MajmusSunda News , Senin (03/02/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Bulog & Dilema “Gabah Basah”” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).
Dilema adalah situasi di mana seseorang atau suatu organisasi dihadapkan pada dua atau lebih pilihan yang saling bertentangan, sehingga sulit untuk memilih salah satu pilihan yang tepat. Dari suasana ini, banyak orang menyebut dilema ibarat buah simalakama. Kata dilema berasal dari bahasa Yunani Kuno dílēmma yang berarti “proposisi ganda”.
Dilema dapat terjadi dalam berbagai konteks kehidupan, seperti pertama dalam kaitannya dengan etika. Dilema etika terjadi ketika seseorang Ilustrasidihadapkan pada dua pilihan yang saling bertentangan dari segi moral atau etika. Kejadian ini sering terjadi manakala berlangsung konflik kepentingan antara dunia idealisme dengan dunia realisme.
Kedua berhubungan dengan keputusan. Dilema keputusan terjadi ketika seseorang dihadapkan pada dua atau lebih pilihan yang saling bertentangan, sehingga sulit untuk memilih salah satu pilihan yang tepat. Ketiga bertalian dengan kehidupan. Dilema kehidupan terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang sulit dan harus membuat keputusan yang tepat untuk mengatasi situasi tersebut.

Dilema dapat menyebabkan stres, kebingungan, dan kesulitan dalam membuat keputusan. Namun, dengan mempertimbangkan nilai-nilai, prioritas, dan konsekuensi dari setiap pilihan, seseorang dapat membuat keputusan yang tepat dan mengatasi dilema tersebut. Menjawab sebuah dilema sangat membutuhkan “kejembaran manah” (ketulusan nurani).
Dalam kaitannya dengan panen raya padi, terkadang pihak-pihak yang ditugaskan Pemerintah untuk menyerap gabah petani, sering dihadapkan pada pilihan sulit untuk mengambil keputusan yang menyenangkan semua pihak. Sebut saja soal kebijakan Pemerintah yang meminta Perum Bulog untuk menyerap gabah petani sebanyak-banyaknya dengan tidak merugikan petani.
Penugasan Pemerintah yang meminta Perum Bulog menyerap gabah petani dengan “mengesampingkan” kadar air dan kadar hampa gabah yang dipanen petani, tentu saja melahirkan “pe-er” tersendiri bagi Perum Bulog. Terlebih, bila panen berlangsung bersamaan dengan musim penghujan. Petani akan kesulitan mengeringkan gabah yang dipanen, di lain pihak, Perum Bulog harus siap menerima “gabah basah” yang dihasilkan petani.
Pengalaman menggambarkan fenomena gabah basah, sebetulnya telah berlangsung sejak lama. Gabah basah yang dicirikan dengan tingginya kadar air (jauh diatas 25 %), cenderung akan menimbulkan masalah pada saat Perum Bulog melakuksn penyimpanan. Salah-salah Perum Bulog menyimpan gabah, jangan salahkan bunda mengandung, bila kualitas beras yang dihasilkan, tidak akan seperti yang diharapkan.
Saat Program Raskin dan Rastra berjalan, sering kita dengar dari para penerima manfaat yang mengeluhkan adanya “beras batik” atau beras yang berwarna kekuning-kuningan. Salah satu penyebabnya, karena pada waktu pengadaan, Perum Bulog kurang apik menyerap gabah petani. Kita berharap, pengalaman pahit seperti ini, tidak terjadi lagi dalam proses penyerapan gabah sekarang ini.
Terus terang, sekalipun Pemerintah hanya menetapkan “satu harga” pembelisn gabah dari petani, yakni Rl. 6500,- per kg, bukan berarti para petani dapat sesuka hati dalam menghasilkan gabah kering panennya, tapi ada kewajiban Pemerintah untuk terus menyuluh petani tentang bagaimana menghasilkan gabah berkualitas. Ini yang paling penting diingatkan kepada para petani di lapangan.
Kerja keras para Penyuluh Pertanian, jelas sangat dibutuhkan. Penyuluh Pertanian, bukan hanya mengajarkan petani untuk menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada, namun juga perlu dibarengi dengan pembekalan materi, terkait dengan penanganan paska panen. Dalam hal ini, jelas dibutuhkan ada sinergitas dan kolaborasi dengan para pemsngku kepentingan sektor perberasan.
Perum Bulog sebagai operator pangan yang diarahkan regulator pangan untuk menyerap gabah dan beras petani, bahkan ada yang menyebut selaku “offtaker” plat merah, tidak boleh tifak, tetap harus tampil menjadi “prime mover” yang membawa pedang samurai dalam proses penyerapan gabah dan beras di lapangan.
Untuk itu, menjadi sangat tepat, bila dalam struktur kelembagaan Perum Bulog diangkat Divisi khusus yang melaksanskan pengadaan di lapangan. Lebih akuntabel kalau ditambah seorang Direktur Pengadaan dari Dewan Direksi yang ada sekarang. Sosok inilah ysng diminta untuk dapat menjalankan tanggungjawab menyerap gabah petani sebanyak-banyaknya.
Akhirnya, kembali ke judul tulisan diatas, dilema gabah basah merupakan soal tersendiri ysng butuh penanganan dengan serius. Pilihan Perum Bulog untuk menyerap gabah petani dengan kualitas seadanya atau menyerap gabah yang tidak menimbulkan masalah dalan proses penyimpanannya nanti, tentu saja membutuhkan pertimbangan khusus dalam melahirkan kebijakan yang akan ditetapkan.
Terobosan lain yang bisa ditempuh adalah sampai sejauh mana PERPADI mampu membangun “suasana kebatinan” yang lebih hangat dengan para petani. PERPADI diharapkan mampu tampil sebagai fasilitator dan mediator dalam membantu petani untuk menghasilkan gabah kering panen yang berkadar air rendah. Kehadiran alat pengering gabah yang sederhana, menjadi salah satu solusi mengurangi terjadinya gabah basah.
Kita percaya, Perum Bulog sudah memiliki jurus ampuh untuk menjawabnya. Setidaknya, Perum Bulog telah memiliki jalan keluar dengan tetap mengedepankan pendekatan teknokratik, aspiratif/partisipatif, top down-bottom up dan politis. Mari kita ikuti dan kawal perjalanannya. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).
***
Judul: Bulog & Dilema “Gabah Basah”
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi