Panen di Saat Hujan: Petani Menanti Sinar Matahari

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Ilustrasi: Panen Padi - (Sumber: Chatgpt Creator AI)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Selasa (11/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Panen di Saat Hujan: Petani Menanti Sinar Matahari” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Nasib dan kehidupan petani padi di Tanah Merdeka rupanya masih sulit terbebas dari rasa waswas. Setelah menemukan solusi atas masalah harga gabah yang selalu anjlok saat panen raya, kini petani padi kembali dihadapkan pada persoalan panen di musim hujan. Mereka risau, bila saat panen tiba, ternyata sinar matahari enggan untuk muncul di tengah kehidupan petani.

Inilah salah satu permasalahan serius yang harus dijawab oleh petani jika ingin menghasilkan gabah kering panen yang berkualitas. Walaupun produksi padi meningkat signifikan, jika panen bertepatan dengan musim hujan, para petani akan mengalami kekecewaan yang cukup besar. Hasrat untuk menghasilkan gabah berkualitas, ternyata masih sulit untuk dibuktikan.

Panen padi di musim hujan menyebabkan kesulitan bagi petani dalam memperoleh gabah dengan kadar air yang baik. Keinginan untuk menghasilkan gabah dengan kadar air 25%, misalnya, sulit dicapai karena kurangnya sinar matahari. Di sisi lain, sebagian besar petani tidak memiliki alat pengering gabah, sehingga mereka terpaksa menerima hasil panen dalam kondisi basah.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Dalam kondisi seperti ini, pemerintah perlu melahirkan kebijakan yang dapat membantu petani, salah satunya dengan menyediakan fasilitas dengan alat pengering gabah yang mudah dioperasikan. Alat ini akan sangat berguna ketika sinar matahari tak kunjung muncul karena tengah berlangsung musim hujan.

Meskipun pemerintah telah melonggarkan persyaratan kadar air dan kadar hampa dalam penyerapan gabah dari petani, mereka tetap menginginkan hasil panen yang berkualitas. Petani tidak ingin menghasilkan gabah yang dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Bayangkan saja jika petani hanya menghasilkan gabah seadanya, proses penyimpanan oleh pemerintah pun akan semakin sulit.

Panen raya padi kali ini betul-betul merupakan ujian cukup berat bagi pembangunan pangan ke depan. Dimulai dengan adanya semangat pencapaian swasembada pangan sampai ke penegasan Pemerintah akan menghentikan impor beras Hal ini jelas merupakan pekerjaan yang tidak gampang untuk digarap. Banyak tantangan dan kendala yang perlu dicarikan jalan keluarnya.

Salah satu tantangan terbesar adalah ancaman iklim ekstrem yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Kita masih ingat fenomena El Niño tiga tahun lalu yang membuat bangsa ini kelimpungan akibat dampaknya yang tidak terduga. Darurat beras pun tidak dapat dihindari, dan pemerintah harus berjuang keras untuk mengatasinya.

Pertanyaan kritisnya adalah: apakah panen raya padi kali ini akan terbebas dari sergapan iklim ekstrem dan cuaca buruk? Jawabannya tentu harus diantisipasi sejak dini. Jangan lagi kita hanya bertindak sebagai “pemadam kebakaran” yang baru bergerak setelah masalah muncul. Akan jauh lebih keren jika kita menerapkan sistem deteksi dini.

Pemerintah tampaknya telah berupaya keras ntuk menggenjot produksi beras guna mencapai swasembada. Berbagai langkah telah ditempuh. Mulai dari penerapan benih unggul, perbaikan irigasi, tata kelola serta kuota pupuk bersubsidi yang lebih efektif dan efisien, hingga revitalisasi penyuluhan pertanian telah dilakukan cukup inten.

Sayangnya, sekalipun semangat menggenjot produksi telah menggema sejak tahun 2023 lalu, ternyata produksi beras secara nasional tahun 2024 jauh di bawah target yang diharapkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras nasional tahun lalu hanya sebesar 30,41 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi beras nasional tahun 2023.

Dua tahun lalu itu, produksi beras nasional mencapai 31,10 juta ton. Artinya, sejak pemerintah menyatakan perlunya meningkatkan produksi dan produktivitas beras, yang terjadi bukannya hasil yang menggembirakan. Yang terjadi malah produksi beras secara nasional menurun sekitar 700 ribu ton. Dari sini banyak pihak mempersoalkan, mengapa hal semacam ini harus terjadi?

Lalu, bagaimana dengan produksi beras secara nasional untuk tahun ini? Apakah produksi beras tahun 2025 akan lebih tinggi ketimbang tahun 2024? Apakah prediksi BPS yang menyebut Indonesia bakal surplus beras 5 juta ton itu akan menjadi kenyataan? Atau tidak, di mana angka-angka statistik itu baru merupakan sebuah proyeksi yang butuh pembuktian di lapangan?

Prediksi BPS ini tentu sudah mempertimbangkan kemungkinan terburuk, jika dalam perjalanannya muncul hal-hal yang tidak diinginkan. Sebut saja ada sergapan La Niña yang datang secara tiba-tiba. Jika La Niña hadir sebagai tamu yang tak diundang, apakah kita sudah siap menyambutnya dengan penuh kesiapsiagaan? Atau belum, mengingat hal itu tidak dijadikan fokus pembahasan?

Kemudian, bagaimana bila panen raya kali ini diiringi dengan tingginya curah hujan, sehingga petani cukup kesulitan untuk mendapatkan gabah kering panen yang berkualitas? Artinya, sekalipun petani diberi kebebasan kadar air dan kadar hampa dalam menjual gabah kering panennya, petani tetap memiliki tanggung jawab agar gabah yang dijualnya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Atas gambaran demikian, tentu kita berharap agar panen raya kali ini dapat berjalan normal, dan iklim betul-betul berpihak kepada sektor pertanian. Setidaknya, sinar matahari tetap muncul untuk menyinari gabah para petani.

***

Judul: Panen di Saat Hujan: Petani Menanti Sinar Matahari
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Mega Korupsi Pertamina
Advertorial

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *