Menjaga Marwah Pendidikan di Tengah Krisis Nilai dan Perilaku Sosial

marwah pendidikan

MajmusSunda News, Jumat, 17 Oktober 2025 – Di era globalisasi, masyarakat cenderung memaksakan nilai-nilai seperti keterbukaan, demokratisasi, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia—namun sering kali tanpa didasari oleh norma sosial dan budaya luhur bangsa. Akibatnya, terjadi degradasi moral yang tercermin dalam ungkapan adat: “Tunggul dirarud, catang dirumpak”—tiang dipatahkan, tiang penyangga dihancurkan. Altruisme, yang seharusnya menjadi ciri khas masyarakat, kini tergantikan oleh sikap individualistik dan keinginan untuk menang sendiri, sebagaimana terlihat dalam berbagai kasus aktual.

Perilaku menyimpang kini mewabah di masyarakat dan mulai merambah dunia pendidikan. Gejala tersebut antara lain berupa sikap antisosial, tidak beretika, serta berbagai pola kepribadian tidak sehat seperti pasif-agresif (negativistik), menghindar (avoidance), ketergantungan berlebihan (dependent), skizoid, skizotipal, narsistik, sadistik, melankolis, histrionik, paranoid, obsesif-kompulsif, bahkan gangguan kepribadian ambang (borderline).

Inti permasalahan ini terletak pada lemahnya keteladanan dari pihak-pihak yang seharusnya menjadi panutan: orang tua, pejabat, pemimpin, guru, dan pendidik. Mereka perlu lebih memahami ciri khas masa transisi yang sedang kita alami, serta dampak luas dari wabah perilaku menyimpang ini terhadap generasi muda.

Meskipun pihak-pihak yang terlibat dalam konflik telah berdamai dan saling memaafkan, luka yang ditimbulkan tidaklah ringan. Beberapa persoalan konkret yang muncul antara lain:

  1. Kepala Sekolah (KS) diberhentikan tanpa proses pemeriksaan yang adil, meskipun keputusan tersebut kemudian dibatalkan. Padahal, PGRI memiliki bidang Hukum dan Advokasi yang seharusnya dilibatkan.
  2. Orang tua bersikap arogan, bahkan mengkriminalisasi sekolah atau kepala sekolah tanpa upaya pendekatan yang bijak—yakni melalui prinsip Asah (mengasah potensi), Asih (memberi kasih sayang), dan Asuh (merawat dan membimbing).
  3. Komite Sekolah gagal menjalankan perannya sebagai representasi orang tua dan masyarakat dalam mendukung ekosistem pendidikan.

Solusi utamanya adalah menghidupkan kembali Wawasan Wiyata Mandala—sebuah konsep yang menekankan sinergi antara pemerintah, kepala sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat dalam menjaga marwah dunia pendidikan. Jika wawasan ini dipahami dan diterapkan secara utuh, kehormatan dunia pendidikan akan tetap terjaga.

Untuk itu, diperlukan pendekatan komprehensif dalam membangun karakter dan mental peserta didik serta seluruh pemangku kepentingan pendidikan:

1. Information Processing
Lakukan evaluasi terhadap kepribadian (personality) dan konstruk personal sebagai dasar pembentukan model mental siswa, pendidik, orang tua, dan komite sekolah.

2. Cognitive Processing
Otak manusia berfungsi secara logis sebagai dasar disiplin dalam:
a. Menghargai waktu,
b. Menetapkan target,
c. Menentukan prioritas,
d. Mematuhi aturan pendidikan, lingkungan, dan masyarakat,
e. Menjaga mutu hasil pendidikan (learning outcomes).

3. Model Pembelajaran Berbasis Neurosains
Guru, konselor (BK/BP), dan pendidik harus memahami prinsip neuroscience untuk merancang model pembelajaran yang selaras dengan plastisitas otak dan mekanisme komunikasi antarsel saraf—baik dalam membentuk perilaku normal maupun menangani gangguan.

4. Peran Guru dan Konselor sebagai Mentor
Mereka wajib mampu membangun attitude (sikap) positif, khususnya growth mindset—yaitu pola pikir yang mendorong murid untuk terus belajar, mengembangkan pengetahuan, dan memperkuat proses kognitif mereka.

Oleh karena itu, kepala sekolah, guru, tenaga BK/BP, dan komite sekolah perlu mempelajari Akurasi Prosedur Demokratis (Prosdem), yang mencakup:
– Analisis Situasi (berbasis pengetahuan),
– Analisis Persoalan (berbasis sikap),
– Analisis Keputusan (berbasis penalaran),
– Analisis Potensi Masalah (berbasis perilaku).

Pemahaman ini juga harus dimiliki oleh pejabat birokrasi dan dinas pendidikan, agar dunia pendidikan—yang seharusnya menjadi taman peradaban—tidak ternoda oleh perilaku jahiliyah modern yang jauh dari nilai kemanusiaan dan kearifan lokal.

*****

 

Judul: Menjaga Marwah Pendidikan di Tengah Krisis Nilai dan Perilaku Sosial

Penulis:

Editor: A. Noor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *