Nini Anteh: Imajinasi Perjalanan Ruang Angkasa

Nini Anteh

MajmusSunda News – Arjasari, Kamis (16/10/2025) – Nini Anteh lebih dulu hadir dalam imajinasi masa kecil kita, jauh sebelum buku, surat kabar, atau film memperkenalkan nama Neil Armstrong — manusia pertama yang menjejakkan kaki di bulan. Setiap kali menengadah ke langit malam, terutama saat purnama bersinar terang, kita seolah melihat layar perak yang memantulkan bayangan seorang perempuan tua. Ia dikenal sebagai Nini Anteh: sosok dalam cerita rakyat Sunda yang dipercaya tinggal di Bulan, menenun benang sambil ditemani seekor kucing kesayangannya.

Bagi sebagian orang, kisah ini mungkin terdengar seperti dongeng biasa. Namun bagi masyarakat Sunda, cerita tentang Nini Anteh bukan sekadar dongeng sebelum tidur. Ia adalah jendela budaya — cermin kerinduan, kebaikan, dan keberanian untuk melampaui batas dunia nyata. Di balik siluet perempuan tua di Bulan, tersimpan imajinasi yang dalam tentang manusia dan semesta.

Cerita Nini Anteh membawa kita menjelajah ruang angkasa yang bukan milik sains, melainkan milik batin. Dari tanah Priangan yang subur, ia berangkat menuju Bulan dengan bekal kain tenunan, doa, dan kucing setia di sisi. Legenda ini lahir dari tradisi tutur masyarakat Sunda, diwariskan turun-temurun, lalu berkembang dalam berbagai bentuk: dari kisah lisan hingga novel dan teater modern. Ia menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini — antara bumi dan langit, antara manusia dan imajinasi.

Salah satu catatan tertua tentang kisah Nini Anteh berasal dari etnograf Belanda Cornelis Marinus Pleyte dalam bukunya De Inlandsche Nijverheid West-Java: Sociaal-Ethnologisch Verschijnsel (1912). Di situ, Pleyte mencatat versi lisan cerita rakyat Sunda tentang seorang perempuan yang hidup di Bulan. Puluhan tahun kemudian, versi modern muncul dalam novel Dongeng Nini Anteh karya A.S. Kesuma (1993), di mana tokoh Nini digambarkan sebagai penenun yang terasing karena tak mampu memenuhi peran tradisional — termasuk memiliki keturunan. Ia akhirnya “ditempatkan” di Bulan, terpisah dari komunitasnya, namun tetap menjaga ketekunan dan kasih dalam kesunyian.

Kisah ini terus hidup dalam berbagai medium. Dalam teater, misalnya, naskah Anteh karya Kang Nunu Azhar yang dipentaskan dalam Festival Drama Basa Sunda (FDBS), menafsir ulang kehidupan Nini Anteh dengan nuansa romantis dan magis. Di sana, Bulan menjadi panggung kesunyian, namun juga ruang kebebasan.

Makna simbolik cerita ini begitu kaya. Nini Anteh mewakili kerinduan dan kehilangan — rindu kepada ibu, kepada rumah, kepada masa yang tak bisa dijangkau kembali. Bulan menjadi ruang simbolik di mana kenangan dan doa bertemu. Ia juga melambangkan kemandirian perempuan, sosok yang bekerja, menenun, dan hidup dengan caranya sendiri. Dalam keterasingan, ia justru menemukan jati diri dan keteguhan.

Kucing pendampingnya, Candramawat, bukan hanya hewan peliharaan, melainkan simbol kesetiaan dan kasih tanpa syarat. Dalam kesunyian Bulan, hanya cinta yang tetap berbicara. Ia juga menggambarkan hubungan antara manusia dan kosmos: bahwa alam semesta bukan sekadar latar, tetapi bagian dari kehidupan yang saling menyapa. Manusia Sunda sejak lama percaya, segala yang hidup — termasuk rembulan dan bintang — memiliki jiwa dan makna.

Melalui cerita ini, kita melihat bagaimana imajinasi menjadi kekuatan budaya. Nini Anteh adalah simbol keberanian bermimpi, bahkan ketika dunia nyata menolak. Ia pergi ke Bulan bukan dengan roket, melainkan dengan tenunan kasih, kesabaran, dan keyakinan. Dalam setiap adaptasinya — dari dongeng, novel, komik, hingga teater — kisahnya menegaskan bahwa legenda tidak harus besar untuk menjadi berarti.

Cerita Nini Anteh bukan sekadar nostalgia masa kecil, tapi pengingat bahwa setiap generasi punya caranya sendiri menatap langit. Ia mengajarkan bahwa batas bukan tentang lokasi, melainkan tentang keberanian untuk membayangkan. Dalam sinar purnama yang lembut, Nini Anteh menenun kisah abadi — tentang cinta, kesetiaan, dan martabat yang tak lekang oleh waktu.

Judul: Nini Anteh: Imajinasi Perjalanan Ruang Angkasa
Penulis: Parkah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *