Uang yang Bernyawa: Dari Lesung hingga Tenun Ikat

Artikel ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.

Suku Dayak
Ilustrasi: Suku Dayak - (Sumber: Wikipedia)

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Minggu (23/03/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Uang yang Bernyawa: Dari Lesung hingga Tenun Ikat” ini ditulis oleh: Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., Anggota Dewan Pini Sepuh/Karamaan/Gunung Pananggeuhan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS) dan Rektor IKOPIN University Bandung.

Dalam Imajinasi tulisan ini kita mencoba memahami mengapa Credit Union (CU) berkembang di masyarakat Dayak? Ia berkembang karena adat dan falsafah Dayak tidak melihat uang itu sebagai tujuan, tetapi sekedar alat untuk menjawab bahwa hampir segala hal memerlukan uang, tetapi uang bukanlah segalanya.

Karena itu spirit kebersamaan, solidaritas, dan kekeluargaan tidak dikorbankan demi uang, tetapi sebaliknya. Di sini, CU bukan sekadar koperasi—ia adalah senjata melawan ketimpangan, membangun masa depan bersama, dibangun dari keringat dan harapan orang kecil.

***

Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S.
Prof. Dr. Ir. H. Agus Pakpahan, M.S., penulis – (Sumber: Koleksi pribadi)

Di CU, uang bukan sekadar angka. Ia adalah lesung buatan Albert yang menghidupi 20 pemuda desa. Ia adalah kain tenun ikat Koperasi Wanita Dayak Saloma di Landak, yang dipajang di galeri Paris. Ia juga adalah aplikasi CUPK Mobile buatan Karolin Margret Natasha, putri Cornelis yang memungkinkan nenek-nenek di pedalaman Kapuas Hulu membayar pinjaman lewat gawai butut.

“Dulu, kami harus menyiapkan emas jika ingin pinjam uang ke rentenir. Sekarang, CU datang ke rumah, ajari kami cara menabung,” cerita Maria, anggota CU berusia 67 tahun dari Sintang.

Pertarungan di Dua Medan: Rentenir dan Mentalitas

Tantangan terbesar CU bukanlah angka kredit macet (NPL 2%), melainkan pertarungan melawan dua musuh tak kasat mata:

1. Rentenir Berbaju Modern: Pinjol ilegal dengan bunga 30% per bulan menjerat generasi muda.

2. Mentalitas Instan: “Banyak anggota baru marah ketika ditolak pinjaman untuk beli motor. Kami harus jelaskan: CU bukan mesin ATM, tapi teman yang ingin kamu sejahtera,” kata Hertanto, Manajer CU Pancur Kasih.

Cornelis kerap berdebat di parlemen, “Mereka bilang CU liar. Tapi di desa, CU-lah yang membangun jalan saat pemerintah lalai.”

Air Mata yang Menjadi Hujan

Kisah pilu pernah terjadi. Tahun 2023, CU kecil di Sekadau kolaps karena manajemennya korup.

“Itu tamparan keras. Kami kini terapkan sistem open book: setiap rupiah bisa dilacak anggota via aplikasi,” ungkap Karolin.

Namun, dari reruntuhan itu, lahir kisah haru. Di Desa Tanjung Maju, kelompok ibu-ibu yang kehilangan simpanan justru berkumpul, menggelar arisan darurat dengan panduan CU.

“Kami tak mau ulangi kesalahan. Uang ini darah kami,” kata Yohana, Ketua Kelompok.

Nilai Tambah yang Tak Terukur

Di balik angka Rp15 triliun aset, ada nilai tak ternilai yang diciptakan CU:

  • Sekolah Daring untuk Petani: Kerjasama dengan Universitas Tanjungpura melatih anggota CU mengelola usaha via Zoom.
  • Bank Data Adat: CU Keling Kumang mendokumentasikan 100 motif tenun Dayak yang nyaris punah, mengubahnya menjadi sumber royalti bagi pengrajin.
  • Dana Pendidikan Anak Anggota: Setiap 1% keuntungan CU dialokasikan untuk beasiswa.

“Hasil CU bukan untuk bagi dividen, tapi untuk bagi harapan,” tegas Cornelis.

Senja di Pontianak: Merajut Mimpi Papua

Suatu senja di kediaman Cornelis, Hertanto menyodorkan peta Papua.

“Di sana, masyarakat masih minum air sungai yang sama dengan yang dipakai tambang emas. Mereka butuh CU lebih dari kita dulu,” kata Hertanto.

Cornelis mengangguk, matanya menerawang ke foto ayahnya di dinding, “Ayah dulu bilang: Uang akan habis, tapi nilai kemanusiaan akan tumbuh seperti rotan.”

Di luar, hujan rintik-rintik membasahi bumi Kalbar. Di sebuah gubuk di Serogi, Albert Rufinus mengajari anaknya mengukir kayu.

“Ini untuk cucumu kelak,” bisik Albert.

Credit Union (CU) di Kalbar bukan tentang uang. Ia tentang petani yang kini bisa meminjam tanpa menjual marwah, tentang motif tenun yang menyambung generasi, tentang hujan yang turun di musim kemarau. Di sini, di tanah yang terkoyak tambang, CU membuktikan: nilai kemanusiaan tak pernah bisa dikonversi ke dalam rupiah.

Keuangan bukan deretan angka, tapi cerita tentang kita.

Masalah kita bukanlah kurangnya sumber daya, tapi kurangnya imajinasi” – Arundhati Roy

Imagination is more important than knowledge” –  Albert Einstein

Terima kasih kepada Bapak Masri Sareb Putra, M.A. untuk sharing informasinya dalam penulisan tentang CU di Kalimantan Barat ini.

***

Sumber: Conversation with DeepSeek

Judul: Uang yang Bernyawa: Dari Lesung hingga Tenun Ikat
Penulis: Agus Pakpahan
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *