Petani Beras, Mengapa Tidak?

Artikel ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja

Ilustrasi: Suasana persawahan di sore hari - (Sumber pixabay)

MajmusSunda News , Rabu (22/01/2025) – Artikel dalam Kolom OPINI berjudul “Petani Beras, Mengapa Tidak?” ini ditulis oleh: Ir. Entang Sastraatmadja, Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat dan Anggota Forum Dewan Pakar Pertanian dan Pembangunan Pedesaan, Majelis Musyawarah Sunda (MMS).

Beras adalah sebuah misteri. Beras ada kalanya mampu mengharumkan nama bangsa dan negara. Kita tentu tidak akan melupakan bagaimana kekaguman warga dunia atas prestasi swasembada beras yang kita raih tahun 1984 lalu. Begitu pun dengan keberhasilan pencapaian swasembada beras 2022. Kisah sukses swasembada beras membuat kebanggaan tersendiri bagi bangsa dan negara.

Namun begitu, tidak bisa dibohongi, beras pun terkadang membuat Pemerintah gundah-gulana, ketika terjadi penurunan produksi dengan angka yang cukup signifikan. Salah satunya tatkala El Nino menyergap bangsa ini. Kita tidak mungkin lagi akan mampu mencukupi kebutuhan beras dari hasil produksi petani di dalam negeri. Impor beras, akhirnya menjadi solusi yang dipilih Pemerintah.

Ir. Entang Sastraatmadja
Ir. Entang Sastraatmadja, penulis – (Sumber: tabloidsinartani.com)

Catatan kritisnya, ada apa sebetulnya dengan beras di negeri ini ? Apakah betul jika ada pandangan yang menyatakan Tata Kelola Sistem Perberasan belum digarap secara sistemik, holistik dan komprehensif ? Apakah benar antara “dunia gabah” dan “dunia beras” masih berjalan masing-masing karena belum adanya perekat kuat untuk menyambungkannya ? Gabah seolah-olah milik petani dan beras kepunyaan para pedagang ?

Bicara benih/bibit padi, gabah, beras dan nasi, sejatinya merupakan proses panjang dari Sistem Agrbisnis Perberasan. Di awali dengan penanaman bibit/benih padi hingga menghasilkan gabah dan beras, kemudian menjadi nasi dan yang sejenis dengan itu, semua ini menggambarkan adanya perbedaan nilai tambah ekonomi di setiap tahap perubahan bentuk tersebut.

Bila kita bandingkan antara gabah dan beras misalnya, nilai tambah ekonomi dari benih/bibit padi menjadi gabah (Gabah Kering Panen dan Gabah Kering Giling) dengan menjadi beras (Medium dan Premium), dipastikan nilai tambah menjadi beras, jelas akan lebih tinggi setelah diolah jadi beras. Apalagi kalau sudah menjadi nasi dan dijual di rumah makan atau restoran. 1 piring nasi bisa 3 kali lipat harga 1 liter beras.

Atas pengamatan yang menyeluruh, sebagian besar petani padi, akan berujung di gabah (GKP). Sedikit sekali petani yang menjual hasil panenannya dalam bentuk GKG apalagi beras. Perilaku menjual hasil panen dalam wujud GKP membuat penghasilan petani tidak maksimal. Berbeda nilai tambah ekonomi yang diterimanya jika mereka menjual dalam bentuk GKG atau beras.

Itu sebabnya, jika kita ingin memberi nilai tambah ekonomi yang lebih besar bagi petani, maka kita harus menggeser status petani gabah menjadi petani beras. Ini penting ditempuh, agar kerja keras dan jerih payah petani dalam bercocok-tanam padi, mendapat imbalan ekonomi yang wajar. Sejak lama, mestinya Pemerintah tanggap akan hal yang demikian. Jangan biarkan petani padi menjual hasil panennya dalam bentuk gabah.

Usulan menggeser petani gabah menjadi petani beras, sebenarnya telah dikumandangkan cukup lama. Kita sendiri, tidak tahu dengan pasti mengapa Pemerintah seperti yang terkesan tidak tertarik untuk menindak-lanjutinya. Padahal, kalau kita masih berkehendak untuk melakukan percepatan peningkatan kesejahteraan petani, maka langkah ini merupakan salah satu solusi cerdasnya. 

Pemerintah sendiri, tinggal memberi bantuan alat-alat paska panen, khususnya penggilingan padi skala mini kepada para petani melalui Kelompok Tani atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Dengan huller skala mini, Gapoktan dapat mengolah gabah milik petani menjadi beras. Para pengusaha penggilingan padi dan Perum BULOG dapat menjadi “mentor” petani. Tentu dibantu oleh para Penyuluh Pertanian.

Prinsip “kebersamaan” antara Gapoktan dengan Pengusaha Penggilingan Padi dan Perum BULOG mengingatkan pada prinsip Sogososha yang tumbuh dan berkembang di negara Matahari Terbit. Dilandasi semangat bushido, mereka mampu mengembsngkan suasana kehidupan, “yang besar mencintai si kecil dan yang kecil menghormati si besar”. Kondisi ini tetap berjalan hingga sekarang.

Budaya adiluhung yang kita miliki seperti “silih asah, silih asih, silih asuh dan silih wawangi” secara substansi, tidaklah jauh berbeda dengan sogoshosa. Apalagi bangsa kita memiliki Pandangsn Hidup Bangsa sekelas Pancasila. Dengan modal seperti ini, sudah sepatutnya jika “harmonisasi” antara Pengusaha Penggilingan/Perum BULOG dengan Gapoktan dalam proses pengolahan gabah jadi beras, harus berjalan lebih baik lagi.

Sayang, perilaku yang begitu mulia ini, kelihatannya masih sebatas lamunan. Yang sudah besar, boro-boro mencintai yang kecil. Kalau tidak malu hati, mereka lebih senang “memakan” si kecil agar diperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Sebaliknya, yang kecil sulit menghormati yang besar, malah jika bisa mereka akan mengakali nya untuk memperoleh penghasilan yang lebih signifikan lagi.

Kalau saja para petani padi dapat menjual hasil panenannya dalam bentuk beras, otomatis nilai tambah ekonomi yang diperoleh dari bercocok-tanam padi, akan menjadi semakin besar. Hal ini jelas berbeda jauh bila para petani menjualnya dalam bentuk gabah. Pertanyaannya adalah apakah para pengusaha penggilingan/Perum BULOG/Bandar dan Tengkulak bakalan mendukung terhadap kebijakan yang demikian ?

Jangan-jangan mereka merasa tersaingi dengan menjamurnya penggilingan padi skala mini yang manajemennya dikelola Gapoktan ? Dalam hal ini, kita berharap agar Pemerintah dapat memediasi perbedaan kepentingan seperti ini. Yang penting disepakati adalah tidak ada satu pihak pun yang dirugikan. Dalam bahasa lainnya, bisa saja dikatakan semua merasa senang dan riang gembira. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

***

Judul: Petani Beras, Mengapa Tidak?
Penulis :Ir. Entang Sastraatmadja
Penyunting: Jumari Haryadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *