Negara Tunaide

oleh: Prof. Yudi Latif

MajmusSunda News, Minggu (20/04/2025) Artikel berjudul “Negara Tunaide” ini ditulis oleh: Prof. Yudi Latif, pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat dan Anggota Dewan Pinisepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Saudaraku, negeri ini tak kekurangan panggung, tapi sepi inspirasi. Mikrofon diperebutkan, kursi diperebutkan, bahkan diam pun kadang diperebutkan—sejauh bisa dibaca sebagai manuver. Tapi siapa yang berebut gagasan?

Di ruang-ruang konferensi pers, meja bundar digantikan meja taruhan. Siapa kawan hari ini, bisa jadi lawan besok. Bukan karena perbedaan prinsip, tapi karena hitung-hitungan angka. Mereka bicara panjang, tapi bukan tentang pendidikan yang memberdayakan atau ekonomi yang memanusiakan. Mereka bicara tentang elektabilitas, framing media, dan strategi menggoreng lawan.

Di layar kaca dan linimasa, politik telah menjelma menjadi kompetisi popularitas, bukan pertarungan nilai. Debat kehilangan daya gigit, sebab tak ada ide yang sungguh diperjuangkan—hanya posisi yang ingin diamankan. Bahkan ketika mereka bicara soal “visi,” yang terdengar hanya kalimat yang telah dilatih berulang di ruang konsultan, bukan suara hati yang lahir dari pergulatan pemikiran.

Dan publik, dibuat larut. Setiap peristiwa disulap jadi episode reality show. Hari ini soal pelukan politik. Besok soal sandal siapa yang tertinggal di istana. Lusa, tentang siapa yang unfollow siapa di media sosial. Negara berjalan bak panggung infotainment—guncang oleh hal remeh, tapi tetap ditonton, karena kita mulai lupa rasanya membicarakan ide.

Sementara itu, nama-nama dijadikan umpan. Satu tokoh dihujat, satu lagi dielu-elukan, lalu digeser, ditukar, dibuang. Dan semua merasa sedang berpikir, padahal hanya sibuk memilih siapa yang harus disukai dan siapa yang harus dimusuhi.

Layar makin terang, tapi isi kepala makin redup. Kita begitu sibuk menonton, sampai lupa bertanya: apa yang sedang kita bangun? Negeri dengan ingatan pendek, tapi angan kerakusan panjang. Panggung besar, tapi naskah kosong.

Begitulah kita kehilangan arah—karena kapal tanpa peta, hanya berputar-putar di lautan skandal. Dan saat kita bertanya ke mana arah bangsa, yang terdengar hanya saling tuding, bukan haluan penuntun.

Seketika teringat tilikan tajam Socrates sang filsuf: “Mental (jiwa) kuat mendiskusikan ide,  mental semenjana mendiskusikan peristiwa,  mental lemah mendiskusikan orang lain.”

***

Judul: Kurikulum Cinta
Penulis: Prof. Yudi Latif
Editor: Jumari Haryadi

Sekilas tentang penulis

Prof. Yudi Latif adalah seorang intelektual terkemuka dan ahli dalam bidang ilmu sosial dan politik di Indonesia. Pria yang lahir Sukabumi, Jawa Barat pada 26 Agustus 1964 ini tumbuh sebagai pemikir kritis dengan ketertarikan mendalam pada sejarah, kebudayaan, dan filsafat, khususnya yang terkait dengan Indonesia.

Pendidikan tinggi yang ditempuh Yudi Latif, baik di dalam maupun luar negeri, mengasah pemikirannya sehingga mampu memahami dinamika masyarakat dan politik Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya itu, karya-karyanya telah banyak mengupas tentang pentingnya memahami identitas bangsa dan menguatkan nilai-nilai kebhinekaan.

Sebagai seorang akademisi, Yudi Latif aktif menulis berbagai buku dan artikel yang berfokus pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam di Indonesia. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku “Negara Paripurna” yang mengulas konsep dan gagasan mengenai Pancasila sebagai landasan ideologi dan panduan hidup bangsa Indonesia.

Melalui bukunya tersebut, Yudi Latif menekankan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu yang dapat menjembatani perbedaan dan memperkokoh keberagaman bangsa. Gagasan-gagasan Yudi dikenal memperkaya wacana publik serta memperkuat diskusi mengenai kebangsaan dan pluralisme dalam konteks Indonesia modern.

Di luar akademisi, Yudi Latif juga aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Indonesia. Melalui perannya ini, ia berusaha membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Komitmennya dalam mengedepankan nilai-nilai kebangsaan membuatnya dihormati sebagai salah satu tokoh pemikir yang berupaya menjaga warisan ideologi Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *