Merisaukan Swasembada Beras

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

MajmusSunda News, Kolom OPINI, Rabu (20/02/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Merisakuan Swasembada Beras” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Swasembada beras adalah suatu kondisi di mana suatu negara atau daerah dapat memenuhi kebutuhan berasnya sendiri tanpa bergantung pada impor dari negara lain. Artinya, produksi beras dalam negeri dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri. Bagi bangsa kita, swasembada beras bukanlah hal yang baru. 41 tahun lalu pun, kita sudah meraihnya.

Proklamasi Swasembada Beras tahun 1984 yang kita capai, bukan tergolong ke dalam swasembada beras yang berkelanjutan, tapi sifatnya “on trend”. Itu sebabnya, beberapa tahun kemudian kita harus menanggalkan atribut swasembada beras, karena untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, terpaksa harus impor beras dengan jumlah yang cukup besar.

Gambar Beras
Gambar Beras (Sumber: Image Generator ChatGPT)

Cukup lama Indonesia menjadi importir beras lagi. Namun, pada tahun 2022, kembali Tanah Merdeka mampu meraih swasembada beras kembali yang ditsndai dengan diterimanya Piagam Penghargaan dari Lembaga Riset Padi berkelas dunia. International Rice Reaserch Institute (IRRI) dengan persetujuan Badan Pangan Dunia (FAO), menyatakan Indonesoa kembali berhak menyandang atribut swasembada beras.

Sayang, beberapa tahun kemudian, lagi-lagi Indonesia harus menanggalkan atribut swasembada beras, mengingat tahun 2024 lalu, Indonesia kembali nelakukan impor beras diatas 4 juta ton. Menurut kriteria Badan Pangan Dunia, sebuah negeri disebut swasembada beras, jika impor beras yang dilakukannya, tidak melewati angka 10 % dari produksi yang dihasilkannya.

Data Badan Pusat Statistik mencatat produksi beras nasional kita tahun 2024 sebesar 30,41 juta ton. Kalau impor beras yang kita lakukan diatas 4 juta ton, maka angkanya melebihi 10 %. Artinya, secara otomatis, atribut swasembada beras menjadi gugur dengan sendirinya. Sedikit ironis, dalam suasana yang bermasalah dengan sisi produksi beras dalam negeri, Pemerintah malah mengumumkan, Indonesia akan menyetop impor beras di tahun 2025.

Presiden Prabowo bersama Kabinet Merah Putihnya, telah bertekad agar falam 3 tahun Pemerintahannya, Indonesia sudah harus mampu meraih swasembada pangan. Sebagai salah satu pintu masuknya adalah pencapaian swasembada beras dahulu. Persoalan nya, apakah dalam suasana “darurat beras” dan anjloknya produksi beras tahun lalu, masih memberi peluang untuk mencapai swasembada beras ?

Sebagai bangsa pejuang Presiden Prabowo sering menggunakan kata optimis dalam mengejar sesuatu yang ditargetkan. Begitu pun dengan swasembada beras ini. Sekalipun jalan terjal menuju swasembada beras menghadang dihadapan kita, namun.jangan sekalipun kita bersikap cengeng atau menunjukkan sikap menyerah terhadap keadaan. Kita harus tetap berjuang untuk mencapainya.

Pemerintah sendiri, kini tampak berikhtiar penuh untuk melahirkan regulasi dan kebijakan yang bersifat “terobosan cerdas”. Dalam semangat mewujudkan swasembada pangan yang mensejahterakan petaninya, menjelang tibanya panen raya padi kali ini, Pemerintah telah meluncurkan kebijakan “satu harga” gabah. Hal ini ditempuh agar petani memperoleh kepastian harga dalam menjual gabah kering panennya.

Selain menghilangkan rasa was-was para petani akan kepastian harga jual gabah saat panen, kebijakan satu harga gabah ini, dapat menutup peluang oknum-oknum yang doyan menekan dan memainkan harga jual gabah di petani. Dipatoknya harga Rp.6500,- gabah kering panen per kg, ditambah ada intruksi supaya Perum.Bulog, Pengusaha Penggilingan Padi dan Offtaker lain agar membeli gabah petani sekurang-kurangnya Rp. 6500 -, tentu membuat oknum-oknum bakal berpikir dua kali, bila akan menjatuhkan harga gabah di petani.

Taruhannya berat. Sebab, Pemerintah telah menugaskan petugas Kepolisian untuk melakukan pengawalan dan pengamanan terhadap penerapan harga gabah sebesar Rp. 6500,- ini. Untuk itu, jika ditemukan ada offtaker yang membeli gabah petani lebih murah dari ketentuan yang ada, maka Aparat Kepolisian, tidak akan ragu-ragu untuk menangkap den menjebloskannya ke dalam jeruji besi.

Satu hal yang sulit diprediksi adalah terjadinya iklim ekstrim dan cuaca buruk. Apa yang terjadi sekitar 2 tahun lalu, tidak ada seorang pun petinggi di negeri yang mengira bakal kedatangan El Nino. Kedatangannya begitu mendadak, sehingga Pemerintah tampak kewalahan menfhadapinya. El Nino betul-betul merupakan “mimpi buruk” bagi dunia pertanian.
Menurut bacaan Pemerintah, El Nino dianggap sebagai biang kerok terjadinya “darurat beras”. Setidaknya, ada tiga masalah serius yang disebabkan oleh sergapan El Nino. Pertama, produksi beras secara nasional menurun cukup signifikan, sehingga Badan Pusat Statistik mencatat produksi beras nasional tahun 2024 melorot dengan angka hanya 30,41 juta ton.

Kedua, harga beras di pasar melejit cukup tinggi, membuat emak-emak banyak yang protes keras. Hal ini wajar, karena di beberapa daerah, kenaikan harga beras, dinilai cukup ugal-ugalan, bahkan harga pasarnya, jauh melebihi angka Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemerintah. Anehnya, Pemerintah terekam seperti yang tidak berdaya untuk mencarikan jalan keluar terbaiknya.

Ketiga, adanya fakta impor beras yang dilakukan tahun 2024, tercatat cukup fantastis, diatas 4 juta ton beras. Membengkaknya jumlah impor beras, tentu saja membuat banyak pihak yang meragukan pencapaian target swasembada beras saat ini. Sebab, jika kita gunakan kriteria Badan Pangan Dunia (FAO), maka sebuah bangsa bisa disebut swasembada beras, sekiranya jumlah impor berasnya tidak melebihi anfka 10 % dari produksi total negaranya.

Impor beras diatas 4 juta ton, sedangkan produksi beras nasional hanya sekitar 30 juta ton, otomatis angka impornya diatas 10 %. Ini berarti, predikat swasembada beras yang kita sandang, praktis akan gugur dengan sendirinya. Indonesia sekarang, tidak berhak lagi memposisikan diri sebagai bangsa yang berswasembada beras. Artinya, tidak salah kalau saat ini, ada yang meragukan swasembada beras.

***

Judul: Merisaukuan Swasembada Beras
Penulis: Ir. Entang Sastraatmadja
Editor: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *