MajmusSunda News, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (08/01/2025) β Kepala Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda UNPAD (PDP-BS UNPAD), Prof. Dr. Ir. H. Ganjar Kurnia, DEA, menyelenggarakan silaturahmi dengan sejumlah akademisi, sastrawan, seniman, budayawan, dan pejabat pemerintahan. Kegiatan berlangsung pada Rabu (08/01/2025), dimulai sekitar pukul 09.00 WIB dan selesai pada pukul 12.00 WIB bertempat di kantor PDP-BS UNPAD, Jln. Dipati Ukur No. 46, Kota Bandung.
Undangan yang hadir pada kesempatan itu adalah: Prof. Yus Rusyana, Abdullah Mustappa, Aam Amilia, Ida Rosida, Hj. Yooke Tjuparmah, Etti RS, Karno Kartadibrata, Tatang Sumarsono, Prof. Cece Sobarna, Undang Darsa, Abdul Hamid M. Sastra, Cecep Burdansyah, M.H., Teddi Muhtadin, Rachmat Taufik Hidayat, Hawe Setiawan, Prof. Jajang Arohmana, Prof. Nunuy Nurjanah, Prof. Chye Retty Isnendes, Dian Hendrayana, Hera Meganova, Dadan Sutisna, Riki Nawawi, dll. Hadir juga Ibu Febiyani dari Disparbd Jabar, yang mewakili unsur pemerintahan.
Dalam pengantarnya, Kepala PDP-BS UNPAD yang juga merupakan pinisepuh pada Majelis Musyawarah Sunda (MMS) menyebutkan bahwa pertemuan itu adalah ajang silaturahmi sekaligus merancang program PDP-BS setahun ke depan. Para akademisi, sastrawan, seniman, budayawan, dan unsur pemerintah, diharapkan dapat menyumbang saran dan memberi masukan atas program-program PDP-BS untuk tahun 2025.

Prof. Ganjar Kurnia juga menyatakan harapannya bahwa Pusat Digitalisasi Pengembangan Budaya Sunda akan dijadikan puseur budaya Sunda karena di Jawa Barat ditengarai tidak ada pusat budaya seperti halnya di Jawa atau di Bali. Menurutnya juga, bahwa universitas-universitas di Jawa Barat, justeru yang seharusnya menjadi pusat budaya Sunda; menjadi pusat yang presentatif agar budaya Sunda midang dan berkembang, baik dalam konsep maupun dalam aktivitasnya, dan UNPAD memulainya.
Prof. Yus Rusyana selaku akademisi dan sastrawan memberikan tanggapan perihal kesadaran kasundaan yang merupakan harga diri sebagai suku Sunda, sudah seharusnya dibangkitkan lagi. Kesadaran tersebut terutama pada wilayah toponimi, yang menurutnya labelling Sunda ini sudah sekian lama dimatikan dan dihilangkan. Bagaimana nama-nama manusia, perumahan-perumahan, nama lembur, jalan, toko-toko, dan lain sebagainya berubah asing dan berganti warna.


Menurut beliau, jangan malu atau takut mengaku suku Sunda karena kesukuan tersebut merupakan anugerah yang diberikan Allah Swt untuk makhluknya dan seyogyanya diwariskan pada generasi selanjutnya. Untuk itu para generasi muda janganlah malu akan identitas kesundaan atau yang lainnya, dan bangkitkan kesadaran budaya yang tersebar di Indonesia.
“Kita harus sadar pada kasundaan, suku Sunda, budaya Sunda karena kana atas kehendak Allah manusia dijadikan berbangsa-bangsa, bersuku-suku, warna kulit yang berbeda~beda supaya saling mengenal,” ungkap Prof. Yus.
Selanjutnya pengarang yang dianugrahi Hadiah Rancage pertama tahun 1991 untuk karyanya JajatenΒ Ninggang Papasten ini menyarankan digiatkan kerja sama dan bersinergi dalam menyebarkan informasi yang bermanfaat perihal kasundaan, misalnya dalam hal agama, menerjemahkan Al-Quran pada bahasa Sunda, anak-anak muda diikutsertakan dengan berlandaskan tradisi dan lahirkanlah karya-karya sastra, seni, dan budaya.
Pada kesempatan lainnya Prof. Jajang Arohmana dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati menyebutkan bahwa secara umum UIN belum mengusung tema budaya Sunda dan belum menjadikan lembaga pendidikan Islam itu sebagai pusat budaya Sunda. Akan tetapi, secara farsial telah ada kajian Islam-Sunda dan dokumen kesundaan yang berkaitan dengan Islam, atau jika akan menerjemahkan Al-Quran dalam bahasa Sunda kakiwarian yang bersifat kontemporer, UIN dapat membantu, walalupun tentu saja bergantung juga pada kebijakan pimpinan lembaga.
Ketua Paguyuban Sastra Sunda (PPSS) yang juga jurnalis, Cecep Burdansyah mengkritisi dengan keras kehidupan sastra Sunda kiwari. Menurut pengarang senior yang magister hukum ini, karya-karya sastra Sunda pada era sekarang terutama era medsos, kebanyakan bisa disebut sampah. Hal tersebut dikarenakan para pengarang itu tidak membaca buku dan tidak menyukai diskusi sastra sehingga secara bahasa dan isinya, jauh dari kualitas yang ideal dan diharapkan.
Selain itu, Cecep juga menyarankan tentang Rancangan Undang-undang Bahasa Sunda di Provinsi Jawa Barat agar diteruskan perjuangannya karena itu sangat signifikan untuk perlindungan kehidupan bahasa Sunda ke depannya. Saran Cecep ditanggapi Prof. Ganjar Kurnia bahwa RUU Bahasa Sunda akan dibawa dan dikomunikasikan pada Komisi X DPRD Jawa Barat.
Penanggap lain seperti Ambu Yooke Tjuparmah sebagai pembina dan Chye Retty Isnendes, akademisi yang juga Ketua Panglawungan Sastra Sunda PATREM atau disingkat PSS-PATREM, secara kompak mensosialisasikan program PASASA atau PATREM SABA SAKOLA yang telah berjalan selama tiga tahun lebih. Menurut mereka, PATREM dengan swadaya tanpa bantuan pemerintah telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dengan karya sastra yang diciptakan para sastrawati Sunda yang tergabung dalam panglawungan tersebut. PASASA adalah cara lain membawa karya sastra Sunda agar diakrabi, disukai, dibuat terkesan para pelajar SD, SMP, atau SMA sehingga tergugah untuk menulis sastra dalam bahasa Sunda.

Selain itu disinggung kerja sama penerbitan buku karya para pangarang PATREM hasil dari pasanggiri. Kepala PDP-BS memperlihatkan simpati dan perhatiannya secara langsung menyambut program tersebut. Beliau pun merekomendasi bantuan operasional kendaraan apabila PATREM membutuhkan untuk kegiatan PASASA.
Selain yang dijelaskan di atas, penanggap lain seperti Prof. Cece Sobarna, Prof. Nunuy Nurjanah,Tatang Sumarsono, Aam Amilia, Abdullah Mustappa, Ida Rosida, Etti RS, dll memberikan sumbang saran atau usul terkait pendidikan, kerja sama, kursus basa Sunda, sasaran kursus ibu-ibu muda Sunda, diskusi sastra, seni Sunda, dan OPK Pemajuan Kebudayaan.
Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda UNPAD selama ini telah berkontribusi terhadap pemeliharaan dan pengembangan budaya Sunda dengan menggulirkan sejumlah program-programnya. Contohnya saja mengisi Hari Bahasa Ibu Internasional pada 21 Februari dengan pasanggiri tarucing cakra yang tersistem, terstruktur, dan masif mampu menjaring ratusan ribu peserta dalam kegiatannya yang diselenggarakan secara digital. Program lain yaitu menggelar seni Sunda di Bale Rumawat sebanyak 103 kali dan akan terus berlangsung, Keurseus Budaya Sunda, Bedah Karya, meluncurkan aplikasi Sundadigi, membuat Kamus Kasehatan Basa Sunda, dan lain-lain.
***
Judul: Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia, DEA: Universitas di Jawa Barat Seharusnya Jadi Puseur Budaya Sunda
Kontributor: Chye Retty Isnendes
Editor: Jumari Haryadi