MajmusSunda News, Senin (30/12/2024) – Artikel berjudul “Konsumsi Beras dan Masalah yang Ditimbulkannya” ini ditulis oleh: Kang Eep S. Maqdir, Tukang Dongeng Pertanian, Divisi Pelatihan & Penyuluhan DPD HKTI Jawa Barat
Apakah Anda pernah mendengar ungkapan “belum makan kalau belum makan nasi”? Ungkapan ini menggambarkan kegandrungan masyarakat Indonesia terhadap nasi. Hal ini bukan gurauan karena Indonesia masuk lima besar negara yang paling banyak mengonsumsi nasi. Oleh karena itu, beras menjadi komoditas penting dalam perekonomian Indonesia.
Meski begitu, awalnya nasi bukanlah satu-satunya makanan pokok sebagai sumber karbohidrat. Di beberapa wilayah Indonesia ada yang mengkonsumi jagung, sagu, pisang, dan umbi-umbian sebagai makanan pokok sumber karbohidrat.

Selama masa penjajahan Belanda di Indonesia, pertanian padi sangat terkonsentrasi. Tanah-tanah yang subur dikuasai oleh pihak kolonial atau para tuan tanah Belanda sehingga masyarakat pribumi lebih diarahkan untuk menanam padi. Situasi ini meningkatkan konsumsi beras di kalangan masyarakat Indonesia, dan beras menjadi makanan pokok utama.
Setelah kemerdekaan Indonesia, konsumsi beras terus meningkat. Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintahan Orde Lama mengedepankan swasembada pangan, termasuk beras, sebagai salah satu tujuan utama pertanian Indonesia.
Perubahan paling signifikan dalam konsumsi dan produksi beras terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Presiden Soeharto menerapkan Kebijakan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pertanian, termasuk beras. Program ini mencakup penggunaan varietas padi yang lebih unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, serta pengembangan infrastruktur pertanian.
Sejak saat itu lah perlahan jagung, sagu, dan dkk mulai ditinggalkan. Secara sepintas hal ini membuat penyederhanaan kebijakan pemerintah dalam penyediaan bahan makanan pokok. Namun dikemudian hari ternyata pemindahan bahan makan pokok ini mulai menimbulkan masalah.
Pertama, konsumsi nasi mengakibatkan kebutuhan beras terus meningkat. Konsumsi beras per kapita di Indonesia pada tahun 2023 adalah 81,23 kilogram per tahun, atau sekitar 23 juta ton per tahun.
Produksi beras pada 2023 mencapai 31,10 juta ton. Namun tidak selamanya padi yang dihasilkan dari sawah di Indonesia memenuhi kebutuhan nasional sehingga seringkali dilakukan impor. Sayangnya kebijakan impor ini terkadang tetap dilakukan disaat petani padi sedang panen raya. Maka yang terjadi adalah rusaknya harga di pasar yang mengakibatkan kerugian yang diderita oleh petani padi.
Persoalan lainnya adalah konsumsi nasi yang berlebih bisa menyebabkan timbulnya penyakit seperti diabetes, obesitas, kekurangan nutrisi, kardiovaskular, dan lain-lain. Ini lebih disebabkan karena sebagian besar beras yang dikonsumsi sudah kehilangan unsur serat akibat pemolesan/polishing yang berlebihan. Beras menjadi mengkilat seperti mutiara yang menghilangkan nutrisi dan serat, hanya meninggalkan karbohidrat yang berubah menjadi gula sehingga akhirnya menjadi lemak dalam tubuh. Porsi makan nasi pun semakin meningkat akibat tidak kenyang dengan jumlah yang sedikit.
Berbeda dengan konsumsi nasi zaman dahulu. Padi ditumbuk sehingga hanya pecah kulit, masih meninggalkan nutrisi dan serat yang menyehatkan, dan konsumsi nasi yang sedikit karena cepat kenyang.
Sayangnya, masyarakat sekarang tidak tertarik untuk mengkonsumsi beras yang masih ada “bekatul”-nya, serta embrio rice yang biasanya masih ada menempel di bagian ujung bulir beras/nasi.
Hal lainnya yang mengurangi kualitas beras adalah metoda penyimpanan. Pada umumnya gabah kering digiling jadi beras langsung dan disimpan di gudang-gudang. Hal ini menyebabkan beras sudah tidak segar lagi, gampang berjamur dan berkutu, padahal leluhur kita tidak pernah menyimpan padi dalam bentuk yang sudah digiling (beras). Bahkan, di kampung-kampung ada. Padi disimpan bersama batangnya sehingga menambah keawetan padi.
Masyarakat yang mengerti kesehatan di beberapa negara seperti China dan Jepang mulai membiasakan diri mengkonsumsi beras embryo rice, dengan memiliki rice miling kecil (huler kecil) sendiri di rumah sehingga dengan mesin tersebut akan didapat beras yang masiih segar, masih banyak mengandung nutrisi dan serat.
Dengan cara ini paling tidak akan didapat keuntungan, pertama, konsumsi beras akan menurun karena dengan jumlah sedikit sudah mengenyangkan; kedua, kaya nutrisi untuk kesehatan dan kecerdasan.
Kita tahu, dengan polishing yang berlebihan, beras kehilangan bekatulnya (brown rice) di mana justru dalam bekatul ini terkandung nutrisi yang menyehatkan dan membantu kecerdasan. Kenyataannya bekatul (huut lembut) ini di kita sekarang dijadikan pakan ayam. Maka jangan heran, suatu saat nanti terjadi AYAM LEBIH PINTAR DARI MANUSIA.
***
Judul: Konsumsi Beras dan Masalah yang Ditimbulkannya
Penulis: Kang Eep S. Maqdir
Editor: Jumari Haryadi