MajmusSunda News , Sabtu (18/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Bulog Mestinya Berperan: Memberi Beras atau Pangan?” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja , Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Pengembangan program diversifikasi pangan atau seringkali disebut program penganekaragaman pangan, dipastikan akan susah diwujudkan, selama Pemerintah masih senang melakukan kebijakan yang sifatnya “tojai’ah”. Kita maIlustrasi: sih ingat adanya Program Beras untuk masyarakat miskin atau lebih populer dengan sebutan RASKIN. Lalu, program ini berganti RASTRA. Ke dua program ini, semangatnya sama, hanya istilahnya yang berbeda.
Saat itu, Presiden Joko Widodo berpandangan istilah “beras untuk masyarakat miskin” dinilai kurang humanis, maka perlu dirubah menjadi “beras untuk masyarakat sejahtera”. Istilah RASKIN tidak pantas di dengar, tapi istilah RASTRA lebih memberi penghormatan kepada mereka sebagai penerima manfaat program tersebut. Padahal, semangat ke dua istilah diatas, ya sama-sama saja.

Tidak hanya itu yang kita alami dalam menerapkan kebijakan Pemerintah yang sifatnya tojai’ah. Di tahun-tahun terakhir jabatannya, Presiden Jokowi, juga mengucurkan Program Bantuan Langsung Beras, kepada sekitar 22 juta rumah tangga penerima manfaat sebesar 10 kg pet bulan, yang dilaksanakan selama 12 bulan. Program semacam ini, tentu saja telah disambut gembira oleh para penerima manfaat.
Yang sering ditanyakan banyak pihak, mengapa Pemerintah hanya menetapkan satu komoditas bahan pangan saja, yajni beras yang dijadikan subyek bahan pangannya. Bukankah akan lebih keren jika yang bakal diberikan kepada penerima manfaat adalah PANGAN. Sesuai dengan ketentuan Undang Undang No.18/2012 tentang Pangan, dijelaskan, pangan bukan hanya beras.
Artinya, jika digunakan akronim PANGKIN atau PANGSTRA, maka yang akan diterima manfaat, bisa saja jagung, sagu, kedele, hanjeli, singkong, talas, dan lain sejenisnya lagi. Hal yang sama, berlaku pula untuk Program Bantuan Langsung Pangan itu sendiri. Mereka yang kebiasaannya mengkonsumsi beras ya diberi beras. Mereka yang biasa makan sagu ya dibersi sagu. Mereka yang biasa makan jagung ya diberi jagung.
Bila hal ini dapat digarap dengan baik, mestinya tidak perlu terjadi kebijakan yang sifatnya tojai’ah. Bahkan kebijakan yang digelindingkan tersebut akan saling mendukung. Pemberian bahan pangan karbohidrat yang beragam, malah akan membantu program percepatan diversifikasi pangan. Catatan kritisnya, mengapa Pemerintah lebih tertarik untuk menetapkan satu jenis komiditas bahan pangan, yaitu beras ?
Jujur diakui, selama ini program diversifikasi pangan, terkesan kurang diprioritaskan penggarapannya. Masyarakat menilai program meragamkan pola makan masyarakat, hanyalah sekedar menggugurkan kewajiban dan tidak dikemas secara sistemik. Seorang sahabat, sering menyebut diversifikasi pangan adalah program yang asal ada. Bahkan Peraturan Presiden nya pun baru dilahirkan tahun 2024.
Peraturan Presiden No.81/2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal yang diteken 15 Agustus 2024, menjelaskan lambatnya Pemerintah membuat aturan soal diversifikasi pangan. Regulasi seperti ini, srbetulnya telah terbit sekitar 15 tahun lalu yakni Peraturan Presiden No.22/2009. Ironisnya, Perpres 22/2009 ini terekam belum ampuh mendukung percepatan program penganekaragaman pangan.
Apakah hal seperti ini bakalan menimpa Perpres 81/2024 ? Mestinya tidak ? Untuk itu, agar program diversifikasi pangan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka strategi pendekatan yang dipakai, jangan lagi menggunakan pola keproyekan, tapi sebaiknya digunakan pola gerakan yang melibatkan banyak pemangku kepentingan. Gerakan jelas akan berkelanjutan ketimbang pola keproyekan.
Adanya Badan Pangan Nasional yang lahir berdasarkan Peraturan Presiden No.66/2021, mestinya program diversifikasi pangan dapat digarap secara berkelanjutan. Badan Pangan Nasional sebagai lembaga yang menangani urusan pangan tingkat nasional, memiliki fungsi untuk merumuskan dan menerapkan program penganekaragaman pangan dengan semangat Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA).
Sayang dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki, Badan Pangan Nasional belum mampu berkiprah optimal. Dengan anggaran yang terbatas, Badan Pangan Nasional baru sampai pada acara Festival atau Rakor, tanpa ditindak-lanjuti dengan langkah nyata di lapangan. Badan Pangan Nasional yang dimintakan tampil sebagai “prime mover” pembangunan pangan, juga belum dapat dijalankan secara maksimal.
Akibatnya wajar, jika program dan kegiatan Badan Pangan Nasional, lebih menjurus ke hal-hal yang bersifat seremonial dan belum mampu mengembangkannya ke arah yang berkelanjutan. Badan Pangan Nasional sendiri, sepertinya lebih banyak menggelar sosialisasi diatas kertas, melalui Rapat Koordinasi atau Rapat Kerja, ketimbang langsung bertemu masyarakat di Daerah.
Tak kalah penting untuk disampaikan, Badan Pangan Nasional, perlu menyetop sementara kebijakan atau program pembangunan pangan, yang cenderung berbau tojai’ah dengan kebijakan diversifikasi pangan itu sendiri. Potensi pangan lokal penting dikembangkan, agar ketergantungan masyarakat terhadap nasi dapat ditekan sedemikian rupa, sehingga pola makan masyarakat yang beragam dapat diterapkan di lapangan.
Kehadiran Badan Pangan Nasional dalam peta bumi Pembangunan Pangan, terekam betul-betul sangat strategis, terutama untuk mempercepat kebijakan diversifikasi pangan, disampung juga dapat membebaskan ketergantungan masyarakat terhadap nasi. Itu sebabnya, bila terdengar ada program bantuan langsung kepada masyarakat, hendaknya yang diangkat jadi komoditasnya adalah PANGAN, bukan hanya BERAS.
Akhirnya, bila nanti ada spirit untuk merancang seperti Program RASKIN atau Program Bantuan Langsung Beras kepada para penerima manfaat, tidak elok lagi kalau hanya bicara soal beras saja. Kini saat yang tepat untuk mengkampanyekan kata Pangan dalam kehidupan berbangsa, bernegaea dan bermasyarakat. Diversifikasi Pangan, yang harus diberikan kepada rakyat, bukannya Beras, namun Pangan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT)
***
Judul: Bulog Mestinya Berperan: Memberi Beras atau Pangan?
Penulis : Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi