MajmusSunda News, Kolom OPINI, Jawa Barat, Kamis (03/04/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Bulog , ‘Demam’ ?” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Demam adalah kondisi tubuh yang ditandai dengan suhu tubuh yang lebih tinggi dari normal. Suhu tubuh normal biasanya berkisar antara 36,5°C hingga 37,5°C. Demam dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: nfeksi bakteri atau virus, peradangan, reaksi alergi dan kondisi medis tertentu, seperti malaria atau tuberkulosis. Lalu, apa yang dimaksud dengan persoalan Bulog “Demam” ?

Jika Perum Bulog “demam”, maka maksudnya adalah bahwa stok gabah di gudang Bulog diisi oleh kualitas gabah yang sangat rendah, sehingga menyebabkan kekhawatiran tentang kemampuan Bulog untuk memenuhi proses penyimpanan yang berkualitas. Dalam konteks ini, “demam” bukanlah berarti bahwa Bulog mengalami demam dalam arti medis, melainkan lebih kepada kondisi yang genting dan memerlukan perhatian segera untuk dicarikan jalan keluar terbaiknya.
Seirama dengan itu, dalam sebuah obrolan singkat diantara para pengamat pembangunan pangan yang digelar di salah satu Warung Kopi, muncul pernyataan apakah betul dalam waktu yang tidak lama lagi Perum Bulog akan ‘demam’ dikarenakan menyerap gabah petani tanpa menggunakan tabel rafaksi ?
Membebaskan petani untuk menjual gabah kering panen tanpa memperhatikan persyaratan kadar air dan kadar hampa tertentu, cenderung akan menimbulkan masalah di masa depan. Apalagi jika penerapan kebijakan ini tidak dibarengi dengan kesiapan petani dalam penerapannya.
Kebijakan mencabut persyaratan bagi petani dalam menjual gabah hasil panennya ini, tertuang dalam Keputusan Badan Pangab Nasuonal No. 14/2025. Dengan keputusan ini, untuk mendapatkan harga sebesar Rp. 6500,- per kg sebagai HPP Gabah, petani tidak perlu lagi memenuhi syarat kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %,
Namun berapa pun kadar air dan kadar hampa gabah petani, Perum Bulog berkewajiban untuk membelinya dengan harga HPP. Dengan kata lain, sebasah apapun gabah petani atau sering juga disebut ‘gabah basah’, Perum Bulog tetap harus menyerap dan membelinya. Pertanyaan kritisnya adalah mengapa Pemerintah seperti yang tergesa-gesa untuk menerapkannya, tanpa ada sosialisasi terlebih dahulu ?
Bukankah akan lebih afdol, jika jauh-jauh hari sebelumnya, Pemerintah telah menyampaikannya kepada petani, tentang akan diberlakukannya kebijakan baru terkait dengan keb8jakan satu harga gabah ini, sehingga para petani dapat menyiapkan diri dengan baik dalam menghadapi kebijakan yang cukup mengagetkan ini ?
Hal ini menarik untuk dicermati, karena kebijakan satu harga gabah (SHG) memiliki beberapa keuntungan bagi petani, antara lain:
Pertama terciptanya harga yang stabil. Dengan SHG, harga gabah menjadi lebih stabil dan tidak fluktuatif, sehingga petani dapat memprediksi pendapatan mereka dengan lebih baik. Kedua, pendapatan yang lebih tinggi. SHG dapat membantu meningkatkan pendapatan petani karena harga gabah yang lebih tinggi dan stabil.
Ketiga, mengurangi risiko. Dengan SHG, petani dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga gabah. Keempat, meningkatkan keseimbangan harga. SHG dapat membantu meningkatkan keseimbangan harga antara petani, pedagang, dan konsumen.
Kelima, mengurangi biaya produksi. Dengan SHG, petani dapat mengurangi biaya produksi karena tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk mengeringkan gabah atau membuang hampa. Keenam, meningkatkan kualitas gabah. SHG dapat membantu meningkatkan kualitas gabah karena petani dapat memfokuskan pada produksi gabah yang berkualitas tinggi.
Ketujuh, mengurangi ketidakpastian. Dengan SHG, petani dapat mengurangi ketidakpastian tentang harga gabah dan dapat memprediksi pendapatan mereka dengan lebih baik. Di sisi lain, para tengkulak tidak memiliki kesempatan untuk menurunkan harga, karena HPP Gabah telah ditetapkan oleh Pemerintah, yakni sebesar Rp. 6500,- per kilogram.
Namun begitu, perlu diingat bahwa kebijakan SHG juga memiliki beberapa kelemahan, seperti dapat membatasi kebebasan petani untuk menjual gabah mereka kepada siapa saja. Kemudian, dapat membatasi kemampuan petani untuk menentukan harga gabah mereka sendiri. Dan dapat memerlukan biaya administrasi yang lebih tinggi untuk mengelola kebijakan SHG.
Bagi Perum Bulog kebijakan menyerap gabah tanpa menggunakan tabel rafaksi, jelas akan melahirkan masalah tersendiri. Menerima gabah petani, tanpa persyaratan kadar air dan kadar hampa, cenderung akan melahirkan masalah dalam proses penyimpanan di gudang-gudang Bulog. Menyerap dengan persyaratan kadar air dan hampa pun sering muncul persoalan yang tak diinginkan.
Kebijakan pembebasan petani untuk menjual gabah hasil panennya tanpa persyaratan kadar air dan kadar hampa tertentu ditambah dengan kewajiban Perum Bulog untuk menyerapnya, jelas bakal membuat Operator Pangan sekelas Perum Bulog mengalami kesulitan dalam memproses penyimpanannya. Apalagi kalau gabah yang dihasilkan petani, masuk dalam kategori “gabah basah”.
Antisipasi terhadap kegagalan proses penyimpanan gabah/beras, yang secara semangat ingin dijadikan cadangan beras Pemerintah, perlu secermat mungkin untuk ditempuh. Pengalaman ditemukannya beras berkutu di gedung Bulog Jagjakarta memberi gambaran betapa pekanya masalah ini jika sudah sampai ke ranah publik. Terlebih yang menemukannya para Wakil Rakyat yang bertugas di DPR.
Untuk itu, agar Perum Bulog tidak menjadi “demam” karena kesusahan menyimpan gabah basah, maka perlu di lakukan lsnfkah-langkah :
Pertama, penting dilakukan proses pengeringan. Bulog melakukan pengeringan gabah basah untuk mengurangi kadar airnya. Pengeringan dapat dilakukan menggunakan mesin pengering atau dengan cara penjemuran.
Kedua, terkait dengan pembersihan. Bulog melakukan pembersihan gabah basah untuk menghilangkan kotoran, hampa, dan benda asing lainnya. Ketiga, penyimpanan. Bulog menyimpan gabah basah yang telah dikeringkan dan dibersihkan dalam gudang yang kering dan terlindung dari sinar matahari langsung.
Keempat, pengawasan. Bulog melakukan pengawasan secara teratur untuk memastikan bahwa gabah basah yang disimpan tidak mengalami kerusakan atau kehilangan kualitas. Dan kelima, penggunaan teknologi. Bulog menggunakan teknologi seperti sistem pengeringan dan penyimpanan yang modern untuk memastikan bahwa gabah basah yang disimpan tetap dalam kondisi yang baik.
Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, Bulog dapat memastikan bahwa gabah basah yang disimpan tetap dalam kondisi yang baik dan siap untuk diolah menjadi beras.
***
Judul: Bulog, ‘Demam’?
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi