MajmusSunda News, Rubrik Artikel/Opini, Sabtu (23/11/2024) β Tulisan berjudul βBelajar Sampai ke Negeri Cinaβ ini ditulis oleh Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc., Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia, Ketua Dewan Pakar Paguyuban Asep Dunia (PAD), dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Saya mendapat kesempatan tugas belajar ke Perancis tahun 1983-1985. Di tengah konsentrasi belajar bahasa Perancis Maret-Agustus 1983,Β saya menyaksikan sebuah revolusi diam-diam yang kelak mengubah wajah dunia.
Saya berkenalan dengan serombongan mahasiswa dari Tiongkok. Teman-teman Tionghoa ini hadir layaknya tentara dalam balutan seragam sipil. Pakaiannya seragam. Bila coklat, semua coklat. Bila biru semua biru. Bajunya khas, semua tangan panjang, baik laki maupun perempuan.

Begitu pula dengan model rambut mereka, semua sama. Laki-laki dicukur pendek bergaya tentara, yang perempuan semua buntut kuda. Bila berkaca mata, semua kaca matanya sama. Bentuk muka bagaimana pun kaca matanya cenderung bulat dari bahan tulang.
Ciri khas lain, mereka terlihat disiplin. Semuanya patuh kepada yang dianggap ketua angkatan. Di balik keseragaman itu, ternyata tersimpan sebuah strategi besar. Mereka bukan sekadar mahasiswaβmereka adalah pionir dari mimpi besar Tiongkok untuk menguasai ilmu pengetahuan dunia. Disiplin besi yang mereka tunjukkan bukanlah kebetulan, melainkan cerminan tekad baja sebuah bangsa yang bertekad bangkit.
Dibanding dengan para mahasiswa Indonesia, tentu berbeda. Model pakaian dan gaya rambut beda-beda. Soal disiplin, kita kalah. Mereka selalu cenderung berbaris. Kita, bebas! Saya mengistilahkan mereka βtentara intelektualβ.
Teman-teman Tionghoa ini adalah bagian dari jutaan βtentara intelektualβ gelombang awal yang dikirim Cina ke negara-negara maju untuk menuntut ilmu atas inisiatif Deng Xiaoping β sang visioner yang menggetarkan dunia dengan filosofinya yang pragmatis: “Tidak peduli kucing hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus.”

Hitam-putih jadi analogi untuk dua sistem ekonomi Cina: komunisme dan kapitalisme. Sistem mana yang termasuk kucing hitam atau putih, saya tidak tahu. Saat itu pemerintahnya mulai mem-blending komunisme dengan kapitalisme. Negaranya tetap komunis, ekonominya dikembangkan dengan sistem kapitalis. Bagi mereka yang penting bisa bikin maju Tiongkok.
Ketika saya mengambil sertifikat S1 di Universitas Orsay, saya ketemu lagi dengan beberapa orang Tionghoa yang sampat kursus Bahasa Perancis di Montpellier. Kini satu kampus dengan saya di Orsay, sebuah universitas yang kuat dalam pertanian, ilmu-ilmu biologi, dan ilmu-ilmu dasar kealaman. Mereka umumnya mengambil agronomi.
Mereka masih mengenal saya dan semakin dekat berhubung sering bertemu. Umumnya baik-baik dan masih pekerja keras. Teman Tionghoa saya itu tetap disiplin dengan ciri khas pakaian yang itu-itu saja.

Singkat cerita, tahun 1986 awal, saya pulang setelah selesai mendapatkan beberapa sertifikat S1. Lalu tahun 1990 saya sekolah lagi di Universitas Guelph, Ontario Kanada. Seorang Tionghoa menyapa saya dengan bilang bahwa saya orang Indonesia.
Tentu sayaΒ bertanya agak heran, βtahu dari mana?β Dia menjawab, βKita pernah sama-sama di Montpellier dan Orsay tahun 80-an.β
Saya masih bingung karena saat itu perasaan saya tidak ada orang Tionghoa yang rambutnya berombak, kaca mata necis, baju dan celana jeans. Gagah sekali. Dalam kebingungan saya, dia mengatakan sambil tertawa, βAku terlihat berbeda ya?β
Saya jadi ikut tertawa dan mulai ingat orang tersebut. Ini metamorfosis yang luar biasa. Lalu saya bertanya, βKamu sebagai apa di Guelph?β
Teman Tionghoa saya itu menjawab, βSebagai profesor di Departemen Ilmu Tanaman.β
Saya kagum dan bilang sambil sedikit tersenyum, βLuar biasa, saya mahasiswa magister,β kemudian dia memberi support dan menyarankan sebaiknya saya lanjut sampai S3.
Dekade 90 dan awal 2000 itu banyak mahasiswa dari Tiongkok yang belajar di negara Kanada, Amerika Serikat, dan negara-negara maju lainnya. Mereka mengambil S2 dan S3 di hampir semua jurusan yang ada di negara barat.
Di tempat saya belajar (Guelph, Kanada) umumnya mereka mempelajari ilmu-ilmu pertanian, termasuk peternakan, perikanan dengan ilmu-ilmu dasar di dalamnya. Sudah barang tentu saat itu di kampus-kampus besar mereka juga belajar untuk bidang-bidang sains dan teknologi berkaitan dengan informasi, komputer, elektro, mesin, dan ilmu-ilmu yang menjadi landasan industrialisasi dan modernisasi. Cikal bakal AI (artificial intelligence) saat ini.
Di Kanada, mereka sangat terkenal dengan keuletan, kerja keras, disiplin dan irit. Beasiswa CIDA (Canadian International Development Agency) yang biasanya untuk satu orang, mereka pergunakan untuk 2-3 orang. Dalam hal sifat-sifat ini, kita jauh di bawah mereka. Dalam hal bergerombol, kita mirip.
Pada saat itu mereka umumnya suami-istri dan punya anak yang lahir di tempat studi. Sudah barang tentu anak-anaknya mulai mendapatkan pendidikan barat sejak TK. Dengan model kegigihan dan kerja keras didikan orang tuanya, umumnya mereka merajai kelas apapun di semua jurusan.
Generasi yang lahir dekade 80, 90, dan 2000 itulah yang akhirnya mewarnai kisah sukses Negeri Tirai Bambu saat ini. Saya yakin kekuatan ini akan semakin menjadi-jadi dan sulit dibendung. Bahkan, mulai menguasai ekonomi dunia.
Selain penguasaan sains-teknologi, mereka merawat pola perilaku positif dan budaya hormat kepada orang tua, leluhur, dan orang yang lebih tua. Konon kabarnya, setiap wisuda SD sampai SMA, mereka wajib menunduk kepada orang tuanya.
Orang tua mereka terus mendoakan kemajuan putra-putrinya. Budaya mereka mendidik kesadaran bahwa kesuksesan anak adalah hasil didikan orang tua, selain bapak ibu guru di sekolah. Jadi, dalam kemajuan ekonomi berbasis sains, inovasi, dan kreativitas, budaya hormat kepada orang tua dan leluhur tidak luntur. Saat ini terasa sekali, mereka sangat menghormati senior.
Tiongkok Semakin Maju Pesat
Inisiatif Deng Xiao Ping sejak akhir dekade 70 itu kini sudah terlihat hasilnya. Tiongkok terus menggenjot semangat βkucing penakluk tikusβ tanpa lelah. Mereka perkuat ekonomi masyarakat dengan berbagai upaya. Produk-produk UMKM terus banjir ke mancanegara.
Mereka juga memanfaatkan semua komunitas dengan produk khas komunitas itu, di mana pun berada. Topi haji, sejadah, mainan anak-anak yang sering ditemukan di Mekah, didominasi oleh βMade in Chinaβ. Begitu juga produk pangan, elektronik, teknologi 5G, dan karya seni. Luar biasa. Orang Amerika yang dulu mencibir βMade in Chinaβ. Saat ini mereka salut, setidaknya jadi biasa memakai buatan Cina.
Hasil dari investasi besar-besaran dalam pendidikan ini kini terlihat nyata. Tiongkok telah bertransformasi dari “pabrik KW” dekade 2000 menjadi produsen teknologi kelas dunia. Sebutan KW nyaris tak terdengar lagi setelah pemerintah dan sektor swasta menekankan βhigh quality productβ.Β Kisah sukses UMKM Tiongkok yang melaju hingga akhirnya menguasai produk-produk berkelas dunia ini dicerminkan dalam Film βBulu Ayam Terbang-Terbang ke Langitβ.
Dalam hal teknologi tinggi untuk transportasi, sistem informasi, energi, digital, dan infrastruktur, Cina mulai sejajar dengan Jepang atau Korea sejak pertengahan dekade 2000. Bahkan, untuk beberapa hal, mereka sudah di atas rataan kedua negara itu.
Olimpiade Beijing 2008 adalah bukti pencapaian mereka. Tiga puluh tahun sejak awal generasi muda dikirim sekolah ke mancanegara. Ini juga bukti βroadmapβ yang benar-benar berjalan. Bukan sekedar dokumen. Tanpa harus berpanjang lebar, kita bisa saksikan produk teknologi Tiongkok saat ini. Sering kita terbengong.
Penetrasi Bahasa dan Kebudayaan
Pada pertengahan dekade 2000, pemerintah Cina membentuk lembaga bernama Confucius Institute (CI) atau Pusat Bahasa Mandarin (PBM) yang disebarkan ke seluruh dunia berkolaborasi dengan kampus negara tujuan.
Tahun 2010 melalui kerja sama G to G, Kementerian Pendidikan Indonesia membangun 6 PBM yakni di UAI (Jakarta), Maranatha (Bandung), UM (Malang), Unesa (Surabaya), Unhas (Makassar) dan Tanjungpura (Pontianak). Saat ini PBM bertambah lagi di Solo (UNS), Denpasar (Udayana), dan Singaraja (Institut Pendidikan Ganesha).
Sepertinya saat ini di dunia hampir tidak ada yang tidak punya PBM. Kampus-kampus besar di USA dan Eropa umumnya memiliki PBM. Negara-negara Afrika, semuanya memiliki PBM. Bahkan, di UTAH (USA), Hungaria, beberapa negara Afrika dan Asia, sudah banyak sekolah-sekolah dasar-menengah yang memasukan bahasa Mandarin dalam kurikulum mereka.
Saat ini PBM sudah mulai menyatukan bahasa Mandarin ke bidang keilmuan. Sudah ada program βChinese+TVET (Technical-Vocational Education and Training), PBM plus Keterampilan Profesional, selain untuk kebudayaan. Hal ini dilakukan untuk memahami arus perkembangan ekonomi yang sarat dengan muatan sains, teknologi, dan inovasi dari Tiongkok.
Dalam perjalanan transformasi globalnya, China telah menunjukkan kemajuan spektakuler di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Negeri yang pernah dianggap sebagai pusat produksi murah kini telah bermetamorfosis menjadi laboratorium inovasi global dengan kontribusi signifikan dalam publikasi ilmiah, terutama di ranah matematika, fisika, dan teknologi komputer.
Universitas ternama seperti Tsinghua dan Universitas Beijing kini menjadi mercusuar pendidikan internasional, menarik mahasiswa dari berbagai penjuru dunia, terutamaΒ kawasan Asia Tenggara, Afrika, dan Asia Tengah. Bidang teknik, teknologi informasi, kedokteran, dan bisnis internasional menjadi daya tarik utama para mahasiswa asing.
Meskipun masih terdapat tantangan, seperti perbedaan bahasa, budaya, dan kendala geopolitik, Cina terus mengukir prestasi dalam riset dan pengembangan. Investasi besar-besaran di bidang teknologi masa kini memposisikannya sebagai pemain kunci dalam inovasi global, khususnya di area 5G, kecerdasan buatan, robotika, dan eksplorasi antariksa.
Situasi saat ini, produk Cina terus mengalir deras ke negara kita. Suka tidak suka, kita memakai produk dan teknologinya. Persoalannya, bila kita tidak kuasai bahasa Mandarin, sulit kita mengimbangi serbuan produk teknologi dengan panduan bahasa Mandarin karena mereka pun tidak mau produk itu mubazirΒ β terlepas dan pro dan kontra β Β sulit kita menyalahkan bila mereka kirim sekaligus dengan SDM-nya. Apa kita mau terus-terusan tertinggal?
Bagi Indonesia, realitas ini memunculkan tantangan sekaligus peluang. Produk dan teknologi China kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem ekonomi dan teknologi kita. Konsekuensinya, penguasaan bahasa Mandarin bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kebutuhan strategis.
Langkah proaktif diperlukan, dimulai dari sistem pendidikan. Mengintegrasikan bahasa Mandarin ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah menjadi keniscayaan. Termasuk tulisannya yang harus dipelajari sejak dini.
Pemerintah bisa bekerja sama dengan universitas yang mempunyai Prodi Bahasa dan Kebudayaan Tiongkok untuk menyiapkan βaction planβ ini. Buku-buku ajar dan perangkat pembelajarannya, bisa dilakukan secara resmi G to G atau bekerja sama dengan lembaga resmi Tiongkok, seperti CLEC (Center for Language Education and Cooperation).
Hal tersebut bisa menjadi pintu masuk untuk mempersiapkan generasi yang mampu berkompetisi dalam lanskap global yang semakin dinamis. Pesan mendasarnya sederhana, kita perlu segera mengejar ketertinggalan. Kita perlu belajar tanpa batasβbahkan sampai ke negeri Cina sekalipun.
***
Judul: Belajar Sampai ke Negeri Cina
Penulis: Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc., Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia/Dosen IPB
Editor: Jumari Haryadi