MajmusSunda News – Rubrik BUDAYA/SASTRA, Rabu (27/11/2024) – Artikel berjudul “Ajip Rosidi Sang Penjaga Api Rancage” ini adalah sebuah esai karya Didin Kamayana Tulus yang merupakan seorang penulis, penggiat buku, dan kini tinggal di Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat.
Ada satu bayangan yang tiba-tiba muncul ketika saya memikirkan Ajip Rosidi—sosok yang layak disandingkan dengan penjaga api dalam mitologi atau kisah purba. Pada zaman dahulu, ketika manusia masih hidup di dalam gua-gua, mungkin ada seorang yang tugasnya adalah menjaga api agar tidak padam. Ia tidak pernah meninggalkan gua, meskipun yang lain pergi mencari makan atau melakukan kegiatan lain di luar.
Setiap saat, penjaga api itu terus-menerus memasukkan ranting ke dalam api, memastikan nyala itu terus hidup. Api itu tidak hanya penting untuk menghangatkan gua atau memasak makanan, tapi juga untuk melindungi dari kegelapan, dari binatang buas yang bisa datang kapan saja.
Sang penjaga api, tahu betul bahwa jika api padam, bencana akan datang. Begitulah saya membayangkan Ajip Rosidi—sang penjaga api Rancagé yang dengan teguh terus menyalakan api budaya di tengah badai perubahan zaman.

Ajip Rosidi lahir di Jatiwangi, Majalengka pada 1938. Masa kecilnya, Ajip sudah terbiasa dengan kesusastraan Sunda dan seiring berjalannya waktu, ia menjadikan hal itu sebagai pusat kehidupannya.
Pada usia yang sangat muda, Ajip sudah mulai menulis puisi dan prosa. Bakatnya sebagai penulis kian terasah dan mulai dikenal luas di kalangan sastrawan Indonesia. Namun, Ajip tidak hanya dikenal sebagai seorang sastrawan, melainkan juga sebagai pelestari dan penjaga kebudayaan Sunda. Di sinilah kita bisa mulai memahami bagaimana ia menjadi “penjaga api” yang menjaga agar tradisi dan sastra Sunda tidak mati, meski banyak orang mulai mengabaikannya.
Dalam tradisi Sunda, kata “rancagé” memiliki arti “pandai, bijaksana, dan giat”. Kata ini kemudian dijadikan nama untuk penghargaan Sastra Sunda, yaitu “Hadiah Sastra Rancagé” yang digagas oleh Ajip pada 1989. Hadiah ini menjadi salah satu bentuk dedikasi Ajip yang tak ternilai dalam memelihara api tradisi sastra Sunda.
Ketika bahasa dan sastra daerah mulai tersisihkan oleh arus globalisasi, Ajip memilih untuk tidak mengikuti arus, melainkan bertahan, tetap tinggal di dalam “gua”, seperti penjaga api, dan terus merawatnya. Ia memberikan “ranting-ranting” berupa dukungan dan penghargaan kepada penulis-penulis Sunda agar nyala api itu tetap ada.
Apa yang membuat Ajip Rosidi begitu istimewa adalah keengganannya untuk meninggalkan akarnya, meskipun dunia di sekelilingnya terus berubah. Saat banyak penulis atau seniman yang mungkin tergoda untuk mengejar popularitas di kancah yang lebih luas, Ajip tetap setia pada bahasa ibunya dan budaya Sunda.
Dalam esai-esainya, Ajip kerap kali menulis dengan nada yang penuh keprihatinan terhadap nasib bahasa dan sastra daerah. Ia sadar bahwa jika tidak ada yang menjaga dan merawatnya, bahasa Sunda dan tradisi kesusastraannya bisa saja hilang di tengah gelombang besar modernitas.
Namun, Ajip tidak hanya sekadar mengkritik. Ia bertindak. Selain mendirikan “Hadiah Sastra Rancagé”, Ajip juga menulis banyak karya yang menggunakan bahasa Sunda dan memperkaya tradisi sastra daerah ini.

Salah satu karya penting Ajip adalah buku berjudul “Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan (1995)” yang merupakan refleksi mendalam tentang posisi bahasa dan sastra dalam dinamika kekuasaan dan perubahan sosial. Lewat karya ini, Ajip menunjukkan bahwa sastra tidak hanya sekadar estetika, tetapi juga sebuah medan perjuangan untuk mempertahankan identitas dan martabat budaya.
Sebagai penjaga api Rancagé, Ajip juga mengakui bahwa tugasnya tidaklah mudah. Zaman terus berubah, dan seringkali perubahan itu datang dengan badai yang mengancam api kecil yang ia jaga.
Ajip tidak menutup mata terhadap tantangan ini. Sebaliknya, ia terus berinovasi. Salah satu inovasi yang ia lakukan adalah memperluas cakupan Hadiah Sastra Rancagé menjadi tidak hanya untuk karya sastra Sunda, tapi juga karya sastra dari bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, seperti Bali, Jawa, dan Lampung. Ini adalah bentuk lain dari komitmen Ajip untuk terus menjaga api kebudayaan lokal di tengah gempuran kebudayaan global.
Peran Ajip sebagai penjaga api bukanlah pekerjaan soliter. Ia juga mengajak orang lain untuk ikut menjaga nyala api ini. Dalam berbagai kesempatan, Ajip selalu mengingatkan pentingnya keberlanjutan tradisi sastra daerah.
Ajip menyadari bahwa satu orang tidak akan pernah cukup untuk menjaga nyala itu tetap hidup. Oleh karena itu, ia senantiasa mendorong generasi muda untuk terus menulis dalam bahasa daerah dan menghargai budaya lokal mereka.
Sastrawan Sunda ini percaya bahwa generasi muda adalah penerus yang akan membawa obor itu ke masa depan dan ia dengan sabar membimbing mereka, memberikan teladan melalui karyanya dan melalui Hadiah Sastra Rancagé.
Kini, Ajip Rosidi telah tiada. Ia meninggal dunia pada 2020 silam. Namun, api yang ia jaga tidak padam. Hadiah Sastra Rancagé terus berjalan dan pengaruh Ajip dalam dunia sastra dan kebudayaan Sunda tetap hidup.
Di tengah badai perubahan yang terus mengamuk, warisan Ajip Rosidi adalah nyala api kecil yang tetap memberikan kehangatan dan cahaya bagi mereka yang peduli pada kebudayaan lokal. Ajip telah melakukan tugasnya sebagai penjaga api dengan sangat baik, dan kini tugas itu beralih kepada kita semua.
Kita, seperti Ajip, harus memastikan bahwa api itu tidak pernah padam. Kita harus terus memberikan ranting-ranting berupa karya, penghargaan, dan perhatian kepada tradisi yang kita miliki. Seperti yang Ajip Rosidi telah ajarkan kepada kita, jika kita membiarkan api itu padam maka kita juga akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga: identitas, kebijaksanaan, dan sejarah kita sendiri.
***
Judul: Ajip Rosidi Sang Penjaga Api Rancage
Penulis: Didin Kamayana Tulus
Editor: JHK