Pasal 33 UUD 1945 dalam Perspektif Mohamad Yamin

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Mohamad Yamin
Mohamad Yamin - (Sumber: Pinterest.com)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (11/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Pasal 33 UUD 1945 dalam Perspektif Mohamad Yamin” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Pada artikel ini izin saya menyampaikan Perspektif Pasal 33 UUD ‘45 dari Mr. Mohamad Yamin. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita. Salam koperasi.

Berikut analisis perspektif Muhammad Yamin (1903–1962) terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang mencerminkan visinya tentang kedaulatan ekonomi dan integrasi nilai kebangsaan:

Profil Singkat Muhammad Yamin

Muhammad Yamin adalah tokoh nasionalis, sastrawan, dan ahli hukum yang aktif dalam perumusan UUD 1945 sebagai anggota BPUPKI dan PPKI. Ia dikenal sebagai pencetus ide “Persatuan Indonesia Raya” dan perumus konsep negara kesatuan.

Peran  dalam UUD 1945, Yamin termasuk dalam Panitia Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta dan berkontribusi pada pembentukan struktur dasar negara.

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S. – (Sumber: MajmusSUnda.id)

Perspektif Yamin tentang Pasal 33 UUD 1945

  1. Ekonomi sebagai Pilar Kedaulatan Nasional

Yamin melihat Pasal 33 sebagai alat untuk mewujudkan kemandirian ekonomi pasca-kolonial. Dalam sidang BPUPKI (1945), ia menegaskan:

– “Kekayaan alam Indonesia harus menjadi milik bangsa sendiri, bukan dijarah asing seperti di masa kolonial.”

– Ia mendukung penguasaan negara atas cabang produksi penting (Ayat 2) dan SDA (Ayat 3) untuk mencegah kembalinya dominasi asing.

– Baginya, ekonomi Indonesia harus dibangun di atas identitas kebangsaan, bukan meniru sistem Barat atau Timur.

  1. Integrasi Nilai Historis dan Budaya

Sebagai ahli sejarah dan budaya, Yamin menekankan bahwa Pasal 33 harus mencerminkan semangat gotong royong dan kebijakan ekonomi berbasis kearifan lokal.

– Frasa “usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” (Ayat 1) dianggapnya selaras dengan tradisi “musyawarah” dan “kolektivitas” masyarakat adat Indonesia.

– Ia menolak individualisme kapitalis yang dianggap bertentangan dengan budaya Indonesia.

  1. Penekanan pada Hukum dan Konstitusi

Yamin, sebagai ahli hukum, ingin Pasal 33 menjadi landasan konstitusional yang jelas untuk kebijakan ekonomi.

– Ia mengusulkan agar frasa “dikuasai negara” (Ayat 2 dan 3) diperjelas dalam undang-undang turunan agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan elit.

– Dalam sidang BPUPKI, ia mengingatkan pentingnya mekanisme pengawasan terhadap pengelolaan SDA untuk mencegah korupsi.

  1. Anti-Kolonialisme dan Anti-Feodalisme

Yamin menolak warisan ekonomi kolonial yang feodalistik. Ia mendukung:

– Reforma agraria untuk membebaskan petani dari belenggu tuan tanah.

– Nasionalisasi aset asing sebagai bentuk dekolonisasi ekonomi.

Kontribusi dalam Perdebatan BPUPKI/PPKI

  1. Usulan Konsep Negara Kesatuan:

Yamin adalah tokoh kunci yang memperjuangkan bentuk negara kesatuan (bukan federal), yang memengaruhi pendekatan sentralistik Pasal 33 dalam pengelolaan ekonomi.

  1. Penyatuan Kepentingan Nasional dan Daerah:

– Ia menegaskan bahwa penguasaan SDA oleh negara harus memperhatikan keseimbangan antara pusat dan daerah, meskipun gagasan ini kurang terakomodasi dalam UUD 1945.

  1. Perdebatan dengan Hatta dan Soepomo:

– Hatta lebih menekankan koperasi dan desentralisasi, sementara Yamin fokus pada peran negara sebagai penjaga kedaulatan ekonomi.

– Soepomo (dengan konsep integralistik) sepakat dengan Yamin tentang sentralisasi, tetapi Yamin lebih menekankan aspek legal-formal.

Implementasi dan Kritik

– Era Sukarno:

Yamin mendukung nasionalisasi perusahaan asing (1957–1959) sebagai implementasi Pasal 33 Ayat 2 dan 3, meski kritik muncul karena sentralisasi berlebihan.

– Era Orde Baru:

Kebijakan ekonomi Soeharto yang mengandalkan BUMN dan eksploitasi SDA dianggap menyimpang dari semangat Yamin, karena marak korupsi dan minim partisipasi rakyat.

Perbedaan dengan Tokoh Lain

– Vs. Hatta:

Hatta mengedepankan koperasi sebagai tulang punggung ekonomi, sementara Yamin lebih menekankan peran negara dalam mengontrol sektor strategis.

– Vs. Soekarno:

Soekarno menggunakan Pasal 33 untuk retorika revolusioner, sedangkan Yamin ingin pasal ini diimplementasikan melalui kerangka hukum yang jelas.

Relevansi Pemikiran Yamin di Masa Kini

  1. Penguatan Regulasi SDA:

Kritik Yamin tentang pentingnya undang-undang turunan Pasal 33 relevan dengan isu UU Minerba yang dinilai merugikan kedaulatan ekonomi.

  1. Anti-Oligarki:

Penolakannya terhadap feodalisme ekonomi selaras dengan gerakan anti-oligarki yang marak saat ini.

  1. Ekonomi Berbasis Kearifan Lokal:

Gagasannya tentang integrasi budaya dalam ekonomi menginspirasi pengembangan ekonomi kreatif dan UMKM berbasis lokal.

Kritik terhadap Perspektif Yamin 

– Sentralisasi Berlebihan:

Penekanannya pada peran negara berpotensi meminggirkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan ekonomi.

– Minimnya Desain Institusi:

Yamin tidak merinci mekanisme konkret untuk memastikan transparansi pengelolaan SDA, sehingga rentan disalahgunakan.

Kesimpulan 

Bagi Muhammad Yamin, Pasal 33 UUD 1945 adalah manifestasi dari kemandirian ekonomi berbasis kedaulatan nasional dan nilai kebudayaan Indonesia. Ia menekankan peran negara sebagai pelindung rakyat dari eksploitasi asing, tetapi juga menginginkan kerangka hukum yang jelas untuk mengawal implementasinya. Warisan pemikirannya mengingatkan pentingnya menjaga semangat anti-kolonial dalam pengelolaan ekonomi, sambil menghindari sentralisme yang otoriter.

***

Sumber: Conversation with DeepSeek

Judul: Pasal 33 UUD 1945 dalam Perspektif Mohamad Yamin
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *