai
Total investasi: Rp 15 triliun (10 pabrik)
Tambahan produksi gula: 1,2 juta ton/tahun
Pengurangan impor: Rp 28,8 triliun/tahun
Penyerapan tenaga kerja: 50.000 orang
IRR: 18% (lebih tinggi dari deposito)
Epilog: Jawa 2035, Negeri di Tangan Petani
Di tahun 2035, Pak Joko kini duduk di dewan direksi Koperasi PG Rajawali Baru. Pabrik itu—yang dulu mau dijual ke investor asing—kini jadi kebanggaan desa. Anaknya, yang dulu merantau ke Jakarta, pulang jadi manajer pemasaran koperasi.
“Kami tak cuma punya tanah, tapi juga pabrik,” kata Pak Joko, menunjuk sertifikat sahamnya.
Di Maharashtra, Ramesh—petani yang dulu ia kagumi—kini justru belajar ke Jawa. “Kalian lebih berani. Kami butuh 50 tahun, kalian hanya 10 tahun!” puji Ramesh.
Penutup: Jika Bisa Mengapa Tidak?
Pembelian BUMN Gula oleh koperasi bukan sekadar wacana. Ini adalah revolusi agraria yang memutus rantai ketergantungan pada impor dan pola lama. Dengan skema cicilan, dukungan teknologi, dan keberanian politik, Jawa bisa jadi contoh dunia: di mana petani bukan lagi korban, tapi pemilik masa depan.
“Imagination is more important than knowledge” – Albert Einstein
“Masalah kita bukanlah kurangnya sumber daya, tapi kurangnya imajinasi.” – Arundhati Roy.
***
Sumber: Conversation with DeepSeek
Judul: Dari Negeri Gula yang Terlupakan: Kisah Jawa dan Mimpi Menyamai Maharashtra
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi