Bamus Betawi: Dana Hibah dan Fase Kemunduran Kaum yang Ditinggalkan

Sebuah Kritik Tajam atas Ilusi Kesejahteraan dan Kongres-Kongres Hampa

Bamus Betawi

MajmusSunda News, Selasa, 14 Oktober 2025 – Siklus Kehancuran Sebuah Peradaban. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya mengajarkan bahwa peradaban memiliki siklus hidup: lahir, berkembang, mencapai puncak, lalu runtuh. Keruntuhan itu bukan datang tiba-tiba, melainkan melalui proses pembusukan internal (asabiyyah yang melemah), elit lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kemaslahatan kolektif.

Betawi, dalam siklusnya, sedang berada pada fase inhitat (kemunduran). Bukan karena tekanan eksternal semata, melainkan karena pengkhianatan internal. Dana hibah yang seharusnya menjadi darah segar bagi kebangkitan budaya dan ekonomi, justru menjadi ajang bancakan elit. Di mana asabiyyah (solidaritas sosial) Betawi? Ia telah tergantikan oleh semangat individualisme yang menyedihkan.

Data berbicara: APBD DKI Jakarta tahun 2023 mencapai Rp 86,9 Triliun. Jika masyarakat Betawi sebagai inti Jakarta berhak atas minimal 20% sebagaimana semestinya, maka anggaran yang seharusnya mengalir untuk pembangunan komunitas Betawi adalah sekitar Rp 17,38 Triliun. Kenyataannya, dana hibah untuk seluruh Ormas—termasuk Bamus Betawi—hanyalah picisan yang tak sampai 1% dari angka itu. Picisan inilah yang diperebutkan hingga berdarah-darah.

Ini bagian narasi yang aye tulis yang dengan sengaja menyindir secara langsung atas kemunafikan yang Terinstitusionalisasi yang mengatasnamakan kaum Betawi

“Agama baru yang paling cepat berkembang di Jakarta adalah agama ‘pengelolaan dana hibah’—sebuah keyakinan bahwa uang publik akan secara ajaib menguap menjadi uap mesiu untuk perang bintang para elit, sementara rakyatnya bernyanyi lagu ‘Kicir-Kicir’ dalam kelaparan.”

Wahai para penggembel yang telah menjadi raja kecil! Kalian telah menyempurnakan seni munafik: berteriak membela Betawi di mimbar, namun perut kalianlah yang paling kenyang oleh dana hibah. Kongres-kongres megah yang kalian selenggarakan—apa hasilnya selain foto-foto bersalaman dengan bingkai emas dan ide-ide semu yang menguap sebelum tinta notulen mengering?

Mana bukti kemaslahatan itu? Manfaat yang kosong itu terpampang nyata:

  • Mitra Ojol Anak Betawi yang harus membanting tulang 14 jam sehari, ditindas oleh algoritma aplikator yang tak kenal belas kasihan. Sementara para “pemimpin” mereka sibuk berdebat tentang pembagian dana hibah yang tak sampai seperseribu pendapatan perusahaan ojek online tersebut.
  • Pemuda Betawi yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit—mereka adalah penjaga malam, office boy, satpam—di atas tanah yang dahulu milik leluhur mereka, namun kini hanya menjadi tamu di negeri sendiri.
  • Gotong royong yang dulu menjadi jiwa Betawi, kini telah direduksi menjadi gotong-royong membagi kursi di kepanitiaan fiktif proyek-proyek hibah.

INI BUKAN SALAH SIAPA-SIAPA! INI SALAH ANDA YANG MEMBIARKAN MEREKA MENIPU ANDA!

Anda bertanya di mana pertanggungjawaban elit? Lihatlah cermin! Selama Anda masih bertepuk tangan untuk orasi basi tentang “kebesaran Betawi”, sambil mengunyah kerak telor nostalgia, selama itu pula mereka akan terus menjual masa depan Anda untuk secangkir kopi di hotel berbintang.

Kongres Betawi? Itu bukan kongres, itu pesta pora legitimasi! Sebuah ritual para elit saling mengukuhkan hak untuk memperebutkan sisa-sisa dana hibah, sambil menyanyikan kidung “penyelamatan budaya” yang mereka sendiri tak pahami esensinya.

Fakta Statistik Kemunduran:

  • Data BPS DKI 2022 menunjukkan, tingkat kemiskinan komunitas adat Betawi di pinggiran Jakarta masih 40% lebih tinggi dari rata-rata penduduk Jakarta.
  • Hanya 12% generasi muda Betawi yang menguasai asset properti di wilayah kelahirannya sendiri.
  • Eksistensi UKM Betawi kian tersingkir, dengan pertumbuhan di bawah 5% per tahun, sementara usaha non-Betawi tumbuh di atas 15%.

Angka-angka ini adalah pembunuh karakter yang sebenarnya—bukan kritik saya. Dan pembunuhnya adalah para elit yang sibuk berjabat tangan hampa, sambil membiarkan bangsanya tenggelam dalam kemiskinan struktural.

Kalau orang gembel dapat sedekah, biasanya dia akan berbagi dengan sesama gembel. Tapi lain cerita dengan “gembel berbaju demang” di Bamus Betawi. Mereka lebih pintar dari itu: sedekah yang diterima langsung dijadikan cologne agar wangi saat bersalaman di kongres.

Mereka berteriak, “Demi Betawi!” sambil mengantre dana hibah. Tapi ketika ditanya, “Mana program nyata untuk ojol Betawi?” Jawabnya, “Itu sedang kami kaji … sambil kongres dulu, silaturahmi penting!”

Konon, ada pertemuan penting untuk membahas “Strategi Penguatan Ekonomi Umat”. Hasilnya? Proposal dana hibah baru untuk “penyusunan grand strategy”—yang ujung-ujungnya lagi-lagi untuk membiayai kongres berikutnya.

Inilah lingkaran setan picisan:

  1. Terima dana hibah
  2. Selenggarakan kongres mewah
  3. Hasilkan rekomendasi kosong
  4. Ajukan dana hibah baru untuk merealisasikan rekomendasi kosong
  5. Kembali ke langkah 1

Maka, berhentilah menjadi penonton dalam penderitaan sendiri. Dana hibah yang picisan itu bukan solusi. Kongres-kongres hampa itu bukan jawaban.

Yang kita butuhkan adalah:

  1. Transparansi Total: Buka semua aliran dana hibah hingga ke recehannya.
  2. Akuntabilitas Nyata: Setiap rupiah harus dipertanggungjawabkan dengan bukti manfaat riil, bukan laporan fiktif.
  3. Pemberdayaan, Bagi-bagi Uang: Alihkan dana untuk pelatihan skill, akses modal UMKM, dan pendidikan beasiswa—bukan untuk seremonial.
  4. Stop Kongres Hampa: Ganti kongres dengan rapat kerja nyata di lapangan, bersama ojol, pedagang kecil, dan pemuda miskin Betawi.

Seperti kata Ibn Khaldun, peradaban hanya bangkit dengan asabiyyah yang kuat. Dan asabiyyah kita telah dikhianati oleh para elit yang sibuk memperebutkan bangkai.

Bangunlah, wahai kaum Betawi! Jangan biarkan budaya kita yang kaya dan jiwa kita yang merdeka, dikubur hidup-hidup oleh para penggali kubur berjas yang hanya pandai berjabat tangan dan berjanji!

Mari rebut kembali hak kita—bukan dengan berkelahi atas recehan, tetapi dengan menuntut apa yang menjadi hak kita dari APBD yang triliunan itu. Karena kita bukan gembel, kita adalah pemilik sah kota ini.

******

Judul: Bamus Betawi: Dana Hibah dan Fase Kemunduran Kaum yang Ditinggalkan*
Penulis: David Darmawan (Ketum Ormas Betawi bangkit)
Editor: A. Noor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *